tirto.id - Konflik antaretnis di Kalimantan terulang kembali. Setelah pada 1999 Kalimantan Barat dilanda konflik antara etnis Dayak dan Madura, konflik serupa pecah di Sampit, ibu kota Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah pada pertengahan Februari 2001. Kerusuhan yang mulanya terjadi di Sampit meluas ke Palangkaraya, bahkan ke seantero Kalimantan Tengah.
Konflik itu bermula dari perselisihan antara dua etnis sejak akhir 2000. Medio Desember 2000, bentrok antara etnis Dayak dan Madura terjadi di Desa Kereng Pangi, Kabupaten Katingan, dan membuat hubungan kedua pihak tegang. Ketegangan itu kian hebat setelah perkelahian di sebuah tempat hiburan di desa pertambangan emas Ampalit. Sendong, seorang etnis Dayak, tewas akibat beberapa luka bacokan dalam perkelahian itu.
Rinchi Andika Marry menelusuri kisah horor berbuntut konflik itu dalam skripsi di Program Studi Ilmu Sejarah UI berjudul Konflik Etnis antara Etnis Dayak dan Madura di Sampit dan Penyelesaiannya 2001-2006 (2014). Kasus tewasnya Sandong sebenarnya telah ditangani polisi setempat, namun hal itu tak bisa meredam amarah keluarga dan tetangga Sandong. Dua hari usai peristiwa naas itu, 300 warga Dayak mendatangi tempat tewasnya Sandong untuk mencari pelaku.
Tak berhasil menemukan pelaku, kelompok warga Dayak itu melampiaskan kemarahannya dengan merusak sembilan rumah, dua unit mobil, lima unit motor, dan dua tempat karaoke. Semuanya milik warga Madura.
Huru-hara itu membuat 1.335 orang Madura mengungsi. Ada dugaan bahwa salah seorang pelaku pembunuhan Sandong bersembunyi di Sampit, ibukota Kabupaten Kotawaringin Timur, kota tetangga Katinggan. Situasi panas pun menjalar hingga ke Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur (hlm. 26-28).
Kondisi makin mencekam akibat rumor yang menyatakan bahwa beberapa warga Madura di Sampit menyimpan sejumlah bom rakitan. Rinchi menulis, “Bahkan berhembus isu mengenai rencana pemboman pada malam Natal. Isu tersebut tidak terbukti kebenarannya karena tidak terjadi pengeboman di malam Natal tahun 2000.” Namun, kendati kabar sumir itu telah dibantah oleh pemuka etnis Madura, suasana tetap tegang karena sudah terlanjur menyebar (hlm. 29-30).
Gerry van Klinken dalam Perang Kota Kecil: Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia (2007) menjelaskan bahwa pengusiran di Katingan memicu orang Madura di Sampit untuk bersikap defensif, sampai-sampai merasa perlu mempersenjatai diri (hlm. 221).
Lambatnya pengusutan polisi atas kasus pembunuhan Sandong juga turut meningkatkan eskalasi konflik. Warga Dayak pun merasa diperlakukan tidak adil. Puncaknya, sekelompok warga Dayak di Sampit menyerang rumah seorang warga Madura bernama Matayo, dengan motif balas dendam atas peristiwa di Kereng Pangi. Dalam insiden dini hari 18 Februari 2001 itu—tepat hari ini 17 tahun lalu—empat penghuni rumah tewas.
Serangan itu pun menuai balas dendam dari sekelompok warga Madura. Mereka mendatangi rumah seorang Dayak bernama Timil yang diduga menyembunyikan salah satu pelaku penyerangan. Saat itu Timil berhasil diamankan polisi, tetapi warga Madura yang tak puas langsung membakar rumahnya. Warga Madura yang marah juga menyerang rumah kerabat Timil dan menewaskan penghuninya.
Peristiwa inilah yang kemudian menyulut konflik yang lebih masif antara etnis Dayak dan Madura di Sampit. Selama dua hari sejak penyerangan rumah Matayo, orang Madura berhasil bertahan, bahkan berani melakukan sweeping terhadap pemukiman-pemukiman warga Dayak. Situasi berbalik pada 20 Februari, ketika sejumlah besar orang Dayak dari luar kota berdatangaan ke Sampit.
“Konflik secara terbuka pun tidak dapat dielakkan. Berbagai senjata tradisional seperti mandau, lunju (tombak), sumpit, bahkan senjata api yang mereka sebut dum-dum dijadikan senjata untuk melakukan perlawanan terhadap warga etnis Madura. Sementara itu, warga etnis Madura sendiri menggunakan celurit dan sejumlah bom rakitan sebagai senjata tandingan,” tulis Rinchi dalam penelitiannya (hlm. 32-37).
Selama akhir Februari 2001, sekira 500 orang Madura tewas. Lebih dari 100.000 orang Madura yang selamat terpaksa mengungsi keluar Sampit untuk menghindari persekusi.
Bentrokan di Sampit pun meluas hingga lingkup provinsi. Kerusuhan menyebar sampai Kualakayan yang berjarak 100 km di utara Sampit, dan ibu kota provinsi Palangkaraya.
“Dalam beberapa minggu, pejuang-pejuang Dayak melanjutkan kampanye pembersihan etnis mereka ke seantero Kalimantan Tengah sampai ke ujung jalan raya trans Kalimantan sampai ke Kuala Kapuas di tenggara, dan sampai Pangkalanbun di barat. Hampir 90 persen dari populasi Madura di provinsi itu (dengan jumlah total 120-130.000 jiwa) telah melarikan diri [...] Perkiraan yang bisa dipercaya mengenai jumlah korban tewas berkisar dari 500 sampai hampir 1.300, sebagian besar di antaranya Madura,” catat van Klinken, Profesor Sejarah Asia Tenggara pada University of Amsterdam, dalam Perang Kota Kecil (hlm. 207).
Asal-Usul Konflik
Bagaimana kerusuhan yang kelihatannya kecil di desa-desa pedalaman bisa memicu konflik sedemikian masif?
Konflik antaretnis di Sampit berkaitan dengan persoalan sosial-ekonomi lokal. Pemicu khususnya adalah kompetisi antara para penambang emas Dayak dan Madura. Van Klinken menulis, “Hutan-hutan Kalimantan Tengah telah lama menjadi wilayah perbatasan yang tak mengenal hukum, dan ketegangan-ketegangan baru-baru itu membantu memastikan agar kelompok-kelompok pekerja etnis kadang-kadang bentrok dengan satu sama lain” (hlm. 220).
Sebelum pecah menjadi konflik terbuka pada 18 Februari 2001, beberapa kericuhan antar etnis telah terjadi di daerah tambang. Misalnya, kericuhan antara Dayak dengan Madura di kota gold rush Tumbang Samba pada September 1999, di Pangkalanbun pada Juli 2000 antara para pekerja Melayu dengan para pengikut seorang cukong kayu Madura, dan terakhir di Kareng Pangi pada Desember 2000. Konflik-konflik yang tak dikelola dengan baik itu dipanasi dengan propaganda chauvinistik yang beredar di media-media haus sensasi (hlm. 222-223).
Aktor Intelektual
Namun kericuhan kecil itu bukan penyebab tunggal. Ada pihak-pihak yang memanfaatkan naiknya sentimen anti-Madura untuk tujuan-tujuan politis.
Dari penelusuran Rinchi diketahui ada dua pejabat pemerintahan lokal yang berusaha menggagalkan proses pelantikan pejabat eselon yang akan mengisi struktur baru pemerintahan daerah Kotawaringin Timur dan melengserkan bupatinya. Dua pejabat itu adalah Fedlik Asser, yang sehari-hari bekerja di Bappeda, dan Lewis, seorang pegawai Dinas Kehutanan. Mereka tidak puas karena semua pejabat yang dilantik beragama Islam (hlm. 33-34).
Kepada polisi, Fedlik dan Lewis mengakui telah merencanakan kerusuhan itu. Sebelum melakukan penyerangan pada dini hari 18 Februari, warga Dayak dan etnis non-Madura lainnya telah 11 kali mengadakan pertemuan. Ia juga menyiapkan Rp15 juta untuk membayar provokator. Bahkan seturut keterangan dari Kakorserse Polri saat itu, Irjen Pol Engkesman Hillep, sebelum melakukan penyerangan, mereka sempat mengadakan upacara adat untuk menyerang suku Madura.
Pola seperti itu nyatanya tidak hanya terjadi di Sampit. Menurut pantauan lembaga Human Rights Watch, bukan pertama kalinya perebutan pos jabatan di pemerintahan daerah memicu aksi kekerasan berskala massal. Setahun sebelumnya, Mei 2000, persaingan antara dua kandidat bupati yang berbeda agama juga menjadi faktor penting dalam pecahnya kekerasan komunal yang menewaskan hampir 300 orang di Poso, Sulawesi.
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Windu Jusuf