tirto.id - Adolf Hitler adalah seorang perokok berat. Sebanyak 25 sampai 40 batang rokok ia bakar dan nikmati setiap hari. Namun kesukaannya di satu titik berbalik menjadi kebencian. Obsesi menciptakan dan menjaga keunggulan dan kebersihan ras Arya-lah penyebabnya.
Tembakau saat itu dipandang sebagai salah satu ancaman untuk kesehatan dan kelangsungan keturunan unggul Nazi. Ketika kebencian Hitler terhadap rokok makin menjadi-jadi, ia kemudian memandang kegiatan merokok sebagai kemerosotan. Selain itu, menurut Clark, Briggs, dan Cooke dalam buku A History of the Royal College of Physicians of London, rokok juga merupakan kemurkaan bagi orang kulit merah—merujuk pada orang Indian—terhadap orang kulit putih.
Hitler mulai marah dan benci melihat orang-orang dekatnya yang masih merokok. Hitler juga tidak senang Eva Braun, teman hidupnya, merokok. Juga Martin Bormann, sekretaris pribadinya, dan Hermann Göring, perwira militer Nazi yang sering melakukan merokok di tempat umum.
Sebagai tidak lanjut atas rasa ketidaksukaannya, Hitler membatasi kebebasan merokok bagi para personel militer untuk merokok. Ia menegaskan bahwa "tidak benar bahwa tentara tidak dapat hidup tanpa merokok." Namun ketidaksukaan Hitler pada rokok sebenarnya hanya salah satu alasan di balik kampanye anti-tembakaunya.
Sikapnya ini tidak lepas dengan kebijakan lainnya yaitu mengenai reproduksi. Inilah faktor penting di balik kampanye anti-tembakau seperti dijelaskan George Davey Smith dalam tulisannya berjudul "Lifestyle, Health, and Health Promotion in Nazi Germany."
Nazi Jerman berkeyakinan bahwa wanita yang merokok dianggap rentan terhadap penuaan dini dan hilangnya daya tarik fisik. Mereka dipandang tidak cocok lagi untuk menjadi istri dan ibu dalam keluarga Jerman yang mereka klaim sebagai ras paling unggul. Keyakinan ini ditopang oleh para peneliti medis milik Nazi.
Demam Antitembakau
Sebelum era Reich Ketiga berdiri, sejatinya sentimen anti-tembakau sudah merebak di berbagai wilayah Jerman dan sekitarnya. Organisasi anti-tembakau banyak didirikan.
Dalam buku Robert N. Proctor berjudul The Nazi War on Tobacco: Ideology, Evidence, and Possible Cancer Consequences, disebut bahwa sentimen anti-tembakau telah ada di Jerman sejak awal abad ke-20. Para penentang rokok mendirikan Deutscher Tabakgegnerverein zum Schutze der Nichtraucher (Asosiasi Penentang Tembakau Jerman untuk Perlindungan Nonperokok) pada 1904.
Organisasi anti-tembakau lainnya turut berdiri, misalnya Bund Deutscher Tabakgegner (Federasi Penentang Tembakau Jerman) pada 1910. Demam organisasi serupa tumbuh subur di Praha tahun 1920 dengan nama Bund Deutscher Tabakgegner in der Tschechoslowakei (Federasi Penentang Tembakau Jerman di Cekoslovakia), termasuk di wilayah Austria bernama A Bund Deutscher Tabakgegner in Deutschösterreich (Federasi Penentang Tembakau Jerman di Austria-Jerman) yang berdiri pada 1920.
Memasuki era Nazi, penelitian kesehatan mulai digalakkan secara serius untuk mendukung keinginan Hitler. Menurut laporan The Atlantic, pada 1939 ilmuwan Franz Muller mempresentasikan studi epidemiologi pertama yang menghubungkan antara penggunaan tembakau dengan penyakit kanker.
Hitler mendukung dan secara pribadi memberikan bantuan keuangan untuk Wissenschaftliches Institut zur Erforschung der Tabakgefahren (Lembaga Penelitian Bahaya Tembakau) yang didirikan pada 1941 di Jena University. Pada 1943, sebuah makalah yang disiapkan oleh ilmuwan Jerman Eberhard Schairer dan Erich Schöniger di universitas tersebut melahirkan temuan pertama bahwa merokok dapat menyebabkan kanker paru-paru.
Kampanye publik mulai digalakkan guna memberikan peringatan akan bahaya merokok. Majalah kesehatan terkenal seperti Gesundes Volk, Gesundes Leben, dan Volksgesundheit menerbitkan berbagai peringatan dan konsekuensi kesehatan akibat rokok.
Biro yang menangani bahaya alkohol dan tembakau menyusul dibentuk pada bulan Juni 1939 dengan nama Reichsstelle für Rauschgiftbekämpfung. Berbagai poster dengan tampilan visual bahaya tembakau dan rokok disebar, pesan anti-rokok dikirim ke berbagai instansi kerja. Termasuk menggunakan universitas untuk membantu mengkampanyekan gerakan anti-tembakau atau anti-rokok.
Tahun 1941, merokok di trem dilarang di enam puluh kota di Jerman, disusul pelarangan di bis, kereta api kota, dan pembatasan jatah rokok di Wehrmacht (angkatan bersenjata Nazi). Perokok di lingkungan Nazi masih diberi ruang gerak, tapi orang Yahudi dan tahanan perang tidak diberi akses sedikitpun untuk membeli tembakau.
Karena di awal-awal rezim Nazi gerakan anti-tembakau tidak berpengaruh dan malah meningkat, baru di akhir 1930-an Nazi menerapkan kebijakan lebih keras. Barulah jumlah orang yang merokok 30 batang atau lebih per hari menurun dari 4,4 persen menjadi 0,3 persen menurut laporan Robert Proctor berjudul "The Anti-tobacco Campaign of the Nazis: a Little Known Aspect of Public Health in Germany, 1933–45."
Runtuhnya rezim Nazi juga turut meruntuhkan kampanye anti-tembakau sekaligus anti-merokok. Dengan cepat pasar rokok Amerika, Swiss, dan Italia masuk di pasar gelap Jerman. Pemerintah Jerman juga tidak mampu menggalakkan kampanye anti-tembakau seperti yang dilakukan rezim Nazi terdahulu.
Bagaimanapun, selain alasan kesehatan masyarakat, Nazi sangat dipengaruhi oleh ideologi. Konsep kebersihan ras dan kemurnian jasmani dijunjung tinggi. Menikmati tembakau sama dengan degenerasi rasial. Para aktivis anti-tembakau Nazi menggambarkan tembakau sebagai sifat buruk orang Negro yang rusak perangainya.
Penulis: Tony Firman
Editor: Maulida Sri Handayani