tirto.id - Kahar Muzakkar adalah legenda Sulawesi Selatan. Belasan tahun dia bergerilya melawan pemerintahan Sukarno. Tak satu pun panglima tangguh yang ditempatkan di Sulawesi Selatan mampu menghentikan perlawanannya sebelum 1965.
Faktanya bukan jenderal atau kolonel—sekelas Gatot Subroto atau Alex Kawilarang—yang membuat Kahar berhenti melawan pemerintah. Melainkan seorang kopral bernama Ili Sadeli. Setelah Kahar terbunuh, Ili Sadeli menerima Bintang Sakti—tanda kehormatan untuk mereka yang berani melebihi kewajiban dalam tugas operasi militer.
Sebagai imam DI/TII, Kahar memiliki banyak istri. Suzanna Corry van Stenus, yang blasteran Belanda-Klaten, adalah istri Kahar yang paling terkenal. Corry adalah istri keduanya. Sewaktu Kahar bergerilya di hutan, Corry ikut serta. Corry dinikahi pada 1947 atau ketika Kahar terlibat revolusi kemerdekaan di Jawa, sebelum dia kembali lagi ke Sulawesi Selatan dengan predikat Panglima Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) yang dilekatkan oleh pengikutnya.
Istri pertama Kahar, yang dinikahi di Solo sebelum 1938, sudah diceraikannya pada 1950 setelah melahirkan enam anak.
Selain pernah menikahi Corry van Stenus, Kahar setidaknya menikahi Siti Hami, perempuan kaya raya yang punya kebun kopra; Siti Habibah, janda panglima perangnya; dan Andi Halia, putri bangsawan Luwu. Andi Halia adalah cucu dari Datu Luwu Andi Djemma, Raja Luwu yang mendukung kemerdekaan Indonesia dan termasuk giat menentang Belanda datang kembali ke tanah Luwu setelah 1945. Mereka dinikahi Kahar sewaktu bergerilya.
Dari Corry, lahirlah Buhari Kahar Muzakkar. Dari Siti Habibah, Kahar punya Azis Qahhar Muzakkar. Dan dari Andi Halia, lahir Andi Mudzakkar alias Cakka.
Meski Kahar Muzakkar sudah dinyatakan terbunuh pada awal 1965, tetapi sosoknya masih diingat oleh orang-orang di sekitar Luwu. Kahar sendiri jelas orang Luwu. Ia lahir di desa Lanipa pada 1921. Anak keturunannya sangat dihormati oleh masyarakat. Tak heran mereka cukup diperhitungkan dalam pemilihan kepala daerah yang baru selesai Rabu kemarin, 27 Juni 2018.
Dalam dunia legislatif, Azis Qahhar bukan anggota parlemen sembarangan. Sudah tiga kali Aziz terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mewakili Sulawesi Selatan. Dalam pemilihan anggota legislatif, dia mendapat satu juta suara.
Petualangan politik Azis terus mengembara dalam setiap Pilgub Sulawesi Selatan. Pada 2007, ia mencalonkan diri sebagai gubernur, berpasangan dengan Mubyl Handaling. Pada 2013, ia jadi calon wakil gubernur, berpasangan dengan Ilham Arief Sirajuddin. Ia kalah dalam kedua pilgub tersebut.
Sementara Andi Mudzakkar atau akrab disapa Cakka adalah Bupati Luwu selama dua periode. Tahun ini, sebagaimana saudaranya, ia bersaing dalam Pilgub Sulsel.
Peta Persaingan Dua Putra Kahar Muzakkar
Mereka maju menjadi kandidat calon gubernur. Azis merapat ke Nurdin Halid, politikus sohor nan bercela dalam sepak bola Indonesia, diusung oleh Golkar, NasDem, Hanura, PKB, dan PKPI. Sementara Andi Mudzakkar digandeng oleh adinda Ichsan Yasin Limpo, mantan Gubernur Sulawesi Selatan, melalui jalur independen.
Mereka bersaing dengan pasangan Nurdin Abdullah-Andi Sudirman Sulaiman (PDIP, PAN, dan PKS) serta Agus Arifin Nu'mang-Tanribali Lamo (Gerindra, PBB, dan PPP).
Kubu Nurdin Halid agaknya menganggap perolehan sejuta suara Azis dalam pemilihan legislatif bisa menjadi modal penting dalam pilgub kali ini. Sebagai ustaz, di masa-masa ekspresi Islam begitu menggebu-gebu beberapa tahun terakhir ini, Azis dianggap mampu menjadi faktor penting pendulang suara bagi kubu pasangan Nurdin Halid-Azis Qahhar Muzakkar.
Meski kubu Nurdin Halid-Azis Muzakkar yakin bakal menang, begitu juga tim sukses Ichsan Limpo-Andi Mudzakkar. Tetapi, hasil perhitungan cepat dari beberapa lembaga survei memperlihatkan sebaliknya: pasangan Nurdin Halid-Azis Muzakkar dan pasangan Ichsan Limpo-Andi Mudzakkar berada di bawah pasangan Nurdin Abdullah-Andi Sudirman.
Data dari Lingkaran Survey Indonesia (LSI) menyebutkan pasangan Nurdin Halid-Azis Muzakkar memperoleh 27,7 persen suara; Agus Arifin Nu’mang-Tanribali Lamo hanya memperoleh 10,33 persen suara; Ichsan Yasin Limpo-Andi Mudzakkar hanya memperoleh 17,24 persen suara; dan pemenangnya, Nurdin Abdullah-Andi Sudirman, memperoleh 45,73 persen suara.
Kemenangan kedua putra Kahar Muzakkar hanya diraih di antaranya di daerah Luwu Raya, yang dianggap basis anak-anak Muzakkar. Di sana Nurdin Halid-Azis Muzakkar memperoleh 38,57 persen suara, sementara Ichsan Limpo-Andi Mudzakkar mendapat 25,94 persen. Tapi, toh itu tidak menyelamatkan total suara mereka.
Mereka keok, salah satunya, di Tana Toraja dan Toraja Utara. Daerah ini dihuni mayoritas pemilih Kristen, yang pernah jadi sasaran gangguan dan Islamisasi oleh gerombolan yang terkait Kahar Muzakkar pada era 1950-1960-an.
Di daerah Toraja itu, pasangan yang berhasil mendulang suara terbanyak adalah Nurdin Abdullah-Andi Sudirman. Mereka meraih 61,83 persen suara. Pasangan Nurdin Halid-Azis Muzakkar cuma dapat 18,32 persen, dan Ichsan Limpo-Andi Mudzakkar hanya 13,85 persen suara. Sementara pasangan Agus Nu’mang-Tanribali Lamo cuma dapat 6,00 persen suara.
Agaknya trauma para korban gerombolan era warlord 1950-an yang terkait Kahar Muzakkar masih menghinggapi Tana Toraja dan Toraja Utara. Pilihan Ichsan Limpo dengan menjadikan Andi Mudzakkar sebagai pasangannya, ujar seorang akademisi di Kota Makassar, adalah "kesalahan fatal."
Sumber lain menjelaskan kepada saya bahwa orang-orang di sekitar Tana Toraja—yang pernah jadi korban—masih trauma ketika mengingat masa-masa gerombolan DI/TII. Mereka ngeri mendengar derap sepatu lars pasukan gerombolan.
Bagaimanapun, orang-orang tua yang tinggal di daerah sekitar area gerilya masih ingat kekejaman para gerombolan yang terkait Kahar Muzakkar, betapapun mereka barangkali tak pernah melihat langsung wajah Kahar Muzakkar bahkan fotonya sekalipun pada tahun 1950-an.
Cerita kekejaman gerombolan terkait Kahar itu tak hanya dipendam sendiri oleh para tetua. Keturunan mereka pun sudah mengetahuinya dengan baik. Trauma atas Kahar pun berlanjut hingga kini.
Pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan 2018 memberikan bukti bahwa pengaruh Kahar Muzakkar dalam dunia politik hanya dominan di daerah tertentu.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Rio Apinino