tirto.id - Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, pamer penurunan angka kemiskinan Indonesia menurun, dari 9,03 persen pada 2024 menjadi 8,47 persen pada Maret 2025.
Menurut Sri Mulyani, itu adalah momen pertama dalam sejarah angka kemiskinan berhasil turun di bawah 9 persen.
Menanggapi klaim tersebut, Policy and Program Director Lembaga Riset Prasasti, Piter Abdullah, mengakui bahwa angka kemiskinan memang menurun seturut data Badan Pusat Statistik (BPS).
Namun, Peter mengatakan bahwa salah satu faktor pendorongnya adalah penetapan garis kemiskinan Indonesia yang relatif rendah.
"Kemiskinan menurun kemungkinan juga disebabkan oleh program bansos, sementara garis kemiskinan Indonesia memang relatif rendah,” ujar Piter kepada Tirto, Sabtu (23/8/2025).
BPS mematok garis kemiskinan pada Maret 2025 sebesar Rp609.160 per kapita per bulan atau setara dengan sekitar Rp20.000 per hari. Angka inilah yang menjadi batas untuk menentukan apakah seseorang tergolong miskin atau tidak.
Piter juga meluruskan persepsi publik yang sering menyamakan banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan penurunan lapangan kerja secara keseluruhan. Menurutnya, kedua hal tersebut adalah data yang berbeda.
“Padahal, PHK dan hiring itu fenomena dan data yang berbeda. Maraknya PHK bukan berarti hiring juga menurun. PHK hanya terjadi di sektor tertentu, sementara hiring terjadi di seluruh sektor dan ada sektor yang meningkat penyerapan angkatan kerjanya,” jelasnya.
Kritik serupa disampaikan oleh Nailul Huda, ekonom dari Celios. Nailul menjelaskan bahwa meski angka kemiskinan BPS menurun, metode dan garis kemiskinan yang digunakan sudah tidak relevan.
“Terkait dengan kemiskinan, memang secara angka yang disampaikan oleh BPS menurun, tapi dengan garis kemiskinan menggunakan metode yang tidak relevan,” kata Nailul.
Dia menambahkan bahwa peningkatan lapangan kerja yang terjadi banyak disumbang oleh sektor informal yang tidak disertai dengan kesejahteraan dan perlindungan sosial yang memadai.
“Penduduk miskin akan berkurang, tapi tidak mencerminkan kesejahteraan masyarakat yang hakiki. Keluarga berpendapatan lebih dari Rp2,4 juta dibilang keluarga kaya, tidak dimasukkan dalam kategori miskin, sedangkan kebutuhan terus meningkat,” ujarnya.
Nailul juga menyoroti ketimpangan pendapatan yang masih lebar sebagai bukti bahwa kesejahteraan tidak merata. Dia memberikan contoh nyata kesenjangan antara penghasilan anggota dewan dan guru honorer.
“Contohnya saja anggota dewan yang mampu mendapatkan uang halal sebesar Rp100 juta sebulan, sedangkan guru honorer hanya berpendapatan Rp300 ribu per bulan. Menjadikan kemiskinan di Indonesia masih akan abu-abu ketika pendekatan sudah tidak lagi relevan,” tegas Nailul.
Nailul menyimpulkan bahwa kondisi tersebut hanya terlihat baik di atas kertas, tetapi menyimpan pondasi yang rapuh.
“Semua hanya dalam angka semu. Seolah baik di atas kertas, tapi menyimpan pondasi yang rapuh,” katanya.
Penulis: Nanda Aria
Editor: Fadrik Aziz Firdausi
Masuk tirto.id







































