tirto.id - Selama 15 belas tahun terakhir dunia sepakbola dibanjiri miliarder sebagai pemilik klub. Di Liga Premier Inggris saja dari 2003 sampai 2013, diungkapkan Guardian, ada enam belas kali transaksi pembelian klub.
Pembelian yang menjadi pemberitaan besar tentu saja ketika Roman Abramovich membeli Chelsea pada Juni 2003; Manchester United yang akuisisi Malcolm Gladzer, pengusaha asal Amerika pada Mei 2005; dan Manchester City dibeli oleh Syekh Mansour bin Zayed Al Nahyan, anggota keluarga kerajaan Uni Emirat Arab pada September 2008.
Di luar Inggris keadaannya tidak jauh berbeda. Beberapa di antaranya adalah Paris Saint-Germain diambil-alih oleh sebuah konsorsium asal Qatar, Oryx Qatar Sports Investments (Qsi) pada 2011. Inter Milan kini dimiliki miliarder asal Cina, Zhang Jindong, sejak 2016. Begitu pula dengan rival sekota Inter, AC Milan.
Motif Miliarder Membeli Klub
Membeli klub sepakbola untuk menambah pendapatan sebenarnya adalah langkah yang meragukan. Sebagaimana ditulis Simon Kuper dan Stefan Szymanski dalam Soccernomics (2014), “sepakbola bukan saja sebuah bisnis yang kecil tetapi juga bisnis yang buruk.” Keduanya menunjukkan bahwa sejak musim perdana Liga Premier Inggris pada 1992/1993 sampai musim 2011-2012, klub-klub Inggris sebagian besar merugi. Manchester United adalah salah satu pengecualian yang paling menyolok.
Menurut laporan Deloitte Annual Review of Football Finance yang dikutip BBC, bahwa hanya setengah dari seluruh klub Liga Premier Inggris yang mendapat keuntungan di musim 2012-2013. Namun, ini sebelum ditambahkan biaya pengeluaran transfer pemain. “Jika ditambahkan biaya pengeluaran untuk transfer pemain, secara keseluruhan klub-klub tersebut merugi.”
Contoh lain yang menyolok adalah Manchester City. Nicholas McGeehan menulis:
“Selama musim 2014/2015, 2015/2016, 2016/2017 City memperoleh total untung £32.2 juta. Namun, total kerugian yang dialami City lima musim sebelumnya adalah £491.3 juta—£121.3 juta di musim 2009/2010; £197.5 juta di musim 2010/2011; £97.9 juta di musim 2011/2012; £51.6 juta di musim 2012/2013; dan £23 di musim 2013/2014.”
Anggapan bahwa para miliarder membeli klub sepakbola karena hobi pun agak meragukan. Menurut McGeehan, sejak Syekh Mansour membeli City pada 2008 silam, baru sekali saja adik kandung Pangeran Mahkota Uni Emirat Arab ini menyaksikan pertandingan langsung di Etihad.
Ahli kawasan Teluk yang bekerja di Human Right Watch ini bahkan sampai mengutarakan kemungkinan Syekh Mansour tak ada hubungan sama sekali dengan klub Manchester dan pembelian City bukan pula berasal dari koceknya. City justru dijalankan orang-orang terdekat Pangeran Mahkota Mohamed bin Zayed Al Nahyan. Salah satu petinggi City adalah Khaldoon Al Mubarak, tangan kanan Al Nahyan.
Jika pembelian klub bukan untuk mendapat keuntungan dan bukan pula karena hobi, lalu apa?
Salah satu hipotesis yang mengemuka adalah upaya memoles citra buruk negeri para pemodal itu. Qatar bisa dijadikan contoh. Masih menurut McGeehan, kali ini kepada Independent:
“Mereka tidak menghasilkan uang dari klub-klub ini. Mereka menempelkan dirinya pada brand bernilai tinggi dan prestisius, apakah itu klub sepakbola, universitas, museum, dan keterhubungan ini membuat mereka mampu menampilkan dirinya sebagai pihak progresif dan toleran, padahal kenyataannya justru sebaliknya,” ujarnya.
Bandingkan dengan Roman Abramovich. Kendati mengaku motif pembelian Chelsea bukan untuk menghasilkan uang tetapi lebih untuk kesenangan, namun tujuan sebenarnya lebih dalam dari itu.
James Montague dalam The Billionaires Club: The Unstoppable Rise of Football’s Super-rich Owners (2017) mengatakansaat Vladimir Putin tengah mengkonsolidasikan kekuatannya, menghancurkan setiap potensi oposisi, tindakan Abramovich membeli Chelsea menjadi masuk akal.
“Chelsea menawarkan sesuatu yang tak dipunyai Berezovsky dan Khodorkovsky [oligark yang disingkirkan Putin dan menjadi eksil): status internasional. Dalam waktu yang sangat cepat, harapan hidup setiap oligark Rusia mengerucut menjadi hampir nol. Chelsea FC adalah jaminan Abramovich,” catat Montague.
Montague menambahkan: “Bukan seorang figur yang suka bersosialisasi, dan bukan seorang suka menjadi pusat perhatian, membeli Chelsea menjamin persis apa yang sebelumnya Abramovich hindari dengan segala cara: publisitas. Pamor barunya, membuat Abramovich aset bagi Kremlin bila ia menurut, tapi lebih susah disingkirkan jika ia melawan.”
Sepakbola Semakin Dipengaruhi Kondisi Geopolitik
Namun, penggunaan sepakbola sebagai alat politik oleh para miliarder yang memiliki rekam-jejak buruk ini jarang menjadi perbincangan di antara para penggemar klub tersebut. Nick Cohen di Guardian:
“Kita seharusnya mampu memuji permainan bola Manchester City sekaligus mengutuk pemiliknya. Atau, jika permintaan itu terlalu banyak, kita setidaknya mampu membicarakan pemiliknya atau sumber kekayaan mereka, meski sekilas, atau hanya sekali saja. Namun, yang ada justru hanya kebisuan.”
Kondisi ini setali tiga uang dengan apa yang dialami Guardiola ketika dimintai pendapat tentang pemilik Manchester City dan rekor buruk Uni Emirat Arab di bidang hak asasi manusia. Menjawab dengan penuh keyakinan tentang hak aktivis pro-kemerdekaan Catalunya yang dikebiri pemerintah Spanyol, Guardiola memilih mengelakkan pertanyaan menohok tentang bosnya itu dengan menjawab secara diplomatis:
“Setiap negeri memiliki keinginan masing-masing bagaimana mereka menjalani kehidupannya,” katanya. “Jika ia ingin tinggal di negeri tersebut, mau bagaimana lagi.”
Akan tetapi, jawaban Guardiola tersebut menjadi cerminan bagaimana kondisi dunia sepakbola sekarang. Miguel Delaney menulis di Independent, bagaimana sepakbola kini sudah memasuki babak baru karena secara langsung dipengaruhi oleh geopolitik. Berita utama internasional, lebih dari yang sudah-sudah, memiliki hubungan latar belakang yang berkali-kali lipat lebih banyak dengan sepakbola.
“Jika kita membuat bagan berdasarkan peristiwa-peristiwa paling dominan dalam politik, tidak ada, keculi Korea Utara, yang tidak menyentuh kompetisi sepakbola level tertinggi secara langsung ... Begitu juga bakal sama susahnya menemukan klub besar yang tak tersentuh apakah itu melalui kepemilikan langsung, kesepakatan iklan, dan setiap kompromi yang menyertainya,” tulisnya.
Mungkin tak menjadi masalah jika para miliarder pemilik klub ini adalah figur-figur yang tindakan-tindakan maupun lini bisnis mereka bersih dari masalah HAM, namun kenyataan menunjukkan sebaliknya.
“Kita bukan sedang ‘menyeret politik ke dalam sepakbola’ ketika cemas akan Syekh Mansour,” catat Cohen. “Namun kita tengah mengakui bahwa masa depan sepakbola bersifat politis.”
Penulis: Bulky Rangga Permana
Editor: Zen RS