tirto.id - Apa isi pikiran dan sikap Anda saat bertemu dengan seorang warga Papua?
Aparat kepolisian dan sekurang-kurangnya empat ormas—Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan TNI/Polri Indonesia, Pemuda Pancasila, Paksi Katon, dan Laskar Jogja—yang mendatangi Asrama Mahasiswa Papua pada hari Jumat (15/7/2016) kemarin memilih (baca: diperintahkan) untuk bertindak represif sambil meneriakkan nama-nama binatang yang terlintas di pikiran mereka:
“Monyet!”
“Babi!”
“Anjing!”
Gesture tubuh mereka menyiratkan tantangan. Membusung-busungkan dada sembari menunjuk-nunjukkan jarinya ke arah kelompok lain yang mereka tantang: muda-mudi asal tanah Papua yang bertahan di dalam asrama.
Muda-mudi itu belum sempat mengemukakan pendapat di muka umum, sesuai hak seluruh warga negara Indonesia yang dijamin undang-undang. Mereka menamakan diri PRPPB atau Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat. Rencananya akan ada long march dengan rute Asrama Mahasiswa Papua ke Titik Nol KM di Jalan Panembahan Senopati.
Mereka ingin menunjukkan dukungan bagi Gerakan Pembebasan Papua atau United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) agar menjadi anggota penuh Melanesian Spearhead Group (MSG) –organisasi lintas pemerintah di kawasan Pasifik Selatan yang terdiri dari empat negara Melanesia, yakni Fiji, Papua Nugini, Kepulauan Solomon, dan Vanuatu.
Namun, baru sampai keluar gerbang asrama, mereka dipukul mundur. Massa aksi damai didesak kembali ke asrama. Beberapa kena bogem mentah aparat atau pukulan pentungan. Namun, yang lebih menyakitkan dari bogeman adalah kata-kata rasialis yang dilontarkan.
Ingatan penulis terlempar ke pertengahan tahun 2014. Saat itu, massa aksi yang menamakan diri Front Mahasiswa Papua Jogja (FMPJ) sedang berorasi damai di bundaran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Mereka menyikapi penembakan 5 warga sipil dan 17 korban kekerasan di Kabupaten Paniai, Papua, oleh gabungan polisi, brimob, dan Tim Khusus 753 Angkatan Darat.
Dari pengamatan penulis ketika itu, suasana yang sebelumnya kondusif dirusak oleh provokasi aparat kepolisian dengan cara berteriak-teriak dan memukul-mukul tamengnya dengan pentungan panjang. Ada teriakan rasialis dengan meminjam nama binatang (seperti biasa). Namun, yang paling nyaring adalah teriakan khas masyarakat Papua sebagai tantangan perang.
Selanjutnya kondisi chaos. Polisi menyerbu massa aksi dan memukulinya dengan tangan kosong maupun memakai tongkat panjang. Massa terpukul mundur, lalu membubarkan diri setelah sempat menutup orasi siang hari itu, Selasa (9/12/2014).
Di Yogyakarta, yang selalu bangga dengan jargon “istimewa” dan “nyaman”, tindakan rasialis kepada para pendatang dari Papua dan/atau Papua Barat tak hanya dilakukan oleh aparat keamanan. Di kehidupan sehari-hari, masyarakat sipil juga bertindak serupa, tetapi dengan tindakan yang lebih beragam karena persinggungan keduanya lebih intens di kehidupan sehari-hari.
Bagaimana Stereotip Bekerja
Akar permasalahannya klasik: stereotip. Persoalan ini kemudian memancing penulis untuk menelaahnya sebagai bagian dari tugas akhir penelitian di akhir tahun 2015. Subjek penelitiannya adalah lima mahasiswa asal Papua perwakilan dari Asrama Mahasiwa Deiyai yang terletak di Dusun Tegalwaras RT 05 RW 29, Sariharjo, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta.
Asrama Deiyai adalah asrama tempat tinggal mahasiswa yang dibangun pemerintah kabupaten Deiyai. Model asrama ini ada banyak di Yogyakarta, bahkan hampir setiap kabupaten di Papua dan/atau Papua Barat memilikinya. Satu Asrama Deiyai saja ada 12 penghuni. Ditambah keterangan dari Ketua DPRD Yogyakarta Yoeke Indra Agung Laksana yang menyebut ada 31 asrama mahasiswa Papua (lensapapua.com). Jika satu asrama memiliki 10 orang saja, maka sudah ada lebih dari 300 mahasiswa Papua di Yogyakarta. Ini belum ditambah mereka yang memilih indekos atau menyewa rumah kontrakan.
Faktanya, mereka adalah satu elemen pendatang di Yogyakarta, sama seperti mereka yang dari seluruh daerah di Indonesia untuk menuntut ilmu. Mengapa mereka terus mendapat sikap rasialis yang berujung pada diskriminasi, intoleransi, maupun pelanggaran HAM, hanya karena mereka berkulit gelap, berhidung pesek, dan berambut keriting khas masyarakat Melanesia?
Kelima responden penelitian penulis bercerita panjang tentang pengalaman diskriminatif plus rasialis yang mereka terima saat awal kedatangannya ke Yogyakarta untuk menuntut ilmu. Kelimanya mengalami pengalaman yang menjadi tren dan diterima banyak mahasiswa Papua: ditolak tinggal di kos baru meski di depan gerbang jelas-jelas dipasang tawaran “terima kos putra/putri”.
Mereka juga kenyang akan sikap diksiminatif dengan bentuknya yang beragam di tempat lain. Ada yang ditolak di sebuah rental penyewaan sepeda motor, ada yang diusir oleh pemilik penyewaan tempat tinggal tanpa alasan yang jelas, ada yang dipersulit saat mengurus KTP (hingga menggagalkan partisipasi responden dalam Pemilu 2014) dan SIM (tapi tetap ditilang saat ada razia kendaraan bermotor), tak dilayani dengan baik saat mengurus administrasi kampus, ditodong harga barang yang lebih mahal, hingga dikeroyok orang sampai meninggal tanpa sebab yang jelas saat sedang nongkrong kawasan Malioboro tanpa ada pengusutan lebih lanjut atas kasus tersebut dari pihak kepolisian.
Sesuai dengan konteks masing-masing kejadian, akar penyebabnya lagi-lagi atas dasar stereotip yang klasik: karena mereka orang Papua.
Dalam kacamata para responden—yang juga menjadi kegelisahan para pendatang asal Papua lain di Yogyakarta—mereka adalah korban sterotip yang cara kerjanya sama sejak zaman baheula: generalisasi. Satu-dua atau beberapa orang melakukan suatu hal (A), maka orang lain yang memiliki ciri-ciri fisik sama (B) diasumsikan (dengan kuat) melakukan hal yang sama (A).
Tradisi berfikir dan bersikap ini kemudian lestari dan mengendap di alam bawah sadar banyak orang, dan sesekali atau sering diluapkan saat menghadapi orang dari golongan B, meskipun ia tak melakukan A. Sebab begitulah rumusnya: "Kelakuan Anda pasti sama dengan teman-teman Anda."
Secara otomatis, para responden Asrama Deiyai mendapat beragam stereotip negatif yang menempel kepada orang Papua yang tinggal di Yogyakarta: suka bikin onar/ribut/tak kondusif, tukang mabuk alias peminum-minuman keras/beralkohol, tukang main perempuan, tak taat peraturan lalu lintas, tak membayar makanan yang dibeli di warung, jarang mandi (bau), yang intinya menyempit ke penilaian bahwa orang Papua itu tak lebih beradab (civilized) dibanding yang lainnya.
Daftar stereorip tersebut tentu ditolak mentah-mentah oleh para responden karena mereka (dan banyak mahasiswa Papua lain) bukan bertindak sebagai pelaku. Mereka kemudian mempertanyakan balik, “Banyak orang yang berlaku demikian, bahkan orang Yogya sendiri, tetapi mengapa tak muncul stereotip yang sama?”
Jawabannya adalah struktur relasi yang ada di Yogyakarta: orang-orang Papua adalah minoritas.
Omong Kosong (Praktik) Multikulturalisme di Yogyakarta
Diversitas masyarakatnya yang dijejali banyak elemen pendatang dari hampir seluruh provinsi di tanah air membuat Yogyakarta sejak lama didaulat sebagai “miniatur Indonesia”. Agar mampu mengelola masyarakat dengan tingkat keberagaman yang tinggi itu, para pemangku kekuasaan di Kota Pendidikan itu berusaha mempraktikkan kebijakan berlandaskan semangat multikulturalisme.
Sultan Hamengku Buwono X menguraikan dengan gamblang di buku “Merajut Kembali Keindonesiaan Kita” bahwa dalam Indonesia baru berbasis multikulturalisme adalah saat warganya mempunyai toleransi terhadap perbedaan-perbedaan karena adanya kesetaraan derajat kemanusiaan dan saling menghormati.
Pemikiran serupa tercermin dalam pemikiran Herry Zudianto selaku mantan Walikota Yogyakarta selama 2 periode (2001-2006 dan 2006-2011) dalam bukunya yang berjudul “Kekuasaan sebagai Wakaf Politik: Manajemen Yogyakarta Kota Multikultur”. Ia memaparkan bahwa sejak berdiri di tahun 1756 Kota Gudeg tumbuh menjadi kawasan yang amat plural, namun bisa terbuka, inklusif, dan toleran bagi kultur yang lain.
Multikulturalisme dalam definisi Parsudi Suparlan, antropolog Universitas Indonesia, adalah sebuah ideologi yang menekankan pengakuan dan penghargaan pada kesederajatan atas perbedaan kebudayaan. Tercakup dalam pengertian kebudayaan adalah para pendukung kebudayaan, baik secara individual maupun secara kelompok, dan terutama ditujukan terhadap golongan sosial askriptif yaitu, suku bangsa (dan ras), gender, dan umur.
Ideologi multikulturalisme ini secara bergandengan tangan saling mendukung dengan proses-proses demokratisasi, yang pada dasarnya adalah kesederajatan pelaku secara individual (HAM) saat berhadapan dengan kekuasaan dan komunitas atau masyarakat setempat. Maka ada dua syarat mutlak saat ide ini dipraktikkan dalam sikap, yakni berlandaskan semangat kesetaraan dan keadilan.
Tanpa keduanya, masyarakat Yogya yang multikultur akan selalu dipenuhi pertentangan antar elemen yang mendaku diri sebagai mayoritas dengan mereka yang minoritas dan terus-menerus didera praktik diskriminasi. Bahkan sebelum turun menjadi tindakan, ketidak-adilan dan ketidak-setaraan itu sudah terpupuk dengan baik sejak dalam pikiran.
Pandangan Will Kymlicka dalam “Multicultural Citizenship” memaparkan politik multikulturalisme diartikan sebagai politik tentang hak-hak minoritas. Kymlica sejalan dengan pemikiran Clifford Geerzt bahwa problem kelompok-kelompok etnis atau kultural dan kelompok sosial adalah sebab mereka dieksklusi atau dimarjinalisasi dari problem mayoritas semata-mata karena “keberlainan” mereka.
Di banyak tempat, tak hanya Yogyakarta, posisi mayoritas dan minoritas sering dalam struktur yang timpang. Akibatnya, minoritas yang kalah jumlah sering pula menjadi korban keganasan mayoritas yang tak hanya menang jumlah namun juga modal kuasa. Mereka mendominasi, sehingga cenderung menguasai. Tinggal menggunakan label seperti “separatis” atau “meresahkan” kepada sekelompok minoritas, mereka punya legitimasi bertindak represif—jika didukung momen yang tepat.
Bagaimana multikulturalisme bisa terwujud di Yogyakarta jika sang Sultan yang sering sebagai mengaku bapak dari setiap mahasiswa pendatang itu tak menunjukkan sikap tegas saat aparat kepolisian dan ormas-ormas intoleran di daerah istimewanya rajin bersikap rasis dan represif kepada anak-anaknya?
Di akar rumput, sesuai hasil penelitian penulis, masyarakat sipil Yogyakarta yang juga rasis dan diskriminatif sejak dalam pikiran apalagi perbuatan masih banyak ditemui. Jika muncul bentrok, seperti kasus di Asrama Mahasiswa Papua belakangan ini, biasanya diikuti kemunculan wacana untuk mengusir para pendatang asal Papua. Gerakan dengan semangat yang serupa saat kaum Anglo-Saxon kulit putih berusaha mengusir orang-orang Indian di Amerika Serikat, atau paksaan berasimilasi saat orang-orang kulit putih tersebut telah berkuasa sebagai mayoritas.
Jika kondisi ini terus-menerus terjadi, bukan hanya ide multikulturalisme yang indah itu berakhir jadi omong kosong belaka, tetapi slogan pencitraan daerah istimewa juga perlu diubah:
“Jogja Berhenti Nyaman”
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti