Menuju konten utama

Temuan Intoleransi di Yogya, Sultan: Tidak Diproses Jika Tak Lapor

Sultan mengaku belum tahu soal temuan intoleransi dari Kevikepan, tapi jika hal itu ingin diproses maka harus lapor polisi.

Temuan Intoleransi di Yogya, Sultan: Tidak Diproses Jika Tak Lapor
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan HB X memberikan keterangan kepada wartawan di Balai Kota Yogyakarta, Kamis (20/12/2018). (tirto.id/Irwan A. Syambudi)

tirto.id - Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X menanggapi temuan Tim Komisi Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KKPKC) Kevikepan Yogyakarta yang menyebut telah terjadi intoleransi dalam insiden pemotongan nisan salib.

"Saya tidak tahu itu [hasil temuan KKPKC]. Nanti dianggap prasangka malah saya keliru," kata Sultan kepada wartawan di Balai Kota Yogyakarta, Kamis (20/12/2018).

Namun demikian jika temuan tersebut betul, Sultan menyebut harus ada laporan ke polisi agar ditindaklanjuti.

"Kalau temuan, tapi tidak ada report [laporan] polisi tidak bisa memproses," ujarnya.

"Lho lha iya to [harus laporan ke polisi]," tegas Sultan.

Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti mengaku belum pernah mendengar atau mendapatkan laporan terkait intimidasi terhadap keluarga almarhum Albertus Slamet Sugihardi, yang nisan salibnya digergaji.

"Kita bicara kondisi sekarang, bahwa dua tahun lalu ada intimidasi dan sebagainya, saya rasa di wilayah saya tidak mendengar hal itu. Kalau fakta ya fakta yang sekarang tidak yang lalu. Nanti jadi persoalan yang lebih membesar," katanya.

Sementara itu ketua RW 13 Kelurahan Purbayan, Selamet Riyadi membantah jika pernah ada aksi intimidasi sekelompok orang terhadap keluarga almarhum Albertus Slamet. "Tidak ada [intimidasi]," kata dia.

Pun dengan kelompok tertentu yang dinilai radikal ataupun ekstremis menurut Selamet tidak ada di wilayahnya.

Hal demikian juga diungkapkan Bejo Mulyono, yang dianggap "tokoh masyarakat" Purbayan. Berkali-kali saat ditanya mengenai peristiwa intimidasi yang pernah terjadi kepada keluarga almarhum, Bejo hanya mengatakan "tidak ada dan tidak tahu".

Apa yang dikatakan Bejo ini bertolak belakang terhadap apa yang ia ungkapkan sebelumnya saat ditemui reporter Tirto, Selasa (18/12/2018). Ia mengatakan pemotongan salib dan larangan misa arwah itu dilakukan untuk "menghindari konflik."

Bejo mengklaim, rumah Slamet pernah didatangi warga karena menggelar sembahyang lingkungan. Bejo mengaku saat itu ia meredakan amarah warga dan meminta warga Katolik untuk tidak lagi menggelar sembahyang di kampung.

Sebelumnya Ketua KKPKC Kevikepan Yogyakarta Agus Sumaryanto mengungkapkan hasil pencarian fakta yang pihaknya lakukan setelah peristiwa pemotongan nisan salib.

"Menurut cerita dari keluarga almarhum sekitar dua tahun yang lalu. Waktu itu bulan puasa, tahu-tahu disuruh membubarkan kor Menurut keterangan yang masuk [rumah] itu membawa pedang dan pentungan, semua yang ada di situ seperti patung, salib, meja, apapun di dalam rumah itu dipukul dirusak," kata dia, Rabu (19/12/2018) malam.

Kejadian itu berlanjut pada waktu berikutnya ketika di rumah keluarga almarhum sedang ada doa adven. Mereka diminta untuk membubarkan doa.

"Bu Slamet [istri almarhum] dipanggil ketua RT diberitahu bahwa anak-anak [masa] di luar sudah siap, sehingga doa harus dibubarkan," kata Agus.

Seketika itu kemudian Bu Slamet pulang dan meminta agar doa berhenti. Semuanya bubar kemudian lampu rumah dimatikan.

"Pak Slamet dan Bu Slamet itu berada di dekat pintu melihat keluar anak-anak [masa] membawa jeriken. Menurut keterangan Pak RT mau membakar rumah kalau tidak berhenti [berdoa]," ungkapnya.

Lanjutnya lagi aksi intimidasi yang menjurus pada tindak kekerasan itu dilakukan oleh kelompok tertentu. Kelompok itulah kata dia yang menggerakkan masa dari luar untuk melakukan aksi tersebut.

Hal ini diperkuat oleh jemaat lain yang berada di lingkungan tersebut yang telah dimintai keterangan oleh Agus. Berdasarkan keteranganya memang terdapat kelompok tertentu yang melakukan aksi intoleran.

Sementara untuk warga sekitar kata Agus malah cenderung menerima keluarga almarhum dengan baik.

"Masyarakat sekitar dengan [almarhum] Pak Slamet bagus. [Pak Slamet] pernah membawa kor juara di tingkat kecamatan. Bu Slamet Ketua kelompok Dasawisma. Ini semua sudah terjadi bertahun-tahun," katanya.

Sementara itu menyikapi temuan di lapangan, pihaknya akan melakukan sejumlah langkah. Pertama akan melakukan pendampingan terhadap keluarga.

Kedua pihak meminta aparat keamanan untuk bersungguh-sungguh melakukan perlindungan. "Aparat keamanan harus bisa melindungi warga masyarakatnya. Polisi mesti melindungi mereka," kata dia.

Baca juga artikel terkait KASUS INTOLERANSI atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Dipna Videlia Putsanra