tirto.id - Empat tahun sudah Klasis berjuang untuk mendapat izin mendirikan kantor bersama 13 Gereja Kristen Jawa (GKJ) di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Selama itu pula muncul penolakan dari warga setempat. GKJ Klasis tak mau mundur karena memegang satu tujuan lebih besar ketimbang memiliki kantor sendiri.
Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu (DPMPT) Gunungkidul sebetulnya pernah menyatakan seluruh persyaratan pembuatan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sudah lengkap pada 25 Juli 2016. Namun, anehnya, mereka malah menolak permohonan tersebut pada 17 Januari 2017 melalui surat nomor 045.2/057/I/2017.
Klasis melalui Badan Pelaksana GKJ Klasis (Bapelklas) Gunungkidul lantas menggugat surat tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Yogyakarta.
Dalam putusan Nomor 14/G/2017/PTUN.YK, hakim PTUN menyatakan surat penolakan penerbitan IMB batal dan dicabut. Pengadilan tegas memerintahkan DPMPT memproses dan menerbitkan IMB untuk Klasis. Putusan banding Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya Nomor 205/B/2017/PT TUN.SBY. memperkuatnya.
Selain itu, hal lain yang meneguhkan mereka adalah Instruksi Gubernur Nomor 1/INSTR/2019 tentang Pencegahan Potensi Konflik Sosial yang diteken Gubernur DIY Sri Sultan HB X pada 4 April 2019. Salah satu isinya kepala daerah diperintahkan untuk menyelesaikan masalah intoleransi.
Budi Hermawan, kuasa hukum Klasis dari Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, menyatakan seharusnya tak ada lagi alasan Pemkab Gunungkidul tak menerbitkan IMB kantor Klasis, termasuk “ada penolakan dari masyarakat.”
“Alasan Pemda harus mengeluarkan IMB itu sudah sangat banyak. Ada putusan pengadilan, ada Instruksi Gubernur,” ujar Budi kepada reporter Tirto, Selasa (16/11/2020).
Impian Klasis untuk bisa memiliki kantor administrasi di Dukuh Grogol I Bejiharjo hingga kini belum terwujud. Klasis atau 13 GKJ di Gunungkidul saat ini menggunakan bangunan kecil di belakang GKJ Wonosari sebagai kantor sementara.
Budi mengatakan Dinas Pelayanan Terpadu Gunungkidul berjanji bakal menerbitkan IMB kantor Klasis dalam audiensi bersama Badan Pelaksana Klasis pada 5 Februari 2020. Namun, lagi-lagi tidak terealisasi. “Setelah audiensi, kami memasukkan kembali berkas persyaratan IMB, tetapi Dinas Pelayanan Terpadu menolak dengan alasan masih ada penolakan dari masyarakat.”
Badan Pelaksana Klasis dan LBH Yogyakarta tak tinggal diam. Beberapa kali mereka bertanya pada dinas soal atas keberlanjutan penerbitan IMB. Dinas selalu beralasan belum bisa memproses IMB karena, lagi-lagi, dengan alasan “ada penolakan dari masyarakat.”
LBH Yogyakarta mencari jalan lain. Sekitar sebulan lalu, mereka mengirim surat permohonan audiensi untuk mengadukan kinerja eksekutif, dalam hal ini Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu serta Pemerintah Kabupaten Gunungkidul, kepada DPRD Gunungkidul. Jawaban atas surat itu datang beberapa hari lalu. DPRD menyatakan audiensi bisa dilakukan tetapi setelah Pilkada atau setelah 9 Desember 2020.
Budi berkata “agak kecewa” atas jawaban tersebut. “Kenapa harus setelah Pilkada? Bupati saat masalah ini muncul, kan, bupati yang sekarang. Kalau mau memberi kebijakan, kan, masih orang yang sama.”
Kekecewaan juga datang dari pendeta GKJ Klasis, Christiyono Riyadi. Impiannya memiliki kantor lebih layak masih jauh dari kenyataan.
“Rencana kami,” ujar Chris, “kantor Klasis itu nanti bangunannya bukan gedung, tetapi bangun[an] kayu model Jawa, seperti joglo, supaya enak. Terbuka untuk pertemuan atau acara yang mungkin akan undang pihak lain.”
Reporter Tirto sudah menghubungi Kepala Dinas Pelayanan Terpadu Gunungkidul, Irawan Jatmiko, serta Sekda Gunungkidul Drajat Ruswandono, tetapi belum ada tanggapan sampai laporan ini tayang.
Alasan Warga
Kepala Dukuh Grogol 1 Bejiharjo Agung Waluyo mempertanyakan kenapa Klasis memilih tempat mereka, yang menurutnya hanya diisi satu keluarga Kristen dan mayoritas Islam.
“Kenapa tidak mencari tempat yang pasti masyarakat bisa menerima?” ujar Agung di rumahnya, pekan lalu.
Hal serupa disampaikan perwakilan masyarakat dari Jaga Warga Grogol 1, Suwargito dan Sunyoto. Keduanya menanyakan hal sama dan meminta kantor Klasis pindah ke wilayah Gunungkidul yang banyak masyarakatnya beragama Kristen.
Mereka keberatan karena menganggap Klasis tidak transparan saat proses pemberkasan syarat IMB. Suwargito dan Sunyoto mengklaim tidak ada sosialisasi terlebih dahulu kepada warga Grogol 1. Namun, ketika ditanya lebih lanjut apakah masyarakat akan menerima jika Klasis melakukan sosialisasi, jawabannya tetap sama: Tidak.
Salah satu alasan 'legal' yang disampaikan Agung adalah SKB 3 Menteri Tahun 2006 tentang pendirian rumah ibadah. “Sesuai dengan SKB 3 Menteri, kan, sudah ada aturannya. Harus ada berapa warga yang beragama Kristen di situ. Tidak semena-mena mau bikin di sini terus boleh.”
Masalahnya, baik dalam putusan hakim PTUN dan berkas-berkas persyaratan IMB Klasis, yang akan dibangun adalah kantor administrasi, bukan rumah ibadah, sehingga tidak terikat dengan SKB.
Mengenai ini, Agung Waluyo mempertahankan argumennya dengan mengatakan masyarakat takut kantor Klasis itu lama-lama akan menjadi tempat ibadah atau pertemuan lain yang berkaitan dengan agama non-Islam.
Agung mengklaim putusan hakim PTUN cacat hukum dan tidak adil bagi warga. “Sudah saya katakan cacat hukum, kenapa kami harus menerima?”
Untuk Simbol Perjuangan Toleransi
Budi Hermawan menegaskan bahwa yang hendak dibangun oleh Klasis adalah kantor dari 13 gereja, bukan tempat ibadah. Fungsi kantor itu untuk tempat koordinasi berbagai kegiatan sosial dan kebudayaan.
Itu artinya syarat administrasi yang harus dipenuhi hanya berupa persetujuan dari tetangga kanan, kiri, depan, dan belakang, sebagaimana diatur dalam Perda Bangunan.
“Yang diminta tanda tangan hanya tiga pihak. Karena itu bukan bangunan yang akan digunakan oleh banyak pihak seperti rumah ibadah, jadi tidak sama dengan SKB 3 Menteri,” ujar Budi. Dan Klasis telah memenuhi itu.
Budi tahu ada desakan warga, tapi ia berkata, “Klasis enggak akan pindah. Sudah jadi komitmen.”
Ia mengatakan ada tujuan besar yang ingin dicapai Klasis. “Klasis menganggap ini menjadi simbol perjuangan toleransi, menjadi simbol perjuangan keberagaman,” katanya.
Ia berharap peran pemerintah untuk menyelesaikan kasus kebebasan beragama dan berkeyakinan ini. Seharusnya pemerintah provinsi mupun daerah berperan serta untuk memberikan pemahaman mengenai toleransi kepada warga, ujarnya.
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Rio Apinino