tirto.id - Perusakan makam Kristen oleh siswa di Surakarta, Jawa Tengah beberapa waktu lalu masih diusut polisi. Tindakan ini dinilai sebagai aksi intoleran hingga membuat Wali Kota Solo Gibran Rakabuming geram dan meminta agar sekolah ditutup.
Peristiwa tersebut terjadi pada pukul 16.00 WIB pada 16 Juni lalu. Sekitar 10 anak murid di sebuah lembaga pendidikan bernama Kuttab atau tempat anak-anak belajar agama melakukan perusakan terhadap sekitar 12 makam Kristen. Mereka diketahui berusia 3 sampai 12 tahun, di mana tempat belajar para murid tersebut tak jauh dari makam tersebut.
Mendapat informasi dari penjaga makam dan warga sekitar, polisi langsung menuju ke tempat kejadian perkara (TKP). Saat diperiksa, sejumlah makam tersebut sudah dalam kondisi rusak. Sebanyak 7 nisan patah dan beberapa ornamen mengalami kerusakan.
“Mereka melakukan perusakan makam menggunakan batu," kata Kepala Polresta Surakarta Kombes Pol Ade Safri Simanjutak kepada reporter Tirto, Kamis (24/6/2021).
Atas peristiwa itu, polisi langsung memanggil pihak terkait untuk meminta keterangan. Tim penyidik Polres Kota Surakarta, Jawa Tengah saat ini telah memeriksa 23 saksi terkait kasus pelajar perusakan makam Kristen di TPU Cemoro Kembar, Kelurahan Mojo, Kecamatan Pasar Kliwon Solo.
Sejumlah saksi tersebut terdiri dari pelaku, orang tua pelaku, tenaga pengajar Sekolah Kuttab, warga, dan pejabat setempat.
Ade mengatakan saat ini kasus tersebut masih dalam tahap penyelidikan. Polisi masih mencari tahu motif sejumlah anak tersebut melakukan perusakan, termasuk adanya dugaan penghasutan dari tenaga pengajar dan intoleransi.
“Sejauh ini kami masih meminta keterangan warga, pejabat setempat, dan saksi. Kami juga sedang mengumpulkan alat bukti. Jika sudah lengkap, kami akan lakukan gelar perkara," ujarnya.
Para pelaku, kata Ade, akan dijerat sesuai Pasal 170 KUHP, tentang "Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan."
Mengingat usia pelaku yang masih anak-anak, Ade mengatakan polisi akan melakukan proses hukum sesuai Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. “Polisi mengupayakan diversi, upaya dilakukan di luar sidang pengadilan, kami melakukan restorasi justice.”
Polisi melakukan mediasi antara anak, orang tua anak, dan tenaga pengajar dengan pihak yang dirugikan, dihadiri oleh tokoh masyarakat RT dan RW setempat yang sudah melakukan ada titik temu kesepakatan kedua belah pihak.
Hasil dari kesepakatan sementara, pihak sekolah Kuttab dan pelaku didampingi polisi dan pejabat wilayah setempat melakukan kerja bakti untuk memperbaiki makam yang rusak dalam waktu seminggu. Meski demikian, proses hukum tetap berjalan.
Kasus perusakan makam Kristen tidak hanya terjadi di Solo, tetapi juga di daerah lainnya. Pada 4 Januari 2019, seorang warga berinisial FK (25) diduga merusak sejumlah nisan makam di empat Tempat Pemakaman Umum (TPU) Kota Magelang dengan menggunakan palu besi dan kawat.
Kemudian sejumlah kayu salib yang tertancap di kompleks makam Bethesda Mrican, Jalan Gejayan, Sleman, DI Yogyakarta, dicabuti dan coba dibakar oleh orang tak dikenal pada 6 April 2019. Bahkan sudah terjadi selama 3 Kali.
Gibran Minta Sekolah Ditutup
Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka geram melihat perisitiwa tersebut. Dia pun langsung meninjau ke TPU Cemoro Kembang Kelurahan Mojo, Pasar Kliwon Solo, Senin, (21/6/2021). Putra sulung Presiden Jokowi itu menegaskan bahwa anak-anak sebagai pelaku perusakan makam hingga tenaga pengajar Sekolah Kuttab yang diduga tidak ada izinnya tetap harus diproses hukum.
Gibran memandang tindakan tersebut sebagai bentuk intoleransi. “Yang merusak makam dinilai sudah keterlaluan. Apalagi melibatkan anak-anak, nanti segera diproses sesuai hukum yang berlaku," kata Gibran.
Pada saat meninjau lokasi, Gibran juga meminta agar pelajar dan tenaga pengajar Sekolah Kuttab harus diberikan pembinaan agar tidak melakukan hal serupa. Dia menilai, lembaga dan pengasuhnya sudah tidak benar, oleh karena itu Gibran meminta sekolahnya harus segera ditutup.
“Tutup saja. Dah nggak bener, sekolahnya, gurunya," kata dia.
Sementara itu, Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa'adi memandang terjadinya perusakan makam Kristen di Kota Solo oleh anak-anak membuktikan jika intoleransi tidak mengenal usia.
“Ini juga bisa dipahami bahwa proses indoktrinasi sudah mulai menyasar kalangan generasi muda, bahkan anak-anak. Apalagi, proses infiltrasinya saat ini relatif lebih mudah, menembus batas-batas ruang kamar dan rumah seiring perkembangan teknologi informasi dan disrupsi informasi,” kata Zainut kepada wartawan, Rabu (23/6/2021).
Dia mengatakan, lembaga yang terlibat pada perusakan makam Kristen tersebut tidak terdaftar di Kemenag sebagai Madrasah Diniyah, Taman Pendidikan Al Qur'an (PTA), atau pun pesantren.
“Informasi yang saya terima, istilah yang mereka gunakan adalah Kuttab. Istilah Kuttab belum dikenal atau digunakan sebagai nomenklatur lembaga pendidikan binaan Kementerian Agama,” ucapnya.
Pria yang juga Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan, seharusnya setiap sekolah atau lembaga pendidikan dalam pendirian mestinya mempunyai izin, baik dari Kemenag atau dinas setempat. Dengan begitu, bisa diketahui keberadaannya untuk dilakukan pembinaan secara berkala.
“Jika tidak ada izin, apalagi mengajarkan materi yang intoleran, ya bisa dibubarkan. Kemenag selama ini memanfaatkan peran pengawas pendidikan untuk melakukan monitoring, evaluasi dan pembinaan,” kata dia.
Agar konflik tidak meluas, Zainut menuturkan bersama Pemkot Solo, dan pemangku kepentingan terkait tengah melakukan mediasi. Mengingat pelaku masih anak-anak, Kemenag akan melakukan pembinaan agar bisa tumbuh menjadi pemuda yang toleran dan cinta Tanah Air.
“Kemenag juga tengah mengampanyekan penguatan moderasi beragama dan itu dilakukan juga di level pendidikan anak. Pesan dan kontennya tentu disesuaikan dengan tahapan usia mereka,” ucapnya.
Sementara Humas Kanwil Kemenag Jateng, Afif Mundzir mengatakan Kuttab merupakan sekolah formal yang berada di bawah Dinas Pendidikan (Disdik). “Ini sekolah di luar Kemenag, ini di bawah Disdik. Ini pendidikan formal, sejajar sekolah paket A, B, C," kata Afif kepada reporter Tirto, Kamis (24/6/2021).
Kemenag Jateng, kata dia, akan melihat kurikulum sekolah tersebut untuk melihat apakah terdapat muatan intoleransi dalam beragama atau tidak. “Meski di bawah Disdik, Kemenag pasti terlibat. Kami akan memberikan pemahaman moderasi dan toleransi," tuturnya.
Jangan Tutup Sekolah Secara Permanen
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji memandang perusakan makam ini tidak bisa dipandang sebagai tindakan yang berdiri sendiri. “Ini harus diusut ada apa dan siapa aktornya. Anak-anak ini hanya sebagai korban karena ketidaktahuannya dan mereka juga masih dibawa umur," kata Ubaid kepada Tirto.
Dia meminta kepada aparat kepolisian agar tidak melakukan proses hukum terhadap para pelajar. Tetapi lebih baik diberikan pembinaan. Sementara untuk tenaga pengajar dan lembaga pendidikan, menurutnya perlu dilakukan investigasi.
“Sebab ini berbahaya, dan bisa terkait dengan gerakan intoleran dan radikalisme," ucapnya.
Dia juga meminta Gibran selaku Wali Kota Solo agar tidak sewenang-wenang melakukan penutupan permanen terhadap sekolah Kuttab. Tetapi penghentian aktivitas sementara saja sebagai keperluan investigasi.
“Kalau misalnya benar ada indikasi mengakarkan paham intoleran dan radikalisme, maka perlu pembinaan. Sebab kalau hanya represif dengan asal tutup, bisa menumbuhkan radikalisme baru,” kata dia.
Tak hanya lembaga pendidikan Kuttab, kesewenangan kepala daerah menutup sekolah di Jawa Tengah juga pernah terjadi sebelumnya. Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo pada 14 Februari 2020 pernah mengusulkan SMP swasta yang menjadi lokasi bullying atau perundungan di Butuh Purworejo untuk ditutup.
Kemudian, enam sekolah Yayasan Katolik di Blitar, Jawa Timur terancam mendapat sanksi berupa pencabutan izin sekolah. Hal itu direkomendasikan oleh Kantor Wilayah Kemenag Blitar kepada Pemda da 23 Januari 2013 karena pihak Yayasan ngotot tidak bersedia menyediakan guru agama lain pada siswa non-Katolik.
Selanjutnya, Kemendikbud pada 26 April 2014 pernah menutup Jakarta International School (JIS), lantaran diketahui tidak mengantungi izin menyelenggarakan sekolah PAUD. Selain itu, penutupan JIS juga karena ditemukannya kasus tindak pelecehan seksual terhadap anak didiknya.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz