Menuju konten utama
Penolakan Warga Non-Muslim

Soal Kasus Slamet, SETARA: Aturan yang Legalkan Intoleransi Dihapus

Pemerintah baik pusat maupun daerah diminta lebih tegas terkait aturan permukiman warga yang memuat eksklusi sosial berdasar agama seperti kasus Slamet Jumiarto yang ditolak warga Dukuh Karet, Bantul, DIY.

Soal Kasus Slamet, SETARA: Aturan yang Legalkan Intoleransi Dihapus
Slamet Jumiarto pendatang baru yang ditolak warga RT 08, Padukuhan Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Yogyakarta karena merupakan non muslim, Selasa (2/4/2019). tirto.id/Irwan A. Syambudi.

tirto.id - Pemerintah baik pusat maupun daerah diminta lebih tegas terkait aturan permukiman warga yang memuat eksklusi sosial berdasar agama.

Hal ini diungkapkan Direktur Riset SETARA Institute Halili menanggapi penolakan satu keluarga di Dusun Karet Pleret, Bantul, DI Yogyakarta karena berbeda agama dengan penduduk setempat.

"Aturan-aturan ini nyata-nyata mendorong eksklusi sosial, melegalisasi intoleransi, melanggar hak dan mengakibatkan luka moral [moral injury] atas minoritas, khususnya minoritas keagamaan," ujar Halili melalui pers rilis kepada Tirto, Rabu (3/4/2019).

SETARA Institute mendesak pemerintah agar menghentikan eksklusi terhadap minoritas, dengan melakukan tindakan yang progresif untuk mengatasi regulasi lokal yang diskriminatif.

"Belajar dari kasus Pleret Bantul, pemerintah juga harus memberikan perhatian terhadap pemukiman-pemukiman eksklusif yang menciptakan segregasi sosial berdasarkan agama seperti di Dusun Karet. Dusun Karet bukan gejala unik," jelas Halili.

Menurutnya, dalam perkembangan kontemporer, banyak sekali pemukiman yang eksklusif dalam bentuk perumahan-perumahan berdasarkan agama tertentu. Di dalam iklim kemerdekaan, perumahan eksklusif berdasarkan agama tertentu merupakan kemunduran peradaban yang memuat kontra narasi atas kemajemukan.

Fenomena ini akan menutup ruang perjumpaan antar identitas yang berbeda dan menebalkan kekhawatiran, kecurigaan, ketakutan dan keterancaman dalam melihat identitas yang berbeda.

"Pemerintah harus segera mengikis terjadinya segregasi sosial semacam itu dengan menolak perizinan perumahan yang eksklusif berdasarkan identitas agama sebab berpotensi merusak kebinekaan Indonesia," pungkas Halili.

Sebelumnya, Slamet Jumiarto dan keluarga sempat ditolak oleh perangkat Rukun Tetangga (RT) 8 dan warga Dusun Karet Desa Pleret Kecamatan Pleret Kabupaten Bantul karena yang bersangkutan non-Muslim, namun akhirnya diperbolehkan tinggal di dusun tersebut.

Bahkan aturan yang memuat eksklusi sosial atas non-muslim dari dusun tersebut, yaitu Surat Keputusan Nomor 03/POKGIAT/Krt/Plt/X/2015 tentang Persyaratan Pendatang Baru di Dusun Karet, akhirnya dicabut.

Meskipun sebenarnya secara substantif SK tersebut harus batal demi hukum, karena muatannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, sesuai dengan asas hukum lex superior derogat legi inferiori. Hukum yang lebih tinggi mengalahkan hukum yang lebih rendah.

SETARA Institute memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada Bupati Bantul Suharsono yang langsung mengecam dan meminta aturan diskriminatif di Dusun Karet tersebut dicabut. Standing position Bupati Bantul ini bukan sikap pertama yang menunjukkan kuatnya perspektif toleransi.

Baca juga artikel terkait KASUS INTOLERANSI

tirto.id - Hukum
Sumber: Siaran Pers
Penulis: Maya Saputri
Editor: Yulaika Ramadhani