tirto.id - Polisi Jerman Timur mencatat peristiwa penting pada 22 Agustus 1961. Pagi itu, seorang perawat perempuan bernama Ida Siekmann terluka parah setelah melompat dari lantai 3 gedung apartemen untuk menyeberang ke Jerman Barat.
Sejarah mencatat namanya sebagai orang pertama yang diketahui meninggal di lokasi tempat pembangunan Tembok Berlin. Tapi cerita di balik kematian Siekmann jauh lebih dalam dan berdampak luas dari peristiwa kematiannya itu sendiri.
Pada awal 1940-an, tak ada yang menduga negara Jerman sampai membutuhkan tembok besar untuk membagi dua wilayahnya. Ceritanya bermula di sekitar penghujung Perang Dunia ke-2 yang berakhir pada 1945.
Kala itu, negara-negara Eropa terpaksa harus mulai membangun kembali kehidupan ekonomi yang hancur lebur dilanda 6 tahun peperangan yang tak menentu. Bagi Jerman, berakhirnya perang menandai awal lahirnya konstelasi baru dalam kehidupan politik luar negeri mereka.
Sesuai perjanjian Potsdam, negara itu dibagi menjadi 4 zona kependudukan yang masing-masing dikuasai oleh kekuatan sekutu; Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan Uni Soviet. Setelah dua tahun keadaan itu bertahan, suhu politik justru kembali memanas dan Soviet muncul sebagai pusat kekuatan Komunis Eropa.
Dengan cepat, dua blok terbentuk. Publik menyebutnya blok Barat dan blok Timur, untuk menandai perseteruan antara komunisme dan demokrasi. Dalam situasi inilah kota Berlin ikut terpecah.
Menurut statistik, antara 1949 hingga 1961 sekitar 3,5 juta orang di Jerman Timur telah berbondong-bondong pindah ke Jerman Barat. Sejumlah besar dari orang itu terdiri dari berbagai lapisan sosial dan profesi penting seperti ilmuwan, seniman, ekonom, para intelektual, dan ahli-ahli lainnya.
Mereka pindah ke Barat untuk menghindari represi pemerintah di Jerman Timur. Masalahnya, eksodus penduduk semacam ini sangat mengancam bagi kelangsungan perekonomian dan industri Jerman Timur.
“Ini adalah sebuah ‘Brain Dead’ yang merugikan. Potensi dan tenaga kerja terampil negara makin terkuras dan perlu waktu sangat lama untuk melahirkan para profesional baru yang bermutu. Sebagian besar dari mereka bukan lari karena kekurangan makanan atau kebutuhan hidup lain melainkan karena penindasan politik, kolektivitas pertanian yang dipaksakan, dan hilangnya kebebasan pribadi,” kata Gordon L. Rottman dalam bukunya The Berlin Wall and the Intra-German Border 1961-89 (2008:10).
Untuk menghentikan migrasi besar-besaran itu, sebuah dekrit ditandatangani oleh Volkskammer -Dewan Rakyat Jerman Timur pada 12 Agustus 1961. Dekrit itu mensahkan sebuah pembangunan pagar penghalang berbentuk tembok solid.
Tak lama kemudian, tembok besar dibangun dengan membelah kota Berlin dan secara khusus didesain untuk menghalangi orang-orang yang ingin melintas.
Awalnya, tembok penghalang itu dibuat dari kawat dan balok-balok kayu. Kemudian, sejumlah besar petugas bersenjata berat dikerahkan untuk menjaga di sekitarnya. Berbagai upaya seperti radar, menara pengawasan, hingga ranjau pun diterapkan dengan ketat.
Setelah teknologi memungkinkan, tembok itu bahkan dipasangi sistem listrik dan dilengkapi dengan mekanisme pertahanan setingkat benteng militer yang membentang hingga 28 mil dan meluas hingga 75 mil.
Lompatan Ida Siekmann
Di hari-hari pertama pembangunan tembok besar, kekhawatiran luar biasa berkecamuk di antara masyarakat Berlin. Masalahnya, banyak di antara mereka yang tinggal di Jerman Barat masih punya keluarga atau kerabat yang tinggal di Jerman Timur.
Begitupun sebaliknya. Pembangunan tembok yang dimulai pada malam hari 12 Agustus itu jelas membawa akibat sosial yang tak menguntungkan bagi mereka.
Seorang jurnalis yang melaporkan untuk Universal-International News dalam video footage bertajuk "Berlin Drama: East Berliners Jump to Freedom" menarasikan peristiwa pelarian orang-orang yang dikejar polisi Jerman Timur dengan begitu dramatis.
“Ingatlah bahwa orang-orang ini mengambil risiko terbunuh untuk kembali merasakan sesuatu yang akan kita anggap sepadan: kebebasan,” kata jurnalis itu.
Perasaan bebas dari represi itulah yang ingin direbut oleh Ida dan teman-temannya. Dengan segala bantuan termasuk dukungan petugas pemadam kebakaran, mereka bermaksud melompat dan menyebrang ke Berlin Barat.
Laporan statistik memperlihatkan bahwa antara 1961 hingga 1989, sekitar 100 ribu orang mencoba kabur menyeberangi tembok. Dari jumlah itu, hanya 5 ribuan yang berhasil selamat. Sedangkan sekitar 100-200 orang tercatat tewas.
Satuan prajurit dan polisi Jerman Timur memang tidak terlihat menggunakan senjata api ketika menghalangi orang menyeberang tembok. Minimal, mereka tidak menembaki orang ketika mengetahui ada kamera jurnalis yang merekam. Belakangan, penggunaan senjata api tidak bisa dihindari.
Terhitung sejak awal Tembok Berlin berdiri tegak, peristiwa melayangnya ratusan nyawa pelarian itu dimulai dari Ida yang kala itu tinggal di apartemen di Bernauer Straße 48 di Berlin Mitte. Seperti semua gedung dan bangunan di bagian Selatan jalan itu, apartemen itu masuk ke wilayah kekuasaan Mitte, Jerman Timur.
Akan tetapi, pintu masuk gedung dan jalan di depannya merupakan wilayah administrasi Jerman Barat. Sebagai perawat biasa, itu kerap melintasi perbatasan Timur-Barat itu dalam aktivitas sehari-hari. Ia juga sering mengunjungi rumah kakaknya di Berlin Barat tak jauh dari tembok.
Sejak tembok itu didirikan, sebenarnya Ida dan para penduduk lainnya masih bisa berlalu-lalang melalui pintu depan. Namun, pintu itu akhirnya ditutup juga pada 18 Agustus dan segera diganti dengan pintu masuk baru di wilayah Timur. Polisi dan milisi ditempatkan berjaga di koridor depan.
Dalam keadaan tidak menentu itu mereka mencari akal dengan melompati jendela untuk menyeberang ke barat. Satuan petugas pemadam kebakaran Jerman Barat membantu upaya mereka dengan menangkap para pelompat dengan jaring penyelamat.
Pada 21 Agustus, Ida yang tahu persis pintu depan telah dijaga ketat berencana melompat. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia melemparkan kasur dan barang-barang lain lewat jendela. Ia melompat. Tapi nasibnya buruk.
Petugas kebakaran yang biasanya bersiap dengan jaring penyelamat justru sedang tidak membuka jaringnya. Karena terburu-buru dan ketakutan tertangkap, tubuhnya jatuh di atas trotoar jalan. Melihat Ida jatuh para petugas langsung melarikannya ke rumah sakit Lazarus. Sayangnya, dia meninggal dalam perjalanan.
Kematian itu secara langsung memicu kemarahan warga Jerman Barat. Media massa melaporkan secara rinci tentang “Fatal jump to freedom” dan menempatkan pemerintah Jerman Timur sebagai pihak yang bertanggung jawab.
Pada 29 Agustus upacara pemakaman resmi diadakan untuk Siekmann. Setelah pemakaman, Ernst Lemmer, Menteri Federal, dan Helmut Mattis, Wali Kota, meletakkan karangan bunga di depan gedung Bernauer Straße 48 yang bertuliskan: “Kebebasan yang Dirampas.”
Penulis: Tyson Tirta
Editor: Nuran Wibisono