tirto.id - Reni dan Rodiah tampak terlihat sibuk. Tangan kedua perempuan paruh baya itu tak hentinya merapihkan sisa-sisa benang masih menempel di sweater pasca melewati proses jahit di mesin. Mata keduanya juga masih cukup awas. Hampir tak ada untaian benang tersisa lagi di sweeter siap pakai itu.
Apa dilakukan Reni dan Rodiah bisa dibilang sebagai proses quality control. Ia bekerja untuk mengecek kembali sweeter-sweeter agar tidak ada cacat dan benar-benar bersih dari sisa-sisa benang. Setelah seluruhnya dicek, pakaian jadi itu kemudian dikembalikan untuk diproses steam menggunakan setrika uap.
"Ini kami sedang [proses] merapihkan," celetuk Reni saat ditemui di sebuah kontrakan kecil, di Jalan Binong Jati, Kelurahan Binong, Kecamatan Batununggal, Kota Bandung, Sabtu (19/10/2024) lalu.
Daerah Binong Jati memang dikenal sebagai Kampung Rajut. Berada di salah satu kawasan pemukiman sempit di Kota Bandung, daerah ini menjadi salah satu sentra industri produk rajutan terbesar di Asia. Kampung ini menawarkan berbagai macam produk rajutan yang berkualitas tinggi. Produk-produk ini mencakup pakaian seperti sweater, cardigan, syal, dan topi.
Selain itu, terdapat juga produk rumah tangga seperti taplak meja, sarung bantal, dan selimut. Keunikan produk rajutan dari Binong Jati terletak pada desainnya yang kreatif dan bahan baku yang berkualitas.
Pada 2021, tercatat jumlah pelaku pengusaha di kawasan ini mencapai 500. Di mana terdapat 418 usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dengan jumlah pekerja mencapai 2.143 orang dan produksi hingga 984.426 lusin per tahun.
Reni dan Rodiah menjadi salah dua yang bekerja di kampung ini. Reni mengaku sudah melakoni pekerjaannya selama kurang lebih enam tahun. Sebagai pekerja borongan, ia menerima honor seminggu sekali. Uang tersebut, cukup membantu untuk kebutuhan rumah tangganya.
"Iya cukup membantu. Kadang Rp500 ribu, kalau banyak [orderan] Rp600 ribu per minggu," kata Reni.
Bergeser sedikit dari kontrakan Reni dan Rodiah bekerja, deru suara mesin terdengar bising menembus telinga. Sumber suara itu berasal dari rumah dua lantai tak beda jauh dari tempat Reni dan Rodiah. Rumah itu, merupakan salah satu rumah produksi pakaian rajut, milik Nina Winarti.
Kebetulan, saya diperkenankan melihat secara langsung proses produksi sweater rajut milik Nina. Seluruh proses itu dilakukannya di lantai dua. Total ada sebanyak 18 mesin rajut, 6 mesin jahit, dan satu alat seterika up. Sementara di lantai satu dipakai untuk proses packing sweater-sweeter sudah jadi.
Suara mesin rajut saling bersautan 'kleetak, kleetak, kleetak'. Mesin itu tengah dikendalikan pekerja. Belasan orang itu tak henti menggerakkan tuas mesin ke arah kiri dan kanan untuk menghasilkan lempengan bahan setengah jadi. Untuk satu bidang atau tampak depan saja, butuh waktu 20-30 menit mesin yang gerakan secara manual itu bekerja.
"Jadi tidak sembarangan, ada hitungannya buat geser ke kiri kanan," timpal salah satu pekerja, Iyus.
Dari total 18 mesin rajut itu, para pekerja dibagi tugas. Ada mengerjakan khusus tampak depan saja, bagian lengan, tampak belakang, hingga kerah untuk leher. Setelah seluruh bagian-bagian itu selesai, potongan-potongan bahan itu dioper ke bagian jahit. Di tempat ini, bagian potongan itu dijahit menjadi bagian utuh sweater.
Selanjutnya, sweater sudah dilakukan pengecekan kembali. Ini sama hal seperti dilakukan oleh Reni dan Rodiah di awal. Setelah dilakukan pengecekan dan dipastikan aman, kemudian dibawa ke tempat seterika uap. Lalu dioper ke lantai satu untuk dipacking dan siap untuk dikirim.
"Jadi kebanyakannya di kami produksinya sampai packing-nya, kalau di sana [tempat anak saya] cuma rajut aja, kalau di sini finishing-nya sampai di sini," ujar Nina Winarti saat ditemui di kediamannya.
Nina mengatakan, dalam seminggu ia bisa memproduksi paling banyak 200 lusin. Angka ini akan sangat tergantung dengan jumlah pesanan yang masuk hingga kondisi tenaga kerjanya. Terlebih, mereka yang bekerja membantu Nina semuanya berstatus borongan. Jumlahnya ada sekitar 25 pekerja.
"Kita hampir 200 lusin. Ini kalau dikasih lancar, kayak tukang kerjanya ada semua, terus yang proses produksinya ada semua mungkin, kan kadang yang sakit juga ngaruh ke produksi juga," imbuh dia.
Berdiri sejak 2016, sentra produksi milik Nina melayani pemesanan via online. Ia juga menerima pre-order (PO) atau sistem pembelian di mana pembeli memesan dan membayar produk sebelum barang tersebut tersedia. Sementara itu, untuk stok di rumahnya sendiri tidak terlalu banyak. Ia mengaku tetap ada stok jika sewaktu-waktu ada yang beli secara langsung di kediamannya.
"Kami sekarang kan kebantu sama online juga, yang PO juga ada yang online," imbuh dia.
Saat ini, pasar produksi pakaian rajut milik Nina masih berpusat di Pulau Jawa dengan mayoritas pengiriman ke Jakarta. Kebanyakan produksinya masuk ke Pasar Tanah Abang. Hanya beberapa kali tercatat pengiriman ke luar Jawa.
Dari segi harga jual produk pakaian jadi di tempat Nina, sangat bergantung model dan proses pengerjaanya. Biasanya untuk pakaian jadi sweater dan gamis yang membutuhkan proses lama bisa mencapai Rp700 ribu sampai Rp1 juta per lusin. Sementara untuk harga termurah untuk sweater Rp400 ribu per lusinnya.
"Kalau yang biasa itu kayak Rp400 aja yang sweater perempuan. Karena kebanyakan kita bikinnya perempuan," ujar dia.
Sementara untuk omzet sendiri, paling banyak berkisar Rp30 juta per minggu. Jika secara konsisten dan orderannya tidak turun, maka Nina mendapat total Rp120 juta dalam sebulan atau dalam waktu empat minggu. Di luar itu, ia juga harus membayar 25 orang pekerjanya dengan rata-rata Rp1 juta per orang selama satu minggu.
"Soalnya ini borongan, maksimal Rp1 juta satu per orang, yang di atas [rumah] yang kayak pegang mesin-mesin itu," imbuh dia.
Meski statusnya para pekerjanya borongan, Nina tetap mempedulikan 25 para karyawannya. Seluruh pekerja dijamin atau diproteksi oleh Asuransi Mikro Usahaku dari Askrindo.
Para karyawan mendapatkan nilai pertanggungan Rp5 juta per kepala berupa uang apabila peserta asuransi mengalami musibah yang tercantum dalam polis. Sementara terhadap usahanya, mendapat Rp20 juta.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Andrian Pratama Taher