tirto.id - Perusaahaan tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk alias Sritex dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang berdasar putusan perkara dengan nomor 2/Pdt.Sus- Homologasi/2024/PN Niaga Smg oleh Hakim Ketua Moch Ansor pada Senin (21/10/2024).
Dalam sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Niaga Semarang, pemohon sekaligus debitur Sritex, PT Indo Bharat Rayon, menyebut perusaahaan telah lalai dalam menjalankan kewajibannya untuk membayar kembali utangnya berdasarkan Putusan Homologasi (Perdamaian) tertanggal 25 Januari 2022.
"PN Niaga Semarang menyatakan bahwa para termohon pailit dengan segala akibat hukumannya," tulis petitum perkara itu, dikutip Kamis (24/10/2024).
Putusan ini pun sekaligus juga membatalkan putusan yang telah dikeluarkan pada 2 September 2024 yaitu Putusan Pengadilan Niaga Semarang Nomor No.12/Pdt.Sus-PKPU/2021.PN.Niaga.Smg Tanggal 25 Januari 2022 tentang Pengesahan Rencana Perdamaian (Homologasi).
Selain Sritex, pencabutan putusan perdamaian juga ditujukan untuk anak-anak usaha Sritex, PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya.
Kabar pailit pabrik yang berproduksi di Sukoharjo, Jawa Tengah itu sebetulnya telah berhembus sejak 2023. Namun, perusahaan sempat menyanggahnya melalui keterbukaan informasi yang disampaikan kepada Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Selasa (25/6/2024).
"Tidak benar (Sritex dinyatakan pailit pada 2023), karena perseroan masih beroperasi dan tidak ada putusan pailit dari pengadilan," kata Direktur Keuangan Sritex, Welly Salam, dikutip Kamis (24/10/2024).
Di sisi lain, anjloknya kinerja Sritex disebabkan tersendatnya industri rantai pasok imbas pandemi Covid-19 yang dilanjut dengan meningkatnya eskalasi geopolitik di Timur Tengah. Di sisi lain, aturan impor longgar membuat produk tekstil dari Cina membanjiri Indonesia.
"Situasi geopolitik dan gempuran produk China masih terus berlangsung sehingga penjualan belum pulih. Perseroan tetap beroperasi dengan menjaga keberlangsungan usaha, serta operasional dengan menggunakan kas internal maupun dukungan sponsor," jelasnya.
Berbagai kondisi ini lah yang kemudian membuat Sritex memohon kelonggaran pembayaran utang pada debitur melalui Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang pada akhirnya juga sempat disetujui.
Pada laporan keuangannya, perusahaan dengan kode saham SRIL itu mencatatkan utang sebesar 1,6 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp25,12 trilun per 30 Juni 2024, lebih tinggi dari total utang per September 2023 yang masih di kisaran Rp24,3 triliun.
Utang tersebut terdiri dari utang jangka panjang sebesar 1,47 miliar dolar AS atau sekitar Rp23.08 triliun dan utang jangka pendek 131,42 juta dolar AS atau Rp2,06 triliun. Adapun dari total utang, sekitar 51,8 persen di antaranya atau mencapai 810 juta dolar AS adalah utang bank.
Sementara itu, kinerja keuangan Sritex mulai tenggelam usai pandemi Covid-19, tepatnya di 2021. Pada saat itu, ketika mencatatkan pendapatan Rp12,1 triliun, beban usaha perusahaan justru tercatat sebesar Rp8,09 triliun. Parahnya, sejak melantai di bursa pada 17 Juni 2013, untuk pertama kalinya Sritex mencatatkan kerugian, yang mencapai Rp15,29 triliun. Dalam laporan keuangan terbarunya, Sritex kembali membukukan kerugian 25,73 juta dolar AS atau sekitar Rp403,96 miliar.
Meski masih terus merugi dan telah dinyatakan pailit, Komisaris Utama, Iwan Setiawan Lukminto, bertekad tidak akan menutup pabriknya. Sebab, setidaknya ada 50.000 karyawan yang menggantungkan hidupnya pada Sritex Group.
“Kita kan total Sritex Group itu kan hampir 50.000 orang yang bekerja di situ. Jadi kita tetap mempunyai spirit yang kuat di Sritex Group ini jadi pegawai-pegawainya. Kami, direksi, komisaris semuanya. Jadi kita harus mempunyai spirit, ya yang terutama. Saat ini spirit lah yang harus kita terus kuatkan,” kata Iwan, saat ditemui awak media, usai memenuhi panggilan Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita, di Kantor Kementerian Perindustrian, Jakarta Selatan, Senin (28/10/2024).
Ihwal upaya penyelamatan Sritex, Iwan mengaku saat ini pemerintah tengah menyiapkan strategi besar yang belum bisa dirincikannya. Namun yang pasti, strategi besar itu merupakan titah Presiden Prabowo Subianto kepada empat kementerian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk tak hanya menyelamatkan Sritex, melainkan juga industri tekstil secara keseluruhan.
“Kita masih prematur lah, nanti ada pembahasan berikutnya. Jadi saya ya istilahnya membuat strategi besar lah. Intinya begitu, ya. Bagaimana untuk bisa semuanya bisa sustain ya di situ. Jadi jangan kita membuat plan itu tanggung-tanggung gitu aja, bisa dirasakan masyarakat langsung,” sambungnya.
Momentum Selamatkan Industri Tekstil Indonesia
Pailitnya perusahaan milik Keluarga Lukminto ini adalah cerminan kondisi industri tekstil saat ini. Tidak hanya itu, kasus bangkrutnya Sritex juga sepatutnya dapat menjadi sinyal tanda bahaya agar pemerintah melangkah cepat menyelamatkan industri tekstil yang saat ini sudah sekarat.
Bagaimana tidak, industri tekstil masih baik-baik saja bahkan banyak produk tekstil lokal mampu menjangkau pasar global, sampai krisis moneter pada 1998. Bahkan, pada saat itu utilitas industri tekstil tak mengalami gangguan berarti karena yang bermasalah adalah kondisi keuangan Indonesia, imbas melonjaknya dolar AS. Sedangkan untuk pasar, apalagi pasar global sama sekali tak terpukul.
Ditambah lagi, pada saat itu ekosistem industri tekstil juga masih terintegrasi, dengan hanya sedikit bahan baku yang dipenuhi dari impor.
“Setelah Asean zona FTA (Free Trade Area/pasar bebas Asean) 2012, itu mulailah integrasi kita ini mulai rusak sebetulnya. Mereka rusak sama barang-barang (impor dari) Cina, boleh masuk kan. Jadi integrasinya lama-lama hancur,” jelas Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, saat dihubungi Tirto, Selasa (29/10/2024).
Selanjutnya, pada saat pandemi Covid-19, kinerja industri tekstil semakin merosot karena pembatasan wilayah yang diberlakukan banyak negara. Akibatnya, rantai pasok tersendat dan perusahaan-perusahaan tak bisa mengekspor produknya ke luar Indonesia.
Meski begitu, dengan sisa daya beli yang ada di masyarakat, pasar lokal tetap terbuka. Apalagi, dengan pembatasan wilayah juga membuat produk tekstil impor Cina tak bisa masuk.
Kemudian, belum pulih industri dari pukulan Covid-19, geopolitik di Rusia dan Ukraina, serta negara-negara di Timur Tengah mulai tereskalasi. Hal ini lantas membuat aktivitas ekspor dan juga akses terhadap bahan baku menjadi semakin sulit.
Kinerja industri tekstil semakin terpuruk ketika pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 sebagai pengganti dari Permendag Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor, yang membuat aturan impor semakin longgar.
“Dan yang terjadi sekarang adalah ketika market-nya itu banyak produk barang-barang Cina murah, yang ilegal. Kalau legal, kita bisa saingan. Tapi kalau saingan dengan ilegal, dia enggak bayar (bea masuk), kita enggak bisa saingan,” terang Redma.
Industri tekstil mempunyai tekanan yang cukup kuat dalam beberapa tahun terakhir. Kondisi permintaan global seperti AS dan Cina mengalami penurunan yang pada akhirnya membuat permintaan industri tekstil melambat. Kondisi AS yang sudah membaik pun nampaknya tidak bisa mengangkat permintaan tekstil menjadi lebih baik. Permintaan Cina melambat yang menimbulkan oversupply di domestik Cina.
Di sisi lain, tekanan produk impor sangat terasa sekali terutama setelah Kementerian Perdagangan mengeluarkan aturan yang memperlonggar aturan dan syarat impor. Terlebih permintaan dari dalam negeri ikut melambat dan mereka lebih memilih produk impor karena harganya yang lebih murah. Jadi tekanan dari dalam negeri ada, dari luar negeri juga kuat. Maka tak ayal industri TPT tumbang.
Selain Sritex, perusahaan sektor TPT lainnya juga sudah banyak yang melakukan PHK dan tidak sedikit yang gulung tikar. Artinya, kondisi ini sudah parah dan pemerintah nampaknya kehabisan ide untuk memberikan stimulus ke industri TPT ini. Padahal sumbangsih industri TPT ke industri nasional cukup besar. Porsi industri TPT terhadap PDB mampu mencapai 5,8 persen.
Dalam hal penyerapan tenaga kerja pun cukup besar dengan basis pekerja paling banyak di Jawa Tengah. Jumlah pekerja di sektor TPT lebih dari 3,5 juta tenaga kerja.
Maka penting bagi pemerintahan Prabowo untuk bisa menghentikan laju negatif industri tekstil. Aturan yang memperlonggar impor harap ditertibkan untuk memberikan insentif bagi industri TPT lokal. Bea masuk untuk produk TPT harus dievaluasi jangan sampai menimbulkan gejolak lebih panjang.
Agar tetap bertahan, perusahaan-perusahaan tekstil pada akhirnya menjual produk dengan harga rendah.
Strategi yang dilakukan setidaknya dalam setahun terakhir itu praktis membuat aliran modal (cash flow) perusahaan menjadi seret. Pada akhirnya, agar tetap produksi, utang menjadi jalan pintas agar pemodalan perusahaan terpenuhi.
“Tapi kan utang juga ada batasnya. Lama-lama cash flow tetap terkikis dan perusahaan mengurangi jumlah produksinya. Itu yang bikin perusahaan terus mengurangi karyawan. Sebelum kemudian mandeg produksi sama sekali dan tutup (pabrik),” jelas Redma.
Saat ini, utilisasi industri tekstil hanya tinggal 45 persen. Tidak hanya itu, dari 22 anggotanya, setidaknya ada dua perusahaan kolaps dan dinyatakan pailit.
Redma pun khawatir, jika pemerintah tak segera turun tangan, 3,7 juta tenaga kerja industri tekstil akan terancam kehilangan pekerjaannya. Bahkan, jika dihitung dengan industri kecil dan menengah (IKM), ada sekitar 5 juta tenaga kerja berpotensi dirumahkan.
“Perusahaan-perusahaan yang bertahan ini, dia bertahan dengan ceruk market yang ada, tinggal kecil saja. Jadi kalau produksinya besar, sudah pasti enggak ada dia. Kita produksi seminim mungkin sambil nunggu angin, tapi kalau angin enggak dateng ya dia tutup,” ucap Redma.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Bayu Septianto