tirto.id - Slamet Jumiarto tak mengira bakal mengalami peristiwa mengagetkan: ia ditolak bermukim di sebuah dusun di Bantul karena agamanya Kristen.
Dua hari setelah menempati rumah kontrakan baru, akhir Maret 2019, seniman asal Semarang yang telah bermukim belasan tahun di Kota Yogyakarta ini mendatangi rumah Ketua RT Dukuh Karet, sebuah dusun di Kecamatan Pleret, Daerah Istimewa Yogyakarta. Ia berniat memberikan KTP, Kartu Keluarga, dan surat nikah.
Melihat kolom agamanya Katolik dan agama istrinya Kristen, ketua RT setempat menolak memberikan izin tinggal. Merasa aneh, ia mendatangi Kepala Dukuh Karet Iswanto, yang juga menolak dengan alasan yang sama.
Penolakan terhadap Slamet berdasarkan surat keputusan tahun 2015, diteken oleh Iswanto, yang hanya menerima pendatang baru beragama Islam. Dalam surat yang sama, penduduk Pedukuhan Karet “keberatan menerima pendatang baru yang menganut aliran kepercayaan atau agama non-Islam.”
Slamet mau mengalah karena ia tak ingin istri dan kedua anaknya terganggu secara psikologis. Meski demikian, ia juga tak ingin aturan diskriminatif itu langgeng.
“Saya mengalah asalkan aturan di desa ini direvisi. Bagi saya itu bertentangan dengan ideologi Pancasila dan undang-undang dasar," ujarnya. “Aneh dan ironis sekali.”
Kasus ada warga pendatang ditolak bermukim karena beragama “non-muslim” akhirnya jadi perhatian pemberitaan setelah ramai di media sosial pada awal April kemarin. Bupati Bantul Suharsono menyebut aturan dusun itu “jelas salah”. Gubernur HB X merespons dengan mengeluarkan instruksi kepada bupati atau wali kota agar bisa “mencegah praktik diskriminasi” di lingkungan DIY.
Penolakan izin tinggal berbasis agama itu mewarnai kasus-kasus intoleransi di Yogyakarta. Pada 2014, Yogya yang mencitrakan diri sebagai “kota toleran” pernah menempati kota nomor dua paling tidak toleran menurut laporan Wahid Institute tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Kasus Slamet menambah level intoleransi di Yogyakarta. Sebab, biasanya, permukiman yang secara eksklusif dihuni oleh warga seagama—misalnya hanya untuk muslim—kebanyakan terjadi secara sengaja berupa indekos khusus muslim atau kompleks perumahan khusus muslim.
Perumahan berlabel “syariah” atau “khusus muslim” ini jamak ditemukan lewat iklan perumahan di situs jual beli online, yang satu kali pernah bikin repot Agnes Herdiasti saat mencari rumah untuk dibeli pada 2017.
Agnes saat itu mencari rumah di kawasan Sleman untuk ia tempati bersama putrinya. Selama berhari-hari, melalui ponselnya, ia berselancar di internet untuk membuka situs jual beli seperti OLX dan Lamudi.
Sebagian besar rumah yang diiklankan terjangkau harganya dengan bujet yang dia siapkan sebesar Rp300 juta, sehingga saat itu ada cukup banyak pilihan. Namun, pada waktu yang sama, pilihan itu pun semakin sedikit saat perumahan-perumahan itu mengincar calon penghuni beragama Islam.
"Saya pikir itu sudah cukup jelas, jadi saya tidak perlu buang waktu lagi untuk menanyakan ke pengiklan,” kata Agnes, 44 tahun, mengisahkan pengalamannya kepada saya, awal pekan ini.
Mencari rumah di daerah Yogya bagi Agnes adalah pekerjaan yang butuh kehati-hatian. Pengalaman mengajarkannya.
Sebelum bekerja dan berdomisili di Bali, Agnes pernah kesulitan mencari rumah sewa. Untuk dapat menghuni rumah, lingkungan setempat mensyaratkan agar ia tidak melakukan kegiatan keagamaan di dalam rumah.
Bila tak ingin dibilang lebih buruk, pengalaman warga Pakualaman ini lebih beruntung ketimbang pengalaman Agnes yang lain. Agnes Stephany, 34 tahun, warga Gamping, Sleman, memiliki pengalaman lebih rumit.
Fanny, sapan Stephany, harus membuang impian mendapatkan hunian yang ia inginkan pada 2015. Dari penjual soto langganan, ia diberitahu tentang rumah yang hendak dijual di sekitar Sewon, Bantul.
Setelah melihat langsung rumah di perkampungan itu, Fanny merasa cocok. Ia bertemu dengan pemiliknya. Kemudian, harga yang ditawarkan pun telah disepakati.
“Saat mau bayar DP (down payment alias panjar), ia melihat KTP saya dan suami saya. [Kolom] agama kami Kristen. Kami ditolak. Dia bilang, di kampung sini enggak bisa untuk Nasrani,” kata Fanny kepada saya, pekan ini.
Pembeli Perumahan Harus Beragama Islam
Di Yogyakarta, bukan perkara sulit mencari perumahan yang mengharuskan pembelinya beragama Islam. Saya mencoba apa yang dilakukan Agnes dua tahun lalu.
Via situs jual beli OLX, saya mengetik kata kunci “perumahan muslim”, maka muncul satu halaman dengan 14 iklan perumahan muslim, baik yang akan dibangun atau sudah dibangun.
Berdasarkan lokasinya, perumahan yang diiklankan ini tersebar di Kabupaten Bantul, Sleman, dan Gunungkidul. Di Bantul di antaranya ada Perumahan Muslim Bumi Baitussalam, Perumahan Islam Terpadu Green Tasneem, Perumahan Bumi Baitussalam, dan Perumahan Taman Darussalam.
Sementara di Kabupaten Gunungkidul, ada perumahan Pal Gading Regency. Di Sleman, dari situs jual beli ‘homesyariah’, saya mendapati satu Perumahan Muslim Hijrah Village.
Untuk memastikan apakah betul perumahan-perumahan ini hanya dikhususkan untuk muslim, saya mengontak pengiklan. Melalui WhatsApp, salah satunya saya terhubung dengan Manajer Pemasaran Perumahan Islam Terpadu Green Tasneem, yang mengenalkan diri bernama Ahmad Edi.
Kepada saya, Edi menjelaskan Perumahan Islam Terpadu Green Tasneem sudah terjual 20 unit, dan April 2019 ini pihaknya memasang harga promosi. Harga paling murah untuk satu unit rumah seluas bangunan 36 meter persegi dan luas tanah 84 meter persegi adalah Rp384 juta.
Dalam informasi persyaratan pembelian rumah yang ia tunjukkan, yang harus dipenuhi oleh calon pembeli, perlu ada foto suami dan istri, KTP, Kartu Keluarga, surat nikah, hingga slip gaji—praktik lazim dalam jual beli rumah.
Namun, dalam informasi tertulis itu, tidak ada syarat pembeli adalah seorang muslim, sehingga saya pun bertanya untuk memastikannya. “Khusus muslim,” tegas Edi.
Saya juga menghubungi pengiklan Perumahan Pal Gading Regency, dan terhubung dengan tenaga pemasaran bernama Heri.
Melalui gambar site plan yang ia tunjukkan kepada saya, total sudah ada 46 unit yang terjual. Bagi para pembeli yang sudah membayar uang muka, maka 18 bulan setelah pembayaran, rumah akan diserahterimakan.
Kini, katanya, masih tersisa sekitar 24 unit lagi yang belum terjual. Kepada saya, ia menunjukkan syarat untuk membeli sisa unit tersebut.
“Syarat: Muslim; fotocopy KTP; fotocopy KK; foyocopy NPWP (jika ada); slip gaji, untuk pegawai/karyawan/karyawati; fotocopy buku tabungan,” sebut Heri.
Saya bertanya untuk menegaskan, “Berarti kalau non-muslim, tidak boleh?”
“Mohon maaf, belum bisa,” jawabnya.
Jawaban serupa juga diungkapkan oleh pengiklan Perumahan Taman Darussalam yang mengenalkan diri bernama Sudargo.
“Ini perumahan khusus muslim, Pak?”
“Iya, perumahan syariah,” jawabnya.
Sementara itu, Perumahan Muslim Hijrah Village, yang ditawarkan via situs jual beli ‘homesyariah’, pengiklannya mengatakan 7 unit rumah telah terjual. Dan pengiklan bernama Miftah membenarkan perumahan itu memang khusus muslim.
Tak hanya memastikan melalui pengiklan, saya mendatangi dua lokasi proyek perumahan, yakni Perumahan Taman Darussalam dan Perumahan Islam Terpadu Green Tasneem.
Di Perumahan Islam Terpadu Green Tasneem yang terletak di Desa Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, tampak satu rumah berdiri meski belum sempurna dan terlihat belum dihuni. (Menurut Ahmad Edi, manajer perumahan tersebut, sudah ada 16 unit rumah yang dibangun.)
Sementara di Perumahan Taman Darussalam yang terletak di Desa Argorejo, Sedayu, Bantul, ketika saya ke sana, ia baru berupa lahan luas sehabis perataan tanah. Kantor pemasarannya di depan lahan itu pun masih kosong.
‘Melemahkan Modal Sosial Perdamaian’
Sebagian dari contoh perumahan-perumahan eksklusif khusus muslim itu tidak terjadi tanpa sebab. Menurut Mohammad Iqbal Ahnaf, pengajar Program Studi Agama dan Lintas Budaya Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, banyak perumahan muslim ini tak terlepas dari perubahan sosial masyarakat Yogyakarta.
“Proses perubahan sosial ini berlangsung jauh lebih lama, meskipun mungkin manifestasinya dalam bentuk perumahan belum terlalu lama,” ujar Ahnaf, yang menulis buku Krisis Keistimewaan (CRCS, 2017).
Yogyakarta, yang dikenal sebagai Kota Pelajar, menjadi tujuan orang luar tinggal di sini, sebagian besar didorong oleh pendidikan, menciptakan pergeseran sosial secara demografis yang ada kaitannya dengan industrialisasi jasa, sehingga menggeser kultur agraris masyarakat Yogya, menurut Ahnaf.
Dalam kehidupan masyarakat, menurutnya, ada peningkatan kesalehan yang bernuansa eksklusif sehingga menciptakan pasar baru, khususnya dalam industri perumahan.
"Itu terwujud dalam kehidupan sehari-hari. Dengan adanya pasar, kemudian muncul pengusaha yang menawarkan rumah yang eksklusif," ujar Ahnaf.
Selain itu, kata dia, perumahan khusus muslim tumbuh karena “ada tren mobilisasi cukup agresif di kalangan kelompok-kelompok keagamaan tertentu, yang memang secara sengaja mencari tempat-tempat yang memungkinkan mereka membangun konsentrasi hunian berdasarkan keyakinan mereka.”
Kemudian, ada pertumbuhan lembaga pendidikan berbasis Islam yang eksklusif di Yogyakarta menurutnya sangat erat hubungannya dengan merebaknya hunian eksklusif muslim.
"Sekolah agamanya tentu hanya orang Islam yang belajar di situ. Tidak hanya itu, Islam yang diajarkan di situ karakter Islam yang intoleran, mulai dari lembaga dini PAUD sampai SMA,” katanya.
Hal itu, kata dia, berbanding lurus dengan permintaan hunian eksklusif sebagaimana lembaga pendidikan sejak dini.
Menurut Ahnaf, hal ini berbahaya bagi kelangsungan hidup bermasyarakat di Yogyakara. Dalam jangka panjang, dampak permukiman-perumahan eksklusif muslim akan mengancam toleransi.
"Ini berbahaya [karena dapat] melemahkan modal sosial perdamaian di masyarakat kita,” katanya.
Perdamaian dimungkinkan jika masyarakatnya membaur, tambah Ahnaf. Prasyarat masyarakat yang damai adalah masyarakat itu dimudahkan untuk bertemu dengan orang yang beragam.
“Jadi, kalau ruang publiknya membatasi orang untuk membaur, berarti itu adalah proses pelemahan modal sosial perdamaian kita. Selain itu, tempat seperti itu dapat menjadi enabling environment radikalisasi," ujar Ahnaf.
Izin Perumahan Eksklusif Muslim Harus Dievaluasi
Setelah peristiwa penolakan terhadap keluarga Slamet Jumiarto di sebuah dusun di Bantul, Gubernur HB X mengeluarkan instruksi tentang pencegahan konflik sosial.
Sekretaris Daerah Provinsi Istimewa Yogyakarta Gatot Saptadi mengatakan instruksi gubernur yang ditetapkan pada 4 April 2019 dapat digunakan sebagai pijakan untuk mengevaluasi aturan yang diskriminatif di tingkat bawah, termasuk aturan perumahan eksklusif yang mendiskriminasi agama tertentu.
“Bupati/wali kota jangan mengeluarkan izin [perumahan] kalau ada hal-hal dan gagasan yang diskriminatif,” kata Gatot dalam jumpa pers di Kantor Kepatihan Yogyakarta, Jumat perdana April lalu.
Gatot menjelaskan, aturan perumahan eksklusif yang cenderung mendiskriminasi agama tertentu mudah untuk dicegah. Pasalnya, wewenang izin pembangunan perumahan berada di tangan pemerintahan kabupaten/kota.
Ketua Dewan Pengurus Daerah Real Estat Indonesia (REI) Yogyakarta Rama Adyaksa Pradipta “sepakat” atas evaluasi perizinan terhadap pengembang yang membangun perumahan eksklusif muslim.
Menurutnya, perumahan memang harus inklusif karena semua warga negara berhak mendapatkan hunian, tanpa harus membedakan suku, ras, dan agama.
Rama mengakui selama ini ada perumahan eksklusif muslim, tapi ia bilang jumlahnya tidak banyak, “hanya sekitar lima kawasan.”
“Sebagian ada yang masih proses pemasaran dan pengembangan,” tambah Rama.
Tuntutan Pasar dan Ideologis
Menurut Rama, ada dua alasan pengembang membuat perumahan khusus muslim: permintaan pasar; atau karena idealisme yang memang ingin membangun hunian khusus muslim.
Menurut dia, alasan pertama jauh lebih banyak ia temui. Di antara pengembang yang tergabung dalam REI Yogyakarta, ia menilai kecenderungan masyarakat yang eksklusif ditangkap sebagai peluang sehingga pengembang menghadirkan hunian semacam itu.
Namun, ia tetap memberikan rambu-rambu kepada setiap anggotanya jika ada yang hendak membangun perumahan eksklusif agar menjaga lingkungan sekitar supaya tidak terjadi konflik di kemudian hari.
“Ini memang kompleks,” katanya. “Kalau dilihat dari sisi pasar ini hanya tuntutan pasar. Tapi ditarik ke arah teologis itu berbahaya bagi integritas satu kawasan, satu kabupaten, bahkan satu bangsa kalau masing-masing maunya eksklusif seperti itu. Makanya, kami melihat ini harus hati-hati.”
Argumen karena tuntutan pasar itu diungkapkan juga oleh Iqbal Ahnaf, yang memandang ada pasar kalangan kelas menengah yang semakin kental identitas keislamannya dan mencari tempat seperti itu, sehingga perumahan didesain sejak awal secara eksklusif.
“Pertemuan antara kepentingan pasar dan identitas itulah,” ujar Ahnaf, yang menyoroti juga ada pengembang memang secara ideologis menciptakan perkampungan eksklusif muslim.
Ahnaf menilai, “Tidak boleh orang itu menjual tanah atau rumah hanya untuk orang dari agama tertentu. Secara hukum itu melanggar, mestinya yang seperti itu bisa ditindak.”
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Fahri Salam