Menuju konten utama
10 Juni 2009

Berdirinya Jembatan Suramadu, Penyambung Jawa dan Madura

Sambung menyambung.
Merapat dua ujung
saling terhubung.

Berdirinya Jembatan Suramadu, Penyambung Jawa dan Madura
Ilustrasi Jembatan Suramadu. tirto/Sabit

tirto.id - Sudah sembilan tahun Jembatan Suramadu berdiri kokoh membentang dari Kecamatan Kenjeran, Surabaya hingga Kecamatan Labang, Madura. Deretan kaki penyangga Suramadu yang membelah perairan Selat Madura itu tiap harinya menopang beban sekitar 16.000 kendaraan bermotor yang melintas.

Keberadaan Jembatan Suramadu jelas membuat perjalanan dari Madura ke Surabaya atau sebaliknya menjadi semakin praktis dan efisien. Dulunya, penyeberangan Ujung di kompleks Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya menuju Kamal di Madura adalah akses andalan untuk melintasi Selat Madura via kapal feri, baik bagi kendaraan pribadi maupun angkutan umum dan barang.

Khusnul Mubin adalah salah satu pemuda Sampang, Madura yang menikmati betul manfaat Jembatan Suramadu. Pada 2011, ia melintasi jembatan itu untuk merantau ke Jawa Timur. Ia mondok di Sidoarjo, lalu berkuliah, dan saat ini bekerja di Surabaya.

“Saya sebagai buruh, sebagai karyawan ya jelas sangat terbantu dengan adanya Suramadu. Bisa PP (Pulang-Pergi) efisien waktu. Mengurangi biaya. Saya sendiri seminggu sekali pulang ke Sampang. Tapi kalau teman-teman pinggiran Suramadu (sisi Madura) banyak yang PP,” tutur Mubin sambil menyeruput segelas es saat tiba waktu berbuka Puasa di pesisir Suramadu sisi Surabaya itu pada Senin (5/6) sore.

Alasan efisiensi waktu dan biaya cukup berdasar. Mubin membandingkan tarif penyeberangan via Ujung-Kamal dipatok Rp10 ribu untuk pengendara sepeda motor. Belum lagi antrean memasuki kapal penyeberangan yang bisa memakan waktu satu hingga satu setengah jam.

Di Jembatan Suramadu, tak ada pemandangan antrean. Semua berjalan lancar bebas hambatan. Lebih dari itu, yang membuat pekerja seperti Mubin senang adalah pemberlakuan bebas tarif khusus sepeda motor sejak tahun 2016 lalu, setelah sebelumnya dipatok tarif Rp3.000.

Salah satu tujuan besar pembangunan Jembatan Suramadu adalah merangsang tumbuhnya aktivitas perekonomian di Madura. Sebelum diresmikan pada 10 Juni 2009, tepat hari ini 9 tahun lalu, Jembatan Suramadu juga sudah menjadi perbincangan hangat selama puluhan tahun lengkap dengan segala pro dan kontra.

Zawawi Imron, budayawan Madura asal Sumenep dalam artikelnya berjudul "Suramadu" dimuat koran Jawa Pos (14 Juni 2009) mengatakan, sebagian orang Madura jika bepergian ke Surabaya atau tempat lain di Jawa menggunakan istilah ongghe (naik) dan thoron (turun) untuk kembali ke Madura.

Dua istilah tersebut punya makna tersirat. Pertama, seolah-olah Madura lebih rendah dari Surabaya atau Jawa. Pemaknaan kedua, di Madura, perantau lebih dihormati ketimbang mereka yang berkutat di kampung halaman.

Kehadiran Jembatan Suramadu diharapkan oleh Zawawi dapat berfungsi sebagai jembatan kesetaraan. Atau jika boleh ditambahkan, mampu menjembatani segala hal, dari sosial-budaya, hingga ekonomi dan politik.

Namun bagi warga Madura seperti Mubin, deretan harapan itu tak sepenuhnya dapat terwujud. Ia menilai tidak merasakan dampak signifikan dari geliat ekonomi dan kemajuan di Madura atau orang-orang Madura secara umum sebelum dan sesudah era Suramadu.

Begitu pula dengan infrastruktur penunjang seperti akses jalan di Bangkalan, Madura, yang notabene adalah pintu gerbang Pulau Garam itu. Jalan-jalan di Bangkalan rupanya masih bergelombang dan berlubang. “Malah lebih bagus jalannya itu dari Sampang ke Pamekasan," nilai Mubin.

Hal senada dituturkan oleh Syaiful Arifin, pemuda asal Sampang yang lama mondok di sebuah pesantren di Sidoarjo, Jawa Timur sejak 2007. Ia hanya pulang ke kampung halaman dua kali dalam setahun. Setiap ia pulang, ia tak menyaksikan perubahan yang signifikan meski Suramadu telah beroperasi.

“Perubahan mencolok kayaknya tidak ada. Ada BPWS (Badan Pengembangan Wilayah Surabaya Madura) itu sepertinya sebagaimana kritik-kritik orang: enggak ada manfaat yang besar dari adanya Suramadu, khususnya untuk perkembangan di Madura,” ujar Arifin yang sore itu hendak melanjutkan perjalanan ke Sampang sejauh 45 kilometer bersama Mubin.

Jatuh Bangun Suramadu

Embrio pembangunan Jembatan Suramadu dapat dilacak hingga ke ide Prof. Dr. Sedyatmo, insinyur yang tersohor berkat gagasannya tentang sistem pondasi konstruksi cakar ayam.

Pada 1960-an di era pemerintahan Presiden Sukarno, Sedyatmo mengusulkan agar Sumatera, Jawa, dan Bali dihubungkan oleh jembatan. Tidak sulit mendapat restu dari Sukarno waktu itu. Situs resmi alumni ITB menyebutkan, uji coba desain jembatan antara Sumatera dan Jawa dimulai di ITB pada 1965.

Pasca-peristiwa G30S, Sukarno lengser dan Soeharto naik ke tampuk kekuasaan. Hasil dari uji coba desain dan kajian baru sampai ke meja Soeharto pada awal Juni 1986. Menindaklanjuti kajian tersebut, pemerintahan Soeharto mencanangkan megaproyek Tri Nusa Bima Sakti dengan target utama menghubungkan Sumatera-Jawa-Bali dalam satu jalur darat.

Megaproyek tersebut mulanya menggandeng Jepang. Dilansir dari Badan Pengembangan Wilayah Surabaya Madura (BPWS), pada Juli 1988 ahli transportasi dan rekayasa jembatan terowongan dari Jepang mulai berkantor di Dinas Pekerjaan Umum (DPU). Disusul ahli Perusahaan Umum Jaringan Kereta Api Jepang yang menginjakkan kaki di Badan Pengkaji dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada Oktober 1988.

Seiring berjalannya waktu, realisasi pembangunan jembatan yang menyambungkan dua pulau diwujudkan pertama kali dengan menghubungkan Surabaya di Jawa Timur dengan Pulau Madura. Surabaya dipilih karena beberapa alasan, misalnya keberadaan Tanjung Perak sebagai pelabuhan terbesar kedua setelah Jakarta, pengembangan wilayah Madura, dan perluasan kota metropolitan Surabaya.

Pada 14 Desember 1990, proyek pembangunan jembatan Surabaya-Madura (Suramadu) dikukuhkan sebagai proyek nasional lewat penerbitan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1990. Hingga April 1995, Jepang masih digandeng untuk proses penggodokan pembangunan jembatan tersebut.

Krisis ekonomi yang menerpa Asia termasuk Indonesia pada 1997 memaksa pemerintah menghentikan banyak proyek nasional. Pada 20 September 1997, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1997 yang berisi 75 daftar proyek pembangunan yang ditangguhkan. Salah satunya proyek Jembatan Suramadu.

Desentralisasi lewat Otonomi Daerah yang tertuang dalam UU Nomor 22/1999 memungkinkan Jawa Timur mengambil alih amanat proyek Suramadu untuk dilanjutkan. Pada 14 Januari 2002, Gubernur Jawa Timur Imam Utomo mulai melakukan sosialisasi pembangunan Jembatan Suramadu di depan alim ulama dan tokoh masyarakat Madura di Pamekasan.

Di era kepemimpinan Presiden Megawati Sukarnoputri, pembangunan jembatan resmi dilanjutkan. Pada 20 Agustus 2003, pukul 11.30 Megawati menekan tombol sirine yang menandai peresmian pemasangan tiang pancang Jembatan Suramadu. Adapun Keputusan Presiden Nomor 79 yang mengamanatkan agar pembangunan jembatan dilanjutkan baru dikeluarkan pada 27 Oktober 2003. Progres pembangunan terus berlanjut.

Dari 2004 sampai 2005 wilayah perairan tempat pembangunan jembatan disterilisasi dari berbagai ranjau laut dan bahan peledak peninggalan Perang Dunia Kedua. Aktivitas ini dilakukan oleh pihak pelaksana Jembatan Suramadu yang bekerjasama dengan TNI-AL.

Pada 19 November 2005, aktivitas pembangunan mulai merambah ke tengah-tengah area Jembatan Suramadu.

Dengan memasang target selesainya pembangunan jembatan pada akhir 2006, pemerintah Indonesia pada 2004 menunjuk konsorsium Cina, Communication Construction Group, untuk ikut menyelesaikan Jembatan Suramadu dengan nilai Rp2,8 triliun.

Pembangunan yang dikebut oleh pihak Indonesia dan konsorsium dari Cina ini pada akhirnya molor dari target awal akhir 2006. Beberapa faktor yang memengaruhi keterlambatan ini adalah cuaca, pendanaan, hingga teknologi yang digunakan.

Namun pada Rabu 10 Juni 2009, setelah puluhan tahun direncanakan hingga tertunda dan enam tahun pengerjaan, Jembatan Suramadu akhirnya diresmikan oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang saat itu menjabat sebagai Presiden RI. Diwartakan Tempo, peresmian Jembatan Suramadu dihadiri oleh 14 gubernur.

Jembatan dengan panjang 5,4 kilometer ini menjadi jembatan terpanjang di Indonesia yang dibangun dengan dana hampir Rp5 triliun. Jembatan Suramadu yang dikerjakan oleh 3.500 orang dari Indonesia dan Cina ini dirancang untuk sanggup bertahan sampai sekitar 100 tahun.

Infografik Mozaik Jembatan Suramadu

Dalam kesempatan terpisah, menanggapi peresmian yang dilakukan oleh SBY dan dalam suasana Pilpres 2009, Detik mewartakan sentilan Megawati atas proyek Jembatan Suramadu. Ia mengatakan proyek tersebut sudah digagas sejak era Sukarno hingga akhirnya ia mengeluarkan perintah agar Jembatan Suramadu mulai dibangun pada 2003 silam.

Setelah Suramadu

Jembatan Suramadu digadang-gadang menjadi pembangkit perubahan bagi Madura yang terdiri dari empat wilayah kabupaten yaitu Bangkalan, Sumenep, Sampang, dan Pamekasan. Indikasi kemajuan Madura setelah beroperasinya Jembatan Suramadu dapat dilihat dari laju Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Madura yang menggambarkan nilai tambah barang dan jasa.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) dari 2007-2016 menunjukkan dampak positif dari keempat wilayah tersebut, meski tidak bisa disebut signifikan. Sementara untuk tingkat pengangguran terbuka dari 2007-2015 di seluruh Madura, angkanya fluktuatif.

Di Bangkalan yang menjadi daerah pintu gerbang Jembatan Suramadu, misalnya, tingkat pengangguran tahun 2009 bertengger di angka 5,01 persen. Pada 2015, persentase pengangguran masih belum beranjak dari angka lima persen. Persentase pengangguran memang sempat turun sampai 3,91 persen pada 2011. Namun, dua tahun kemudian, angkanya malah melonjak hingga 6,78 persen.

Kondisi tingkat pengangguran di daerah lain juga menunjukkan angka yang fluktuatif. Meski begitu, rata-ratanya masih lebih rendah dari Bangkalan dengan tidak menyentuh angka di atas lima persen.

Dalam hal Indeks Pembangunan Manusia (IPM), wilayah Sampang pernah menduduki peringkat terendah pertama se-Jawa Timur pada 2016 dengan angka 59,09 poin. Waktu itu, IPM tertinggi dipegang oleh Malang dengan 80,46 poin.

Tidak heran apabila keberadaan BPWS (Badan Pengembangan Wilayah Surabaya Madura) yang sejatinya bertugas membangun Madura di banyak sektor, kerap disorot tajam. Namun yang jelas, ketimpangan memang tak hanya bisa diatasi dengan jembatan belaka.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf