Menuju konten utama

Strategi Bertahan Para Pedagang Kurban Hadapi Lesunya Penjualan

Pedagang kurban andalkan media sosial dan strategi konvensional demi bertahan di tengah lesunya pasar dan turunnya jumlah pekurban 2025.

Strategi Bertahan Para Pedagang Kurban Hadapi Lesunya Penjualan
Peternak melakukan penjualan kambing kurban secara langsung atau live streaming melalui media sosial di kandang This is Farm, Kota Malang, Jawa Timur, Senin (26/6/2025). ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto/foc.

tirto.id - "Disuruh bangun pagi, malah bangun kandang," begitu bunyi teks pada unggahan @thisisfarm_, akun penjual hewan kurban yang belakangan rajin berseliweran di TikTok. Video itu tayang pada 13 Mei 2025, tiga pekan jelang Idul Adha, dan menjadi penanda datangnya masa panen bagi Lucky Aditya, sang peternak kambing sekaligus pemilik akun.

Lewat unggahan tersebut, ia memperlihatkan sekilas proses pembangunan kandang-kandang di sebidang lahan kosong yang kelak jadi lapak jualannya. Lokasinya di Lesanpuro Gang 2, Kota Malang—di tengah permukiman warga, dengan lebar jalan yang hanya cukup dilalui satu mobil.

Lucky adalah satu dari banyaknya pedagang kurban yang mengoptimalkan penjualan lewat media sosial, meski tempatnya melego hewan kurban dikelilingi banyak pelanggan potensial.

Kepada Tirto, pria 33 tahun itu bercerita bahwa ia memanfaatkan media sosial seperti TikTok, Instagram, dan WhatsApp untuk menjangkau lebih banyak calon pembeli—termasuk dari luar Malang Raya. Di antara ketiganya, TikTok jadi platform yang paling mendongkrak penjualan, terutama melalui fitur siaran langsung.

"Ketika kami melakukan live TikTok, itu audiensnya enggak hanya Malang Raya. Banyak yang tanya 'Kak spill yang Rp4 juta'. Oke, kita spill kambing yang Rp4 juta, spesifikasinya, tinggi badannya," ujarnya saat dihubungi, Kamis (5/6/2025).

Bahkan, tak sedikit pula yang bertanya soal pengiriman ke luar kota, seperti Tangerang atau Jakarta. Permintaan itu bisa ia layani berkat kerja sama dengan ekspedisi khusus pengangkut kambing. Namun, ia mengaku pembeli dari luar daerah masih terbatas karena pertimbangan ongkos kirim (ongkir).

"Sejauh ini, yang tanya-tanya banyak dari Jakarta, seenggaknya ada tiga orang. Tapi belum berjodoh, mungkin karena jarak dan ongkirnya," kata dia. "Misalkan mau kirim ke kota tetangga, kalau memang kambingnya jumbo harganya (ongkir) Rp300 ribu, kirim ke Jakarta pun juga sama, juga harganya Rp300 ribu," imbuhnya.

Bisnis Lucky sendiri bermula tanpa banyak perencanaan pada tahun lalu. Awalnya, ia hanya membeli kambing untuk keperluan kurban pribadi, dan tak kepikiran untuk berjualan. Belakangan, karena melihat peluang usaha menjelang Idul Adha, Lucky pun mulai membangun kandang, mengelola peternakan kecil-kecilan dan bersolek di media sosial.

Tapi, baru pada Mei 2025 ia resmi menjual kambing dengan nama akun This Is Farm, dan sejak itu penjualannya melejit. Berdasarkan catatannya, 80 persen transaksi berasal dari media sosial. “ Malahan cuma berapa orang yang ke kandang itu, enggak banyak, cuman tiga orang (pelanggan) mungkin,” ungkapnya.

Menurut Lucky, strategi berjualan hewan kurban via media sosial bukan hanya inovatif, tapi juga efisien, dan lebih menjamin keberlanjutan usaha. Sebab, ia tak perlu keluar banyak uang untuk menyewa lahan atau memasang tenda untuk jualan. Cukup siaran langsung dari kandang, dan audiens datang sendiri lewat layar.

Keuntungan lainnya adalah persaingan yang lebih mudah, lantaran belum banyak pedagang hewan kurban yang memanfaatkan media sosial di Malang Raya.

Terkait harga kambing yang dijualnya, Lucky mengaku hanya menyesuaikan musim. Menjelang Idul Adha, harga biasanya bisa naik 20 persen dari hari biasa yang berkisar Rp3 juta hingga Rp8,5 juta atau lebih, tergantung ukuran. "Kalau kambing jumbo ekstrem, bisa di angka di atas Rp10 juta," ujarnya.

Kini, semua kambing yang ia jual sudah habis dipesan. "Kami dahulukan pengiriman luar daerah ke Sidoarjo. Hari ini kita selesaikan pengiriman di Malang Raya," tuturnya, sembari menambahkan bahwa keuntungan bersih yang diraup This Is Farm bisa mencapai puluhan juta rupiah—meski modalnya pun tak sedikit.

Jelang Idul Adha harga kambing turun

Warga bertransaksi di Pasar Hewan Kranggan Temanggung, Jawa Tengah, Jumat (23/5/2025). ANTARA FOTO/Anis Efizudin/nym.

Jika Lucky memanfaatkan jagat maya untuk menjual puluhan kambing dari balik layar ponsel, Abdul Rozi (52) masih bertahan di jalur konvensional. Setiap menjelang Idul Adha, tenda dagangnya berdiri tegak di pinggir Jl. Maulana Hasanuddin, Cipondoh, Kota Tangerang. Di sanalah ia menjual ratusan kambing, seperti yang telah dilakukannya bertahun-tahun.

Rozi adalah generasi kedua dari keluarga pedagang kambing. Ia menjajakan hewan kurban sekaligus melayani pembelian untuk keperluan aqiqah sepanjang tahun. “Kalau untuk setiap tahunnya kami jualan hewan kurbannya, itu kami gelar di jalan Maulana Hasanuddin,” ujar Rozi saat ditemui Tirto, Kamis (5/6/2025).

Kambing-kambing yang dijualnya mayoritas berasal dari Jawa Barat: Cianjur, Garut, dan Bogor. Seperti lazimnya pasar musiman, harga kambing di lapaknya juga naik menjelang Idul Adha. Biasanya dijual Rp1,5 juta-Rp2 juta, tapi saat musim kurban bisa menyentuh Rp3 juta-Rp5 juta per ekor.

Namun, tingginya harga tak mengurangi minat pembeli. Dalam dua pekan sejak lapak dibuka, Rozi mengklaim telah menjual sekitar 200 ekor kambing. "Pembelinya kebanyakan dari Tangerang dan Jakarta," ujarnya. Dengan modal hampir Rp500 juta, ia menghitung keuntungan bersih bisnis ini bisa mencapai 30 persen.

Berbeda dengan Lucky yang bisa berdagang dari mana saja, Rozi harus mengeluarkan dana tambahan untuk sewa lahan dan membangun kandang sementara. Untungnya, ia tak pernah mendapat gangguan dari ormas atau preman. "Saya asli orang sini, jadi nggak ada ya," katanya.

Meski begitu, Rozi mengakui bahwa tahun ini penjualannya menurun sekitar 15 persen dibanding tahun lalu. Ia menduga hal itu karena makin banyak pembeli yang kini lebih memilih sapi ketimbang kambing. "Sekarang banyak pengurban condong ke sapi. Karena kalau kambing harga Rp5 juta-Rp8 juta, mending beli sapi, bisa buat dua orang," ucapnya.

Apa yang dialami Rozi sejalan dengan hasil kajian Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS) terkait potensi ekonomi kurban tahun ini. Lembaga riset itu menyebut bahwa jumlah pekurban pada 2025 diproyeksikan menurun dibanding tahun sebelumnya.

"Pada 2024 terdapat sekitar 2,16 juta pekurban, sedangkan tahun 2025 ini jumlahnya sekitar 1,92 juta pekurban. Artinya, ada penurunan potensi sekitar 233 ribu pekurban dalam satu tahun terakhir," ujar peneliti IDEAS Tira Mutiara dalam keterangan resminya.

Dari proyeksi tersebut, IDEAS memaparkan bahwa 1,92 juta rumah tangga muslim dengan daya beli tinggi berpotensi menjadi pekurban pada tahun ini. Namun demikian, secara kesuluruhan, nilai ekonomi kurban di tahun ini juga ikut terkoreksi. "Kami juga memproyeksikan potensi nilai ekonomi kurban Indonesia tahun 2025 sebesar Rp27,1 triliun. Proyeksi ini juga turun dari proyeksi tahun sebelumnya (2024) yang diestimasikan mencapai Rp28,3 triliun," tambah Tira.

Jika ditarik lebih jauh ke belakang, tren penurunan ini tergolong mencolok. Jumlah pekurban tahun ini bahkan lebih rendah dibanding saat pandemi. Pada 2021 dan 2022, IDEAS mencatat jumlah pekurban masih berkisar 2,11 juta hingga 2,17 juta orang. Artinya, Idul Adha 2025 menjadi salah satu masa dengan tingkat partisipasi kurban paling rendah dalam lima tahun terakhir.

"Hal tersebut terjadi karena adanya penurunan masyarakat di kelas menengah bahkan kelas atas yang berpotensi menjadi pekurban di tahun ini. Hal tersebut diperparah oleh kurang memadainya kebijakan dari negara untuk menjaga kelas menengah dan atas tersebut. Ini lah yang membedakan masa sulit tahun ini dengan masa pandemi," ungkap Tira.

Mengapa penjualan kurban saat krisis pandemi masih bisa lebih baik ketimbang tahun ini?

Jawabannya, menurut IDEAS, lantaran saat itu pemerintah saat itu masih memiliki ruang untuk menggelontorkan stimulus fiskal besar-besaran. Ditambah kenaikan harga komoditas dan performa pasar keuangan yang relatif stabil, banyak rumah tangga kelas menengah dan atas masih mampu mempertahankan konsumsi, termasuk dalam bentuk kurban.

"Sedangkan krisis saat ini banyak didorong oleh kejatuhan sektor industri manufaktur yang padat karya, menyebabkan terjadinya fenomena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang masif sepanjang 2024 hingga Mei 2025. dan tingginya pengangguran di Indonesia yang terjadi berkontribusi besar menjadi faktor utama penurunan pekurban tahun 2025," ucap Tira.

IDEAS mencatat, sepanjang 2024 setidaknya 77.965 orang terkena PHK. Provinsi-provinsi dengan kota besar sebagai pusat ekonomi menyumbang angka tertinggi, seperti Jakarta (17.085 orang), Jawa Tengah (13.130 orang), Banten (13.042 orang), dan Jawa Barat (10.661 orang). Bahkan, sejak awal 2025 hingga 20 Mei lalu, tercatat sudah ada 26.455 orang yang di-PHK.

Kota-kota besar yang selama ini menjadi tulang punggung konsumsi kurban, kini justru menjadi episentrum krisis ketenagakerjaan. Akibatnya, baik dari sisi pasokan maupun permintaan, perputaran ekonomi kurban tak setinggi tahun-tahun sebelumnya.

“Sedangkan, sejak Januari hingga 20 Mei 2025, terdapat 26.455 orang yang di-PHK, yang juga melanda kota-kota besar yang selama ini menjadi daerah yang surplus daging kurban atau daerah basis pekurban terbanyak,” papar Tira.

Dengan kondisi demikian, para penjual hewan kurban seperti Rozi, maupun yang berjualan secara daring seperti Lucky, harus mengatur strategi agar tetap bisa meraup profit maksimal dari ibadah kurban tahunan.

Peternakan sendiri memiliki peran strategis karena tidak hanya berkontribusi pada etahanan pangan melalui penyediaan protein hewani, tetapi juga menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat pedesaan dan penggerak ekonomi lokal.

"Oleh karena itu, momen kurban perlu dimanfaatkan secara optimal dengan memperkuat ekosistem peternakan, agar sektor ini mampu tumbuh berkelanjutan dan memberikan manfaat ekonomi yang lebih luas bagi rakyat," tutup Tira.

Baca juga artikel terkait IDUL ADHA atau tulisan lainnya dari Nabila Ramadhanty

tirto.id - News Plus
Reporter: Nabila Ramadhanty
Penulis: Nabila Ramadhanty
Editor: Hendra Friana