tirto.id - Pada 20 Mei 1940, seorang tentara berusia 22 tahun bernama Heinrich Boll menulis surat kepada pusat militer Jerman. Boll yang seorang prajurit Nazi, menulis, "Mungkin Anda bisa mendapatkan lebih banyak pervitin untuk persedianku?”
Di Jerman, pervitin adalah nama lain dari metamfetamina --di Indonesia dikenal dengan nama sabu. Böll merasa peperangan benar-benar membuatnya lesu dan cemas. Untuk dapat membuatnya semangat, ia mengkonsumsi obat-obatan macam pervitin yang saat itu legal. Böll kecanduan meski sudah ada peringatan di kemasan obat: pervitin hanya dipakai untuk menjaga stamina dan tidak untuk pemakaian jangka panjang.
Böll bilang bahwa satu pil pervitin dapat membuat penglihatannya tetap waspada layaknya menenggak satu liter kopi kental, bahkan diklaim khasiatnya lebih baik dari sekadar minum kopi. Ketika memakai pervitin, Böll tak lagi merasakan kekhawatiran, dan lebih tenang serta tentram.
Belakangan, nama Böll terkenal setelah ia pensiun dari tentara dan menjadi salah satu penulis pascaperang terkemuka di Jerman. Ia pernah memenangkan Hadiah Nobel untuk sastra pada 1972.
Obat Ajaib Tentara Nazi
Pada 1930-an perusahaan farmasi di Jerman mengembangkan obat mengandung metamfetamina yang kemudian dinamai pervitin dan diedarkan ke pasaran.
Penelitian Ray J. Defalque dan Amos J. Wright di Bulletin of Anesthesia History berjudul “Methamphetamine for Hitler’s Germany: 1937 to 1945” (2011, PDF) mencatat, pervitin yang berbentuk tablet itu laku keras di kalangan perawat, operator telepon, dan para penjaga keamanan, alias pekerja malam yang kerap kelelahan akibat beban kerja. Di kalangan kawula muda yang ingin mencari kesenangan, pervitin menjadi obat andalan untuk menciptakan suasana gembira. Tak jarang dipakai untuk menambah kenikmatan sewaktu bercinta.
Ketika itu, pervitin punya reputasi baik dan tidak dipandang sebagai obat berbahaya. Malahan pemerintah Jerman mendukung agar terus dilakukan penelitian lanjutan untuk mengungkap berbagai manfaat baik yang bisa didapat dari pervitin. Itu terlihat saat akhir 1939, ketika ada lebih dari 100 studi klinis mengenai metamfetamina yang semuanya bernada baik seperti untuk bedah, pengobatan asma, sakit kepala, skizofrenia, depresi, dan lainnya.
Namun, di waktu yang sama, beberapa studi ilmiah lainnya sebenarnya turut membeberkan dampak buruk pervitin terutama sifatnya yang membikin kecanduan. Mereka mendorong pemerintah ikut campur dengan mengontrol penggunaan pervitin yang terlanjur beredar luas di masyarakat. Pada November 1939, pemerintah Jerman resmi mewajibkan resep dokter untuk penggunaan pervitin.
Kenyataannya, obat itu disalahgunakan. Termasuk dikonsumsi massal oleh tentara Nazi ketika bertarung di Perang Dunia II.
Menurut James Holland, sejarawan Perang Dunia II seperti dilansir Live Science, pada 1940 pervitin sengaja dipasok untuk ke pilot angkatan udara Nazi (Luftwaffe) agar kuat menghadapi kerasnya misi pertempuran udara yang melelahkan. Obat itu dipakai untuk mengusir insomnia dan kelaparan jika pesawat mereka ditembak jatuh musuh lalu terdampar di tempat terpencil.
Saat serangan udara besar-besaran Jerman ke Inggris yang dinamai operasi Blitz (1940 – 1941), catatan kantor perang Inggris memperkirakan bahwa dari April hingga Juni 1940 sekitar 35 juta tablet pervitin dipasok ke tiga juta angkatan darat, laut, dan udara Jerman.
Selain operasi Blitz, pervitin dipakai Jerman saat menyerang Prancis pada 1940. Faktor geografis yang bikin tentara lelah, dan tak leluasa istirahat, membuat para tentara memilih minum pervitin tiga kali sehari: satu tablet di pagi hari dan dua tablet di malam hari. Mereka bahkan dipersilakan mengkonsumsi lebih banyak lagi tergantung kebutuhan. Hasilnya, Jerman bisa menang atas Perancis.
Ketika Jerman menang atas sekutu dalam pertempuran Dunkirk, pervitin berperan membuat pasukan Nazi menjadi manusia super. Mereka kuat bertarung selama 10 hari berturut-turut tanpa lelah, menjebak dan menggasak pasukan Inggris.
"Jika tidak ada obat-obatan itu, ya tidak akan ada invasi," kata Norman Ohler penulis buku Blitzed: Drugs in the Third Reich (2017) kepada The Guardian. “Obat itu memungkinkan mereka untuk tetap terjaga selama tiga hari tiga malam”.
Dijiplak Inggris dan Amerika
Nazi bukanlah satu-satunya bala tentara yang menyalahgunakan obat stimulan untuk mendongkrak daya gedor para prajuritnya. Di pihak sekutu, Inggris dan Amerika Serikat ikut memakai obat-obatan sebagai pendongkrak stamina prajurit. Hal ini terungkap dalam tayangan Public Broadcasting Service (PBS) Secrets of the Dead dengan episode berjudul "World War Speed"
Ketika obat super itu ditemukan oleh agen intelijen Inggris di pesawat tentara Nazi yang jatuh, para pejabat ingin melakukan hal yang sama dengan mengembangkan obat unggulan serupa. Mereka kemudian menetapkan amfetamin benzedrine dalam bentuk tablet dan inhalansia. Inggris menyetujui penggunaan obat-obatan tersebut pada 1941 dan segera memasoknya ke pasukan angkatan udara Inggris lewat petugas medis yang bekerja di sana dengan dosis 10 miligram per hari.
Tidak cuma Inggris, pasukan Amerika ikut-ikutan memakai benzedrine. Ketika Amerika mendarat di Afrika Utara dalam operasi Torch pada tahun 1942, mereka bertempur di bawah pengaruh setengah juta tablet benzedrine yang dipasok atas perintah Jenderal Dwight D. Eisenhower yang kemudian menjadi Presiden AS ke-34.
Satuan Brigade Tank Lapis Baja Inggris 24 yang bertempur di Mesir malah diberi dosis 20 miligram Benzedrine per hari, melebihi dosis pasukan angkatan udara. Dilansir dari Gizmodo, para peneliti saat itu menemukan efek benzedrine dapat memberikan dorongan semangat, meningkatkan kepercayaan diri, dan bisa bersikap lebih agresif.
Obat-obatan stimulan ini menyimpan efek samping yang buruk. Selain kecanduan, para prajurit Nazi yang mengkonsumsi Pervitin mengalami gangguan tubuh lantaran kurang tidur, kerap pusing, halusinasi, dan lainnya. Ada tentara yang sampai meninggal dunia karena gagal jantung. Yang lain justru menembak dirinya sendiri selama fase psikotik.
"Tingkat kecanduan akut dan betapa berbahanya mereka tidak dipahami dengan benar, kata Holland kepada Live Science. "Pada akhir perang, hanya sedikit bantuan yang ditawarkan untuk orang-orang yang kecanduan ini".
Tidak cuma prajurit Nazi yang kecanduan obat-obatan, Adolf Hitler sang pemimpin Nazibahkanmengandalkan suntikan oksikodon (obat opioid analgesik) dan kokain tiap harinya sebagai bahan bakar kekuatannya memimpin perang dan mengatur strategi. Hitler sadar bahwa dirinya kecanduan opiat dan menuding dokter pribadinya, Theodor Morell sebagai biang keroknya.
Pada akhir April 1945, menjelang berakhirnya Perang Dunia II di mana Jerman makin banyak menderita kekalahan, Hitler yang bersembunyi di bunker memecat dan mengusir Morell dengan amarah yang meledak-ledak.
"Kamu telah memberiku opiat sepanjang waktu! Keluar dari bunker dan tinggalkan aku sendiri" teriak Hitler.
Editor: Nuran Wibisono