tirto.id - Terik matahari pagi menyambut hari raya Iduladha di pelataran Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Udara hangat berembus lembut di sela-sela bangunan tua yang kaya akan sejarah di balik sudutnya.
Di Bangsal Pagelaran, para prajurit Keraton yang dikenal sebagai Bregada berbaris rapi. Dengan pakaian adat yang gagah dan senjata tradisional yang mereka bawa, mereka bersiap memulai kirab agung dalam upacara sakral Garebeg Besar yang diselenggarakan pada Sabtu, 7 Juni 2025.
Langkah para prajurit berpadu dengan harmoni alunan gamelan yang menggema dari dalam keraton. Denting saron dan bunyi kendang bersahutan, menciptakan suasana yang penuh wibawa dan kekhidmatan, seakan membangkitkan kembali denyut nadi zaman silam, menghadirkan jejak spiritual dan budaya dari masa keemasan Mataram Islam.
Di tengah barisan kirab, tampak enam gunungan menjulang tinggi, megah, dan kokoh, sebagai lambang berkah juga harapan. Gunungan-gunungan itu menampakkan kekayaan hasil bumi, mulai dari palawija, buah-buahan segar, sayuran, hingga jajanan tradisional yang ditata artistik.
Gunungan di acara Garebeg Besar bukanlah sekadar tumpukan makanan. Ia merupakan simbol kemakmuran dan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rezeki dari bumi dan langit.
Para prajurit dengan penuh kehormatan memapah gunungan menuju Masjid Gedhe Mataram Kauman. Di tempat suci itu, gunungan akan didoakan kemudian diarak agar berkahnya mengalir kepada seluruh rakyat.
Setelah prosesi doa di Masjid Gedhe, gunungan dibagikan ke empat titik utama: Masjid Gedhe Mataram, Pura Pakualaman, Ndalem Mangkubumen, dan Kompleks Kepatihan. Masing-masing lokasi bermakna khusus, yakni simbol distribusi berkah dari raja kepada rakyatnya.
Sementara itu, ratusan warga dan wisatawan telah memadati area Alun-alun Utara dan halaman Masjid Gedhe Mataram sedari pagi. Mereka datang dengan penuh antusiasme, mengenakan pakaian terbaik, membawa serta anak-anak mereka, dan tak lupa mengabadikan momen dengan tangkapan foto. Suasana kerajaan terasa hidup kembali, mengisi perjalanan prosesi budaya yang hanya digelar tiga kali dalam setahun.
Tibalah saat yang ditunggu-tunggu. Para abdi dalem membagikan ubarampegunungan langsung kepada warga. Seketika, kerumunan berduyun-duyun, tangan-tangan terulur mengharap berkah. Mereka berdesak-desakan, tetapi tetap dalam ambang batas kewajaran. Aparat keamanan dari kepolisian dan TNI berdiri siaga, membentuk pagar manusia untuk menjaga ketertiban warga yang penuh tatapan harap menggapai keberkahan.
Jumanti, salah satu warga yang hadir dalam tradisi Garebeg Besar, tampak sangat antusias. Dengan senyum semringah dan kepal tangan kanan menggenggam ubarampe, dia mengaku bahwa ini adalah kali keduanya ikut serta dalam perayaan tersebut.
“Tahun ini saya dapat lemper”, ujarnya, dengan wajah berseri. “Senang sekali, suasananya sekarang lebih tertib. Nggak kaya dulu yang saling dorong-dorongan. Sekarang abdi dalem langsung bagiin [kepada] siapa [saja] yang mau."
Bukan tanpa alasan warga berbondong-bondong datang dan berebut ubarampe. Mereka bukan semata mengharap makanan, melainkan percaya bahwa setiap bagian dari gunungan mengandung berkah. Dalam kerumunan, tangan-tangan yang terulur itu mengandung harapan dan doa, bahwa selembar wajik dari puncak gunungan raja akan membawa serta restu leluhur dan rezeki dari langit yang biasa disebut Ngalap Berkah.
Di antara prosesi gunungan, ada satu kirab khusus yang mencuri perhatian warga, yakni pengiriman gunungan ke Kompleks Kepatihan, tempat administrasi Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta berlangsung. Tahun ini, prosesi tersebut diwarnai dengan tradisi "Nyadhong" yang berakar dari tata cara pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII.
Tradisi "Nyadhong" menekankan bahwa bukan keraton yang mengantar gunungan sebagaimana biasanya, melainkan pihak Kepatihan yang datang menjemput secara langsung.
Pelaksana harian Sekretaris Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta, Tri Saktiyana, hadir langsung untuk menjemput ubarampe gunungan dari Keraton. Ia mengenakan busana tradisional dan berjalan beriring senada langkah dengan Bregada Bugis, prajurit kehormatan pengawal Kepatihan. Bukan sebagai pejabat administratif biasa, ia hadir sebagai simbol dari rakyat dan pemerintahan modern yang menjalin hubungan harmonis dengan kekuasaan simbolik Keraton Yogyakarta.
Gunungan itu tidak diambil secara sembarangan. Simbol berkah dari keraton itu dijemput dengan penuh hormat, diiringi dengan langkah penuh makna. Dalam tiap langkah menuju Kompleks Kepatihan, bukan hanya hasil bumi yang berpindah tempat, tetapi juga nilai-nilai luhur: persaudaraan, pelayanan publik, serta kesatuan antara rakyat, pemerintah, dan raja. Semua filosofi menyatu dalam prosesi.
Halaman luas di Kepatihan menjadi saksi peristiwa sakral tahunan. Gunungan dibagikan secara tertib kepada seluruh perangkat keprajan dan masyarakat. Tak ada kericuhan, tak ada rebutan. Yang ada hanyalah suasana syukur dan doa lirih di setiap sanubari.
Penghageng Kawedanan Hageng Kridhomardowo, Kanjeng Pangeran Haryo Notonegoro, mengiyakan bahwa utusan dari Keraton tidak lagi mengantar gunungan ke Kepatihan. Pihak Kepatihan-lah yang datang dengan penuh hormat, menjunjung tinggi nilai "Nyadhong", yang berarti menjemput berkah dan menjaganya dengan tertib, bukan dengan cara dirayah atau direbut.
Kepala Dinas Kebudayaan DIY atau biasa disebut Kundha Kabudayaan, Dian Lakshmi Pratiwi, menjelaskan bahwa tradisi ini merupakan bentuk pelestarian pranata adat yang telah diwariskan turun-temurun. Ia berharap, di masa depan, seluruh kepala daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta turut menjemput gunungan, sebagai bentuk hubungan erat antara pamong praja dan keraton.
Selain Kepatihan, Keraton Yogyakarta memberikan satu gunungan ke Kadipaten Pakualaman.
Prosesi ini dikawal oleh empat ekor gajah dan pasukan prajurit Pura Pakualaman, yaitu Dragunder dan Plangkir. Gusti Kanjeng Bendoro Raden Ayu Adipati Paku Alam hadir untuk menerima langsung gunungan tersebut. Menurutnya, pelaksanaan Hajad Dalem Garebeg Besar adalah bentuk nyata dari upaya melestarikan budaya.
“Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan menjaga budaya ini? Mari kita bersama-sama melestarikannya. Bagi masyarakat yang menerima isi gunungan, itu adalah berkah, bukan hanya dari raja tetapi juga dari Tuhan,” tutur Gusti Putri dengan nada lembut.
Upacara Garebeg merupakan warisan yang kaya makna. Dalam bahasa Jawa, Garebeg berasal dari kata gumbreg 'keramaian yang mengiringi kirab'.
Dalam sejarahnya, Garebeg bukan hanya ritual keagamaan belaka. Ia juga memiliki nilai politis. Pada masa lampau, para bupati dari mancanegara wajib hadir sebagai tanda loyalitas kepada sultan. Ketidakhadiran bisa dimaknai sebagai bentuk perlawanan.
Di sisi lain, gunungan makanan merupakan simbol rasa syukur atas hasil bumi yang melimpah. Dalam bentuknya yang menjulang dan penuh warna, gunungan menjadi perwujudan niat sang raja untuk berbagi kepada rakyatnya. Sultan tidak hanya menjadi pemimpin secara simbolik, tetapi juga pelayan bagi rakyat, yang memberikan harapan dan kesejahteraan.
Dalam setahun, Keraton Yogyakarta menyelenggarakan tiga kali upacara Garebeg, yakni Garebeg Syawal setiap 1 Syawal, Garebeg Besar pada hari raya Iduladha, dan Garebeg Maulid untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad saw. Ketiganya menjadi momentum penting yang menyatukan elemen spiritual, budaya, dan pemerintahan, dalam satu tarikan nafas.
Garebeg Besar bukan sekedar upacara biasa, melainkan jembatan antara istana dan rakyat. Ia adalah peristiwa sakral yang tidak hanya bertujuan merayakan hari besar, tetapi juga menanamkan nilai-nilai luhur dalam rasa syukur, kesatuan, pelayanan, dan cinta kepada tradisi.
Dari keraton hingga ke halaman rumah-rumah rakyat, berkah itu mengalir bersama sejarah yang hidup membumi, seolah tak ingin tergerus peradaban dan modernisasi zaman.
Penulis: Abdul Haris
Editor: Fadli Nasrudin