tirto.id - Wakil Menteri Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (Wamen PKP) Fahri Hamzah mengkritik kinerja Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) yang dinilai tidak sesuai tugas dan fungsinya.
Fahri menyatakan BP Tapera banyak menyimpang dari tugas utamanya dan menyodorkan tugas yang seharusnya bukan menjadi Key Performance Indicator (KPI) Kementerian PKP.
"Tapera ini kebanyakan bohongin Pak Menteri. Terus salah, terus ini, kan. Tapera itu kan institusi di luar kita (Kementerian PKP)," kata Fahri dalam rapat koordinasi di Kementerian Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Rabu (13/8/2025).
Fahri mencontohkan, BP Tapera selalu membicarakan penyaluran Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) sehingga dianggap tugas tersebut juga menjadi tanggung jawab Kementerian PKP. Padahal, program tersebut seharusnya berada di bawah koordinasi Kementerian Keuangan.
“Kok kayak dia yang dominan, kayak FLPP segala-galanya loh. FLPP itu kan di luar kita. Tugasnya Kementerian PKP kan cuma membantu Kementerian Keuangan supaya keluar anggaran,” ujarnya.
Ia menegaskan, anggaran FLPP sepenuhnya dikelola Kementerian Keuangan, bukan Kementerian PKP. Namun, BP Tapera justru bertindak seolah-olah memiliki kewenangan penuh.
"Itu bohong dia. Termasuk dia memakai mekanisme untuk ngasih kuota-kuota. Itu kan enggak boleh sembarangan," kritik Fahri.
Fahri juga menyoroti penyimpangan BP Tapera dari mandat Undang-Undang (UU) Tapera yang seharusnya fokus melayani masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) atau sesuai Upah Minimum Regional (UMR). Namun, kini programnya justru mengarah ke kalangan menengah atas.
"Undang-Undang Tapera itu intinya satu: dia ngurusin yang namanya UMR. Kok sekarang tiba-tiba didorong naik ke kelas menengah atas, sampai gaji Rp14 juta? Oh itu nggak boleh dong, Anda meninggalkan UMR dong," tegasnya.
Menurut Fahri, MBR dengan penghasilan sekitar Rp8 juta per bulan seharusnya menjadi prioritas. Sementara masyarakat berpenghasilan tinggi seharusnya mampu membeli rumah nonsubsidi. "Lagi-lagi ini Tapera banyak sekali bohongnya," ucapnya.
Fahri juga mempertanyakan mekanisme penyaluran rumah subsidi oleh BP Tapera yang dinilai tidak terukur. Ia mencontohkan pemberian kuota secara sepihak, seperti klaim 1.000 unit untuk wartawan atau 3.000 unit untuk buruh, tanpa sistem antrean yang jelas.
"Dari mana? Itu harus ada sistem antreannya dong. Kayak orang pergi haji kan harus ngantre. Masa nyelonong main dapat haji kan nggak bisa begitu," ujarnya.
Ia menegaskan, sesuai UU Tapera, masyarakat harus terdaftar sebagai anggota setidaknya satu tahun sebelum berhak mendapatkan rumah subsidi. Namun, praktik di lapangan justru mengabaikan aturan tersebut.
"Jadi saya menyalahkan Tapera. Anda kejar Taperanya gitu lho," ucap Fahri kepada awak media.
Editor: Hendra Friana
Masuk tirto.id






































