tirto.id - Di masa ekonomi sulit dan pelemahan daya beli, masyarakat tetap “membakar duit” untuk membeli beberapa barang yang tidak sepenuhnya diperlukan dan bersifat tersier, seperti tiket konser, handphone, hingga pakaian bermerek. Dengan membeli barang ini, memungkinkan mereka merasa normal dan senang ketimbang benar-benar menghentikan keinginan untuk membeli barang tersebut.
Fenomena yang belakangan terjadi di Indonesia ini, disebut sebagai Lipstick Effect. Fenomena Lipstick Effect adalah refleksi dari bagaimana masyarakat beradaptasi dalam menghadapi tekanan ekonomi. Masyarakat dalam hal ini, cenderung mengubah cara mereka dalam mengonsumsi.
Peneliti Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS), Muhammad Anwar, mengatakan, fenomena ini terjadi saat konsumen mengalihkan pola belanja dari barang-barang mewah atau mahal ke barang-barang yang lebih terjangkau. Akan tetapi, ini tetap memberi kepuasan, terutama dalam situasi ekonomi yang sulit.
Sejatinya, kata Anwar, ini bukan hanya sekadar soal konsumsi barang 'sedikit mewah' yang lebih murah. Tetapi lebih dalam, mencerminkan upaya bertahan dan mencari secercah harapan di masa-masa sulit.
“Masyarakat seolah ingin menunjukkan bahwa, jika tidak bisa memiliki barang dengan kemewahan besar, setidaknya mereka bisa merasakan kebahagiaan dari barang-barang sedikit mewah,” kata Anwar menambahkan.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, melihat fenomena Lipstick Effect ini memang mencerminkan naiknya permintaan barang non kebutuhan pokok saat menjelang resesi ekonomi. Disebut Lipstick Effect, karena saat resesi ekonomi 2008 hingga 2020 pandemi lonjakan produk kecantikan dan perawatan tubuh atau skincare mengalami anomali.
Dalam fenomena ini, kata Bhima, perempuan akan berpenampilan lebih menarik dan lama berdandan di depan cermin hanya untuk menghibur diri dari gelapnya situasi ekonomi. Di sisi lain lapangan kerja makin sulit, harga barang naik dan pajak yang makin tinggi memicu masyarakat menghibur diri dengan membeli barang dan jasa tersier secara eksesif.
“Jadi kalau ada konser sampai ramai bahkan rela keluar negeri saat indikator ekonomi memburuk, itu tanda sebentar lagi akan ada krisis ekonomi. Banyak yang keliru melihat adanya belanja tersier tumbuh tinggi karena masyarakat masih punya banyak uang,” jelas dia kepada Tirto, Rabu (30/10/2024)
Peneliti Next Policy, Dwi Raihan, mengatakan kecenderungan masyarakat untuk membeli barang mewah (luxuries), sebagai bentuk pencarian jalan keluar dari depresi ekonomi yang dialami. Ini menjelaskan meskipun Indonesia mengalami deflasi selama lima bulan berturut-turut, ternyata masih banyak penduduk yang menonton konser Bruno Mars, antre untuk membeli mainan Labubu, dan sejenisnya.
Pada September 2024, Indonesia mengalami deflasi 0,12 persen secara bulanan. Ini adalah deflasi kelima berturut-turut selama 2024, sekaligus menandakan bahwa kondisi perekonomian Indonesia mengalami tekanan yang tidak biasa. Deflasi ini pun menunjukkan bahwa memang terjadi penurunan daya beli di masyarakat.
“Dengan kata lain, ini menjadi ilusi ekonomi bagi masyarakat untuk mencari kesenangan sesaat ketika kondisi ekonomi secara makro dan mikro sebenarnya tidak baik-baik saja,” ujar Raihan, kepada Tirto, Rabu (20/10/2024).
Fenomena Lipstick Effect, menurut Celios ini juga masuk ke dalam kategori doom spending. Fenomena doom spending yang dialami Gen Z dan Milenial ikut menjelaskan tren belanja berlebihan dengan alasan kondisi ekonomi masa depan akan lebih buruk. Pada akhirnya banyak anak muda putus asa tidak bisa membeli rumah, alhasil pendapatan saat baru kerja dihabiskan untuk hura-hura.
Bahaya Mengintai di Balik Fenomena Lipstick Effect
Namun, di balik fenomena Lipstick Effect, ada sejumlah risiko yang dapat mengancam stabilitas ekonomi masyarakat dalam jangka panjang. Pertama, munculnya ilusi daya beli yang stabil yang dikhawatirkan bisa menimbulkan masalah.
Menurut IDEAS, ketika masyarakat merasa pola belanja mereka masih baik-baik saja, kenyataannya daya beli riil mereka telah menurun. Pengeluaran pada barang-barang kecil yang dianggap 'mewah' ini, pada akhirnya memberi kesan bahwa kondisi ekonomi mereka tetap stabil, padahal sebenarnya standar hidup mereka perlahan-lahan tergerus.
Kedua, fenomena ini sering kali memicu konsumsi pada barang-barang non-produktif yang tidak berkontribusi terhadap peningkatan aset atau kesejahteraan jangka panjang. Pembelian barang-barang kecil yang tidak menghasilkan nilai tambah bagi kehidupan finansial bisa memperburuk kondisi ekonomi rumah tangga.
“Saat dana yang seharusnya bisa digunakan untuk hal-hal produktif habis untuk barang-barang yang hanya memberi kepuasan sementara, kemampuan keluarga untuk berinvestasi atau menabung semakin tergerus,” jelas Anwar.
Anwar mengatakan dorongan untuk terus merasa mampu berbelanja dalam kondisi ekonomi yang sulit juga dapat menyebabkan peningkatan utang konsumtif. Ketika masyarakat ingin mempertahankan gaya hidup atau sekadar mendapatkan kepuasan sesaat, mereka mungkin tergoda untuk mengambil utang demi membeli barang-barang yang sebenarnya tidak mendesak.
Analis Kebijakan Ekonomi APINDO, Ajib Hamdani, mengatakan, fenomena ini memang akan menjadi problem serius ketika masyarakat membeli affordable luxury tersebut dari dana pinjaman. Karena, satu sisi pinjaman yang ada tidak memiliki nilai produktif dan sisi lainnya tentu cost of fund yang cenderung tinggi.
“Indikator ini sejalan dengan data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menyampaikan bahwa pinjaman online (pinjol) pada Agustus 2024 mencapai lebih dari Rp72 triliun,” ujar Ajib kepada Tirto, Rabu (30/10/2024).
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menambahkan, saat konsumsi ini didorong oleh utang konsumtif dan bukan penghasilan riil, ada risiko akumulasi utang yang tak produktif. Pada akhirnya ini bisa berimbas pada menipisnya tabungan serta dana darurat.
Khawatirnya, kata Yusuf, dalam jangka panjang masyarakat yang terjebak dalam gaya hidup konsumtif ini akan menghadapi kesulitan finansial, terutama jika terjadi penurunan ekonomi yang lebih parah. Gaya hidup seperti ini juga bisa memperlebar jarak antara kemampuan finansial yang sebenarnya dan ekspektasi sosial yang diciptakan oleh media sosial.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz