tirto.id - Setelah terjadi kasus penolakan terhadap pendatang di sebuah padukuhan di Kabupaten Bantul Yogyakarta, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan HB X mengeluarkan instruksi kepada bupati/wali kota tentang pencegahan konflik sosial.
Instruksi Gubernur DIY Nomor 1/INSTR/2019 itu ditetapkan Sri Sultan HB X pada 4 April 2019. Instruksi ditujukan untuk seluruh bupati dan wali kota yang ada di Yogyakarta.
Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Yogyakarta Gatot Saptadi mengatakan, dalam intruksi tersebut ada tiga hal yang menjadi inti yang harus dilaksanakan oleh bupati/wali kota.
"Yang pertama adalah pencegahan terkait dengan potensi konflik sosial. Pencegahan dulu ya artinya ini bupati/wali kota harus bisa mengemas bagaimana mencegah tidak terjadi hal (diskriminasi/intoleran) seperti itu," kata Gatot saat menggelar jumpa pers di Kantor Kepatihan Yogyakarta, Jumat (5/4/2019).
Yang kedua, bupati/wali kota diperintahkan menggambil langkah yang cepat dan tegas apabila sudah terjadi diskriminasi atau intoleransi di wilayah.
"Kalau kita belajar dari kemarin kan kejadiannya sudah berlangsung, publik sudah mengetahui tetapi langkah-langkahnya agak terlambat," kata dia.
Sementara yang ketiga, adalah perlu melakukan penertiban regulasi yang beredar di masyarakat di level yang paling bawah yang menyalahi ketentuan legal administrasi dan hukum di Indonesia.
"Jangan kearifan lokal dijadikan senjata untuk segala sesuatu bisa [diatur]. Kearifan lokal tetap berpegang pada NKRI, pada Pancasila dengan Bhineka Tunggal Ika dan UUD 45, itu di Indonesia harus kita pegang itu semua," jelasnya.
Di samping tiga poin utama itu, dalam intruksi tersebut terdapat delapan poin yang yang harus dilaksanakan oleh bupati/wali kota.
Delapan aturan itu di antaranya adalah pertama, melakukan pembinaan dan pengawasan dalam rangka mewujudkan kebebasan beragama, beribadah menurut agama dan keyakinannya, memilih pendidikan dan pengajaran dan bertempat tinggal.
Kedua, melakukan upaya mencegah praktik diskriminasi dan menjunjung tinggi sikap saling menghormati serta menjaga kerukunan hidup beragama dan aliran kepercayaan.
Ketiga, melakukan upaya pencegahan dengan merespons secara cepat dan tepat semua permasalahan di dalam masyarakat yang berpotensi menimbulkan intoleran dan/atau potensi konflik sosial guna mencegah lebih dini tindak kekerasan.
Keempat, meningkatkan efektivitas pencegahan potensi intoleran dan/atau potensi konflik sosial, secara terpadu, sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing berdasarkan peraturan perundangan.
Kelima, mengambil langkah cepat, tegas, tepat, dan proporsional berdasarkan peraturan perundang-undangan dan menghormati nilai-nilai hak asasi manusia untuk menghentikan segala bentuk tindak kekerasan akibat intoleransi dan/atau potensi konflik sosial.
Keenam, menyelesaikan berbagai permasalahan yang disebabkan oleh SARA dan politik yang timbul dalam masyarakat dengan menguraikan dan menuntaskan akar masalahnya.
Ketujuh, melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan penanganan konflik sosial sebagaimana diatur dalam Peraturan Gubernur DIY Nomor 17 tahun 2015 tentang Penanganan Konflik Sosial, Kepada Organisasi Perangkat Daerah, Kepala Desa Sampai Dengan Masyarakat di lingkungan Kabupaten/Kota.
Kedelapan, agar setelah bentuk keputusan atau kebijakan di tingkat kabupaten/kota dan di bawahnya di sesuaikan dengan Instruksi Gubernur ini.
"Setelah instruksi ini mestinya bupati/wali kota segera mengeluarkan kebijakannya. Koordinasi dengan aparat di bawahnya untuk sesuai dengan instruksi. [Intruksi] ini kuat, ini perintah. Artinya kalau dilanggar ya sanksi. Perintah gubernur kepada bupati/wali kota artinya harus dilaksanakan," pungkas Gatot.
Sebelumnya, terjadi kasus penolakan terhadap salah seorang warga Yogyakarta yang akan bermukim di Dukuh Karet bernama Slamet Jumiarto beragama Kristen. Ia ditolak warga setempat karena terdapat aturan di tingkat Padukuhan yang menyebutkan pendatang harus beragama Islam.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno