tirto.id - Kasus dugaan gratifikasi yang melibatkan beberapa pegawai Bursa Efek Indonesia (BEI) dalam proses pencatatan saham perdana alias Initial Public Offering (IPO) menuai polemik. Apakah peristiwa ini akan menggoyahkan calon emiten untuk melangkah ke tahap IPO?
Pemerhati dan Praktisi Investasi, Desmond Wira, menilai dugaan gratifikasi dalam proses pencatatan saham perdana dapat mengurangi kepercayaan investor hingga membuat calon emiten ragu untuk melangkah ke tahap IPO.
Pasalnya, dengan adanya dugaan kasus tersebut memunculkan persepsi bahwa proses IPO tidak transparan, sehingga mencoreng nama BEI sebagai pasar utama untuk perdagangan efek di Indonesia dan perusahaan yang kedapatan melakukan gratifikasi.
“Ada dampaknya. Jika ada persepsi bahwa proses IPO tidak transparan atau ada praktik gratifikasi, hal ini dapat mengurangi kepercayaan investor. Perusahaan mungkin ragu untuk melangkah ke IPO jika mereka khawatir akan dampak negatif terhadap citra perusahaan setelah pencatatan," kata dia, saat dihubungi Tirto, Minggu (13/10/2024).
Meski begitu, Desmond menilai, penurunan minat perusahaan untuk melantai di Bursa sebetulnya sudah terjadi sejak sebelum ada isu gratifikasi. Penurunan ini tak lain disebabkan oleh kondisi pasar saham yang kurang kondusif, seiring dengan kondisi ekonomi global yang masih menantang.
Pada periode Juli-September misalnya, BEI hanya mencatatkan saham perdana dari 7 perusahaan saja dan di sepanjang Semester I 2024 hanya ada 25 perusahaan baru yang mencatatkan sahamnya di Bursa.
“Tetapi minat perusahaan untuk IPO di tahun 2024 sebelum ada isu gratifikasi memang sudah berkurang. Hal ini disebabkan kondisi pasar saham yang kurang kondusif. Tidak ada isu gratifikasi pun minat IPO sudah berkurang,” ujar dia.
Berbeda dengan Desmond, Direktur PT Reliance Sekuritas Indonesia Tbk, Reza Priyambada, menilai minat perusahaan untuk mencatatkan sahamnya akan sangat tergantung pada kebutuhan dari calon emiten itu sendiri untuk menggalang pendanaan dari masyarakat melalui proses IPO. Namun, proses IPO untuk calon-calon emiten yang sudah masuk dalam pipeline bisa saja mundur jika terpengaruh dengan investigasi yang dilakukan BEI untuk menelusuri lebih dalam dugaan gratifikasi ini.
“Problemnya apakah setelah kejadian tersebut, dari BEI melakukan investigasi sehingga menahan proses IPO yang sedang berlangsung. Jika iya, maka proses IPO kan akan mundur dari jadwal yang ditargetkan para emiten. Jadi, balik lagi di BEI bolanya, karena kalau dari sisi emiten, nggak ada masalah,” jelas Reza.
Sementara itu, untuk mengembalikan minat perusahaan untuk mencatatkan sahamnya di pasar modal, BEI hanya bisa membenahi sisi internalnya saja. Sebab, bagaimana pun BEI tidak akan bisa mempengaruhi kondisi eksternal atau dalam hal ini pasar, karena sangat bergantung pada kondisi pasar global.
“Yang bisa dilakukan BEI antara lain: meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. BEI harus memastikan bahwa proses IPO transparan dan akuntabel. Ini termasuk penerapan regulasi yang jelas dan penegakan hukum yang tegas terhadap praktik gratifikasi dan korupsi,” papar Pemerhati dan Praktisi Investasi, Desmond Wira.
Memastikan proses IPO transparan bukan berarti BEI harus membuka proses aksi korporasi tersebut seutuhnya. Pasalnya, pasti ada faktor kerahasiaan dari perusahaan yang mana belum tentu dapat diungkap dalam proses dari privat menuju publik. Pun, calon emiten yang telah mendaftar dan melalui proses IPO juga belum tentu lolos dan dapat melantai di Bursa.
“Yang dalam proses IPO terus batal kan banyak juga,” imbuhnya.
Selanjutnya, BEI juga harus menyederhanakan prosedur IPO. Hal itu dapat dilakukan dengan mempermudah prosedur dan persyaratan untuk melakukan IPO, sehingga dapat menarik minat lebih banyak perusahaan. Ini juga bisa mencakup pengurangan biaya administrasi namun bukan menggratiskan biaya administrasi dan waktu yang diperlukan untuk proses pencatatan.
“Biaya IPO kan macam-macam. Mulai dari regulatory fee, underwriting fee, audit fee, legal fee dan lain-lain. Kalau pun administrasi dibikin free, masih ada biaya-biaya lain yang jauh lebih besar. Lagipula BEI juga perlu biaya operasional dan mencari keuntungan,” ucap Desmond.
Pada saat yang sama, BEI juga harus mengadakan program edukasi melalui seminar, lokakarya, atau program mentoring bagi perusahaan tentang manfaat dan proses IPO. Selain itu, yang paling penting adalah memberikan hukuman berat kepada terduga penerima gratifikasi. Hal ini sekaligus sebagai efek jera kepada para pegawai BEI lainnya agar tak mengulangi tindakan tercela tersebut.
“Yang terlibat dihukum seberat-beratnya. Kalau itu benar-benar dilakukan, yang mau menyuap akan berpikir berkali-kali,” tutur Desmond.
Diwartakan sebelumnya, Direktur Pengembangan PT Bursa Efek Indonesia (BEI), Jeffrey Hendrik, mengatakan sampai saat ini pihaknya masih melakukan investigasi atas dugaan gratifikasi tersebut. BEI terus berkomitmen untuk meningkatkan integritas dalam penindakan yang dilakukan ini.
“Saya kira itu sedang dalam proses, kita tunggu saja bersama-sama. Jadi, kita tunggu saja proses itu. Yang dalam kewenangan kami adalah memberikan sanksi kepada karyawan kami dan itu sudah kami lakukan,” ujar Jeffrey (2/9/2024) lalu dikutip dari Antara.
Jeffrey menyebut dugaan gratifikasi dalam proses IPO ini tidak mengganggu proses berjalannya atau target IPO yang sudah ditetapkan dalam pipeline (antrian) IPO.
“Saya kira penurunan target tidak ada, semua proses tetap dijalankan sebagaimana mestinya,” tutur dia.
Jeffrey menambahkan hingga akhir tahun 2024 berdasarkan pipeline BEI, masih ada sekitar 25 hingga 30 emiten yang akan melakukan IPO dan akan diproses sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang ada.
Pihaknya berharap komitmen dan integritas ini dapat meningkatkan kepercayaan dari publik.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Fahreza Rizky