tirto.id - Calon Hakim Agung Kamar Tata Usaha Negara Khusus Pajak, Triyono Martanto, mengungkapkan motivasinya dalam mengikuti uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) calon Hakim Agung dan Hakim Adhoc Mahkamah Agung (MA) di Komisi III DPR RI.
Triyono mengaku sudah mengikuti seleksi ini sebanyak lima kali. Kali ini, katanya, dia merasa terpanggil sebagai pimpinan Pengadilan Pajak dan ingin agar Pengadilan Pajak berada di bawah satu atap saja, yakni MA.
“Saya kepanggil karena saya sebagai pimpinan Pengadilan Pajak, saya mempunyai tanggung jawab, satu, ditunjuk sebagai kelompok kerja untuk pengalihan Pengadilan Pajak ke Mahkamah Agung. Jadi mulai 31 Desember 2026, Pengadilan Pajak itu sudah satu atap,” ujar Triyono di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (10/9/2025).
Diketahui, saat ini Pengadilan Pajak berkedudukan di bawah Kementerian Keuangan (Kemenkeu). “Kalau sekarang kan kakinya dua, Kementerian Keuangan satunya, pada saat transisi ini lah yang kita harapkan, bahwa transisi ini smooth,” ucapnya.
Berpengalaman sebagai hakim Pengadilan Pajak di MA, dia merasa bekalnya itu akan memudahkannya dalam berkoordinasi terkait sumber daya manusia (SDM) hingga panitera.
“Sedangkan kalau posisi saya di MA kan lebih mudah. Jadi mengkoordinasi terkait SDM, terkait panitra-panitranya, dan lain-lainnya lah, itunya lebih mudah karena saya ikutin dari awal,” jelas dia.
Sementara itu di hadapan komisi III DPR RI, Triyono melihat selama ini Indonesia kurang memajaki berbagai platform digital milik perusahaan asing yang bergerak di Indonesia.
““Perusahaan multinasional seperti perusahaan digital besar itu sebenarnya belum optimal dipajaki karena mereka tidak punya kehadiran fisik. Hal ini mungkin dianggap oleh negara-negara berkembang, karena mungkin perusahaan multinasional itu punya negara-negara maju,” ucapnya.
Menurutnya, perusahaan asing selalu memanfaatkan perbedaan aturan pajak dari negara asal mereka dan Indonesia guna menghindari penarikan pajak.
“Selanjutnya, terkait dengan praktik BEPS ini, ini biasanya dilakukan perusahaan multinasional, ini cenderung menggerus, pada dasarnya, yakni pendapatan negara, yaitu dengan memanfaatkan ketidakselarasan peraturan pajak antar negara,” terangnya.
“Yaitu dengan cara mengalihkan laba ke yurisdiksi pajak yang tarifnya rendah, atau mungkin tarifnya 0 atau tanpa pajak, nah ini yang selama ini terjadi,” tambahnya..
Hal tersebut tentu bisa merugikan Indonesia dari segi pendapatan negara. “Apa dampaknya? Dampaknya tentu akan merugikan kita sebagai bangsa Indonesia, keuangan negara terkait penarikan pajak yang terutama,” ucapnya.
Penulis: Nabila Ramadhanty
Editor: Andrian Pratama Taher
Masuk tirto.id


































