tirto.id - Dalam masakan, ada lima rasa dasar yang memainkan peranan penting; manis, asin, asam, pahit, dan umami (atau biasanya kita menamakan gurih). Dalam dokumenter “Salt Fat Acid Heat” chef dan penulis kuliner, Samin Nosrat, mengatakan bahwa satu-satunya elemen terpenting untuk membuat masakan enak adalah garam. Samin mengatakannya dengan yakin saat dirinya mengunjungi Jepang dan menemukan fakta bahwa di Jepang, ada sekitar 4.000 jenis garam yang berbeda.
Pentingnya rasa asin ini juga pernah diceritakan oleh Anthony Bourdain dalam wawancaranya bersama Neil deGrasse Tyson. Tony bercerita suatu saat dia harus diet garam. Setelah beberapa hari menjalani diet garamnya itu, Tony sangat kewalahan, sampai-sampai saat melihat orang berkeringan di pinggir jalan dia ingin menjilatnya sekadar untuk merasakan asin.
Namun rasa asin di kepala saya dulu identik dengan frasa kemiskinan. Mungkin ini berkaitan dengan kebiasaan di keluarga kami yang sering memasak ikan asin atau gereh, bersama dengan sayur nangka kering nget-ngetan.
Sejarawan JJ Rizal, dalam sebuah kesempatan mengatakan, alasan kenapa ikan asin diidentikkan dengan orang miskin, karena menurutnya ikan asin tergolong makanan yang populer, mudah sekali ditemukan di pasar. Harganya yang murah membuat ikan asin kerap disantap oleh masyarakat dengan ekonomi lemah. Tak heran jika ikan asin akhirnya menjadi simbol rakyat miskin atau wong cilik.
Apa yang disebutkan JJ Rizal tersebut juga diperkuat dengan pernyataan Murdijati Gardjito, seorang guru besar ilmu dan teknologi pangan dari universitas Gadjah Mada. Dalam bukunya Gastronomi Indonesia Jilid 1, disebutkan bahwa ikan asin menjadi lima serangkai dari sahabat pangan rakyat; bersama lalap, sambal, kecap, dan kerupuk. Murdijati juga menyebutkan bahwa pengolahan ikan asin merupakan teknologi pangan yang sudah sangat tua.
Pernyataan Murdijati Gardjito sangat beralasan, mengingat ikan asin sudah terlacak sejak zaman Jawa kuno. Menurut penelusuran Historia, menu olahan ikan yang diasinkan sebagai salah satu lauk pauk pendamping nasi juga sudah ada dalam upacara penetapan sima di desa Panggumulan, yang tertera dalam prasasti Panggumulan bertarikh 824 C atau 920 M. Prasasti yang berbahan tembaga dan terdiri dari tiga lempeng tersebut memuat informasi mengenai jenis ikan laut yang diasinkan; beberapa jenisnya ada ikan kakap, bawal (kadiwas), ikan kembung (ruma), dan ikan layar atau pari.
Fenomena Ikan Asin
Karena terlampau sering menyantap ikan asin yang dihidangkan nenek, dulu saya menganggap lauk itu membosankan. Seiring waktu, anggapan itu perlahan pudar saat saya merantau ke Bandung. Rasa asin dari ikan asin di tanah Pasundan tersebut, saya rasakan agak berbeda. Kadar asinnya lebih bisa diterima di lidah saya, dibanding dengan ikan asin yang dulu suka nenek hidangkan.
Di Bandung pula, saya mendapati ikan asin punya derajat yang lebih baik. Ikan asin seringkali jadi lauk utama ketika ngabotram, alias kegiatanmasyarakat Sunda yang menjadi penanda keakraban saat berkumpul, bereuni kecil-kecilan, dengan ritual makan beralaskan daun pisang tanpa dipotong dari tulang daunnya, kemudian diamparkan di lantai atau di meja panjang, dan kemudian membentuk kerumunan melingkarinya. Komposisi ikan asin biasanya disantap dengan jengkol goreng, tahu dan tempe goreng, sayur kangkung, sambal, dan nasi hangat yang mengepul.
Dua persinggungan tentang ikan asin yang saya rasakan saat masih kecil dan setelah dewasa tersebut menjadi hal yang menarik, tapi wacana dominan dari ikan asin yang masih identik dengan kemelaratan ini sepertinya belum banyak bergeser.
Stereotip tentang ikan asin dalam fenomena umum di industri televisi misalnya, juga mempunyai peranan, dari mulai acara gosip memberitakan pesohor yang melibatkan frasa “ikan asin” yang menjadi semacam ejekan, dan kemudian berbuntut panjang hingga berakhir menjadi kasus hukum.
Atau jika sedang iseng cari juga di youtube judul sinetron atau FTV yang menggunakan kata “ikan asin” dan biasanya akan memunculkan tokoh protagonis yang berprofesi sebagai pembuat atau penjual ikan asin yang hidup menderita, dan diikuti dengan cerita akhir yang membahagiakan.
Dalam karya sastra pun, ikan asin juga pernah diulas Wiji Thukul, sebagai penyair yang mempunyai simbol kuat dalam melawan Orde Baru, dan berakhir dihilangkan, hingga belum ada kejelasan nasibnya hingga kini. Wiji Thukul dalam puisi berjudul: “Kucing, Ikan Asin dan Aku” yang ditulisnya tahun 1996, seperti sedang merepresentasi dirinya, yang secara universal juga semacam menjadi perwakilan orang-orang miskin di masa itu, dengan meminjam “ikan asin” sebagai salah satu amunisinya:
Aku melihat diriku sendiri
Lalu kami berbagi
Kuberi ia kepalanya
Aku hidup Ia hidup
Kami sama-sama makan
Saat Lebaran kemarin saya menziarahi makam nenek, sifatnya yang ketus, sayur nangka nget-ngetan, dan ikan asin buatannya, adalah memori yang membuat saya tersenyum. Selesai berziarah saya membatin, semoga nenek tidak melulu memasak ikan asin di alam sana.
Penulis: Husni Efendi
Editor: Nuran Wibisono