tirto.id - Sekretaris Daerah Kabupaten Kebumen, Adi Pandoyo harus mendekam di tahanan setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkannya sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek di Dinas Dikpora Kebumen pada APBD Perubahan 2016. Ia ditahan pada 29 Desember 2016 usai menjalani pemeriksaan di gedung komisi antirasuah.
KPK menilai, Adi Pandoyo secara bersama-sama dengan Sigit Widodo, salah satu Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kebumen, dan Yudhy Tri H (Ketua Komisi A DPRD 2014-2019) diduga menerima hadiah atau janji dari BSA (Basikun Suwandhin Atmojo) terkait pembahasan dan pengesahan anggaran proyek di Dinas Dikpora Kebumen dalam APBD Perubahan 2016.
Selain sekda dan Basikun, sebelumnya KPK telah menetapkan tersangka lain dalam kasus ini, yakni: Yudhy Tri H, Sigit Widodo, serta Direktur Utama PT Otoda Sukses Mandiri Abadi (OSMA) Grup, Hartoyo sebagai tersangka pemberi suap.
Kasus tersebut terbongkar setelah KPK melakukan operasi tangkap tangan pada 15 Oktober 2016 di sejumlah tempat di Kebumen. Dari hasil OTT tersebut, KPK menduga Yudhy dan Sigit menerima suap terkait proyek di Dinas Dikpora Kebumen dengan total nilai proyek Rp4,8 miliar untuk pengadaan buku, alat peraga dan peralatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK).
KPK menduga keduanya membuat kesepakatan dengan pengusaha dari Jakarta untuk mendapatkan proyek dengan imbalan 20 persen dari nilai Rp4,8 miliar tersebut. Namun, kesepakatan yang terjadi adalah Rp750 juta.
Kasus korupsi yang menyeret nama Adi Pondoyo dan Sigit Widodo menambah daftar panjang ASN atau pegawai negeri yang terlibat skandal korupsi sepanjang tahun 2016. Hal ini terkonfirmasi dari data Indonesia Corruption Watch (ICW) yang mencatat terdapat 515 ASN yang telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi, baik oleh KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan pada tahun 2016.
Berdasarkan data tersebut, ASN yang terlibat kasus korupsi sebagian besar berasal dari pemerintah daerah, baik kabupaten maupun kota. Salah satu kasus yang cukup fenomenal tentu saja adalah kasus suap jual beli jabatan yang menyeret Bupati Klaten, Sri Hartini sebagai tersangka.
Dalam kasus ini, terdapat nama Suramlan, yang berstatus sebagai ASN. Ia merupakan Kepala Seksi Sekolah Menengah Pertama (SMP) Dinas Pendidikan Kabupaten Klaten yang juga ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap dalam kasus korupsi jual beli jabatan di Kabupaten Klaten.
Kasus lain yang juga melibatkan ASN adalah kasus korupsi yang menjerat Kepala Sub Direktorat Bukti Permulaan Direktorat Penegakan Hukum Direktorat Jenderal Pajak, Handang Soekarno. Handang ditetapkan sebagai tersangka setelah diamankan dalam OTT KPK di rumah Country Director PT E.K.Prima Ekspor Indonesia, Rajesh Rajamohanan Nain, di Springhill Residences, Kemayoran, pada 21 November 2016, sekitar pukul 20.00 WIB.
Saat itu, terjadi penyerahan uang sebesar 148.500 dolar AS atau setara Rp1,9 miliar dari Rajesh ke Handang. Uang Rp1,9 miliar itu merupakan bagian dari total komitmen sebanyak Rp6 miliar dari Rajesh kepada Handang supaya Handang mencabut Surat Tagihan Pajak dari Pajak Pertambahan Nilai barang ekspor dan bunga tagihan tahun 2014-2015 senilai Rp78 miliar.
Jika ditarik lebih luas, terdapat sejumlah kasus korupsi lain yang melibatkan ASN di sejumlah wilayah. Misalnya, kasus korupsi yang menjerat dua ASN berinisial ES dan Bdn, di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, pada Agustus 2016. Kejaksaan menahan ES, terkait dugaan gratifikasi pembebasan lahan bekas kebakaran di Pelabuhan Penajam yang direlokasi ke Gunung Seteleng pada 2009-2010. Pada pembebasan lahan di Gunung Seteleng itu, ES diduga menerima uang suap sekitar Rp150 juta dari pemilik lahan.
Saat yang bersamaan, Kejari Penajam Paser Utara juga menahan mantan Kepala Seksi Kesejahteraan Sosial Kelurahan Buluminung, Bdn, yang diduga melakukan tindak pidana korupsi anggaran pada Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) dan Dokumen Pelaksanaan Perubahan Anggaran (DPPA) Kelurahan Buluminung tahun 2013.
Menguatkan Reformasi Birokrasi
ICW melihat fenomena korupsi birokrasi, khususnya pasca penerapan otonomi daerah sedikit banyak menjelaskan gagalnya agenda reformasi birokrasi dan buruknya pengawasan pusat atas daerah. Karena itu, ICW merekomendasikan agar pemerintah pusat lebih berperan aktif dalam melakukan pengawasan.
Dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, peneliti ICW Febri Hendri mengatakan, pemerintah pusat khususnya yang memiliki peran dalam melakukan pengawasan dan pembinaan, seperti Kemenpan RB, Kemendagri, Kemenkeu agar bekerjasama dengan KPK, KASN dan Ombudsman untuk mengevaluasi pelaksanaan reformasi birokrasi dan penerapan tata kelola organisasi pemerintah daerah.
“Instrumen teknokratis untuk menekan penyimpangan anggaran juga perlu lebih keras didorong, seperti penggunaan e-procurement, open-contracting serta e-catalogue untuk mengurangi korupsi sektor PBJ [Pengadaan Barang dan Jasa],” ujarnya.
Dalam konteks perencanaan dan penyusunan anggaran, menurut Febri, e-planning dan e-budgeting juga harus diterapkan secara menyeluruh agar kontrol warga atas perencanaan dan pelaksanaan anggaran bisa diefektifkan. Sementara pengawasan internal pemda juga perlu didesain ulang dengan menempatkan inspektorat atau badan pengawas internal pemda sebagai fungsi yang relatif otonom dari kekuasaan kepala daerah, agar pengawasan internal tidak menjadi macan ompong.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti