Menuju konten utama

Tembok Berlin & Sejarah Pecahnya Jerman Usai Perang Dunia II

Sejarah terbelahnya Jerman usai Perang Dunia II memicu dibangunnya Tembok Berlin, yang membatasi wilayah barat dan timur. Berikut ini sejarahnya.

Tembok Berlin & Sejarah Pecahnya Jerman Usai Perang Dunia II
Tembok Berlin. foto/istockphoto

tirto.id - Sejarah penyatuan kembali antara Jerman Barat dan Jerman Timur pada 1990 diperingati setiap tanggal 3 Oktober. Reunifikasi Jerman ini terjadi setelah runtuhnya Tembok Berlin pada 1989. Jauh sebelumnya, sejak usainya Perang Dunia II, Jerman terbelah menjadi dua wilayah.

Perang Dunia II yang pecah sejak 1939 banyak dampak besar bagi Eropa, salah satunya adalah Jerman yang kala itu muncul sebagai kekuatan besar di bawah kendali Nazi pimpinan Adolf Hitler. Nazi kemudian harus menghadapi Sekutu, juga Uni Soviet.

Setelah Nazi jatuh dan perang usai pada 1945, tulis Richard J. Evans lewat artikel “The Other Horror, Review of Orderly and Humane: The Expulsion of the Germans After the Second World War” dalam The New Republic (25 Juni 2012), wilayah Jerman yang tersisa, termasuk Berlin, dibagi menjadi 4 zona militer.

Selain itu, diadakan perundingan antara Sekutu dengan Uni Soviet. Sekutu adalah gabungan dari beberapa negara yang menentang kelompok fasis maupun komunis, di dalamnya termasuk Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan lainnya.

Perundingan ini tidak berakhir mulus karena Soviet menolak usulan rekonstruksi Jerman pasca perang. Sebagian wilayah Jerman dikuasai Soviet (Blok Timur) sedangkan sebagian lainnya dipengaruhi Sekutu (Blok Barat). Bahkan, Kota Berlin pun terbagi dua.

Jerman Terbelah Dua

Jerman akhirnya benar-benar terbelah. Tanggal 23 Mei 1949, dikutip dari Germany 1945-1990: A Parallel History (2004) karya Jurgen Weber, wilayah barat yang dipengaruhi Sekutu mendeklarasikan diri menjadi Republik Federal Jerman.

Berdirinya Republik Federal Jerman atau Jerman Barat membuat sektor timur yang cenderung ke Uni Soviet juga melakukan hal serupa pada 7 Oktober 1949. Berdirilah Republik Demokratik Jerman atau disebut juga sebagai Jerman Timur.

Kota Berlin yang terletak di tengah-tengah juga ikut terbelah. Sebagian menjadi milik Jerman Barat, dan sebagian lainnya kepunyaan Jerman Timur.

Michael Z. Wise dalam Capital Dilemma: Germany's Search for a New Architecture of Democracy (1998) memaparkan, Jerman Barat memilih Kota Bonn sebagai pusat pemerintahan, sedangkan Berlin Timur menjadi ibu kota Jerman Timur.

Namun, perkembangan kedua wilayah ini sungguh berbeda. Dengan dukungan negara-negara liberal yang kapitalis, Jerman Barat mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Hal sebaliknya terjadi di Jerman Timur di bawah pengaruh Uni Soviet yang komunis.

Perbedaan kualitas hidup memicu gelombang imigrasi besar-besaran dari Jerman Timur ke Jerman Barat, terutama sejak 1950. Meskipun tidak sedikit imigran yang bisa dihentikan, namun ratusan ribu orang lainnya berhasil melintasi perbatasan.

Kebanyakan warga Jerman Timur yang melarikan diri adalah para profesional muda dan orang-orang terlatih. Hal ini mengakibatkan Jerman Timur dengan cepat kehilangan banyak tenaga ahli sekaligus tenaga kerja.

Tembok Berlin Dibangun

Antara 1949 hingga 1961, diperkirakan hampir 2,7 juta orang meninggalkan Jerman Timur. Pemerintah Jerman Timur tentunya sangat marah dengan situasi ini.

Maka, tulis Thomas Flemming dan Hagen Koch dalam The Berlin Wall: Division of a City (2014), pada 13 Agustus 1961 mulai dibangun tembok sebagai dinding pembatas antara wilayah Berlin bagian barat milik Jerman Barat dengan Berlin bagian timur milik Jerman Timur.

Blok Timur menyatakan bahwa Tembok Berlin dibangun untuk melindungi warganya dari berbagai pengaruh yang dapat memicu gerakan-gerakan besar sehingga mereka dapat membentuk pemerintahan komunis di Jerman Timur.

Itu sebenarnya hanya dalih semata karena dalam kenyataannya, Tembok Berlin didirikan untuk mencegah penduduk Jerman Timur ke wilayah Jerman Barat. Dinding raksasa ini dibangun tepat di tengah Kota Berlin.

Di sisi lain, Jerman Barat mengecam pembangunan Tembok Berlin dan menyebutnya sebagai “dinding yang memalukan” karena membatasi kebebasan orang untuk bergerak. John F. Kennedy saat menjabat sebagai Presiden AS juga pernah mengutuk berdirinya tembok pemisah ini.

Dikutip dari tulisan Jennifer Rosenberg berjudul “The Rise and Fall of the Berlin Wall” dalam ThoughtCo (1 September 2019), tembok ini semula hanya berupa kawat berduri yang direntangkan sepanjang 100 mil di perbatasan Berlin Timur dan Berlin Barat.

Namun, kemudian dibangun tembok lapis pertama dengan beton permanen dan kawat berduri di atasnya. Seiring berjalannya waktu, Tembok Berlin semakin diperkokoh dengan dibangunnya tembok lapis kedua dari beton sepanjang 155 km dengan tinggi 4 meter. Di puncak dinding dipasang pipa yang cukup besar.

Proyek penguatan Tembok Berlin ini dibarengi dengan pendirian 300 menara pengawas yang dipersenjatai senapan otomatis, 30 bungker, beberapa pos perbatasan, serta pagar sinyal yang bisa mendeteksi penyeberang.

Sebelum adanya dinding pemisah, banyak orang melewati perbatasan dengan mudah. Setelah Tembok Berlin dibangun, menjadi sangat sulit untuk pergi dari timur ke barat tanpa melalui salah satu dari tiga pos pemeriksaan utama.

Artikel bertajuk “Berlin Wall” yang dipublikasikan History (15 Juni 2009) mengungkapkan, di setiap pos pemeriksaan, tentara Jerman Timur akan memeriksa setiap orang sebelum diizinkan masuk atau pergi. Kecuali dalam keadaan khusus, orang dari Berlin Timur maupun Berlin Barat jarang diizinkan melintasi perbatasan.

Meskipun demikian, masih ada saja orang yang nekat menerobos perbatasan dan kerap disikapi dengan keji oleh penjaga yang tidak jarang menimbulkan korban tewas meskipun jumlah pastinya masih menjadi perdebatan hingga kini.

Tembok Berlin juga menjadi ikon Perang Dingin antara Blok Barat yang digawangi Amerika Serikat melawan Blok Timur di bawah komando Uni Soviet. Setelah berdiri selama bertahun-tahun, akhirnya tembok ini diruntuhkan yang menjadi awal bersatunya kembali Jerman pada 3 Oktober 1990.

Baca juga artikel terkait TEMBOK BERLIN atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya & Rachma Dania

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Rachma Dania
Penulis: Iswara N Raditya & Rachma Dania
Editor: Iswara N Raditya
Penyelaras: Ibnu Azis