tirto.id - Usulan Badan Legislatif (Baleg) DPR RI agar pemilihan kepala desa (pilkades) dilaksanakan lewat mekanisme partai politik (parpol) menunjukkan pemahaman dangkal anggota dewan. Dalih bahwa pemilihan kades rawan konflik dan sering menimbulkan korban jiwa tampak jadi pembenaran yang dipaksakan. DPR dinilai cuma memperkeruh jalannya pemerintahan desa yang hingga saat ini masih sering tersandera masalah netralitas, saat pemilu dan pilkada.
Peneliti Indonesian Parliamentary Center (IPC), Arif Adiputro, menyatakan usulan ini akan membuat parpol menggeser kepentingan masyarakat desa dan mengundang praktik politik praktis yang lebih agresif di level akar rumput. Misalnya berupa kampanye besar-besaran yang bakal menarik sumber daya lebih intensif.
“Hal ini juga bisa menimbulkan polarisasi di masyarakat desa, yang pada akhirnya memperkeruh proses demokrasi yang seharusnya berjalan secara mandiri dan independen dari pengaruh politik nasional,” kata Arif kepada reporter Tirto, Senin (4/11/2024).
Jika usulan ini dilakukan, kepala desa dan perangkat desa otomatis terlibat dalam politik praktis sehingga mencederai prinsip netralitas yang diatur Undang-Undang Desa. Masuknya parpol dalam pemilihan kepala desa cuma membuat kepala desa dan perangkatnya lebih loyal terhadap institusi partai daripada masyarakat yang mereka layani.
Usulan ini memicu konflik kepentingan dalam pengambilan keputusan. Apalagi saat program desa berpihak pada golongan tertentu dan jadi sejalan dengan kemauan parpol pengusung kepala desa. Akibatnya, kata Arif, potensi perpecahan atau ketidakpuasan publik terhadap pemerintahan desa akan semakin meningkat. Pada akhirnya parpol semakin memperkeruh jalannya pemerintahan desa.
Arif menilai, mencegah konflik akibat residu pemilihan kades tidak perlu dengan memasukan parpol ke sistem demokrasi desa. Pemerintah bisa melakukan langkah-langkah peningkatan pengawasan dan penguatan prosedur pemilihan dengan membentuk tim khusus.
Tim ini bekerja untuk memantau dan mengawasi jalannya pilkades guna memastikan pemilu yang adil, transparan, independen, dan sesuai aturan. Edukasi dan kesadaran masyarakat desa juga penting dilakukan dengan melakukan sosialisasi untuk memperkuat pemahaman.
“Tentang pentingnya demokrasi lokal dan memilih berdasarkan kemampuan serta komitmen calon dalam memajukan desa, bukan berdasarkan afiliasi politik,” ucap Arif.
Diwartakan sebelumnya, Wakil Ketua Baleg DPR RI, Ahmad Doli Kurnia, mengusulkan pemilihan kades lewat sistem diusung partai politik. Hal ini akan menjadikan pilkades sama dengan mekanisme pemilu dan pilkada. Dalih Doli, pemilihan kepala desa sejatinya lebih brutal ketimbang pemilihan kepala daerah dan Pilpres.
“Kalau bicara tentang korban jiwa pemilihan dan korban jiwa lebih banyak korban jiwa pemilihan di desa dibandingkan dengan pileg, pilkada dan seterusnya," klaim Doli saat rapat Baleg DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (31/10/2024).
Politikus dari Fraksi Partai Golkar itu mengusulkan supaya mekanisme pemilihan kades ikut dibahas dalam agenda revisi delapan paket UU melalui mekanisme Omnibus Law. Usulan membentuk beleid sapu jagat bidang politik dan pemilu ini memang tengah nyaring di DPR.
Doli memandang pemilihan kades dalam praktiknya sudah menerapkan sistem kepartaian. Meski tidak didukung partai politik secara resmi, namun tidak menutup praktik sokongan dari parpol-parpol di belakang calon kades.
“Padahal, pencalonan mereka pakai partai, pak, cuma bedanya partai nangka, partai pepaya, partai kambing, tapi partai juga. Artinya mekanisme dan sistem kepartaian itu sebetulnya sudah masuk ke pemilihan kepala desa,” tutur Doli.
Larangan aparatur desa ikut dalam berpolitik praktis sudah tertuang dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pada Pasal 29 huruf (g) disebutkan bahwa kepala desa dilarang menjadi pengurus parpol. Adapun di poin (j), kepala desa dilarang untuk ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye Pemilu dan/atau Pilkada.
Hal ini juga ditegaskan dalam rezim hukum pemilu dan pilkada. Kepala desa dan perangkat pemerintahan desa dilarang politik praktis, sebagaimana tertuang di Pasal 280, Pasal 282, dan Pasal 494 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Sanksi yang dikenakan jika aparatur desa terbukti melakukan politik praktis, dapat berupa sanksi pidana penjara hingga denda. Mereka juga dapat dipecat dari jabatannya jika terbukti melanggar aturan netralitas pemilu dan pilkada.
Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menilai usulan sistem parpol dalam pemilihan kades sebetulnya menegaskan praktik kotor yang selama ini terjadi dalam pelaksanaan pilkades. Pemilihan kades yang seharusnya menjadi contoh laboratorium pemilihan umum demokratis, justru diganggu oleh permainan penuh kepentingan oleh parpol.
“Jangan-jangan permainan parpol ini yang menjelaskan kenapa selama ini pemilihan kades menjadi pertarungan panas dengan modal yang kadang-kadang di luar batas kemampuan calon kepala desa,” ucap Lucius kepada reporter Tirto, Senin (4/11).
Lucius melihat dampak pelibatan parpol di pemilihan kades bisa merusak praktik demokrasi yang menghubungkan calon kades dengan pemilih. Praktik pemilu nasional yang dilakukan parpol saat ini justru membuat pemilihan kades jadi ajang persaingan yang tidak sehat dan tidak demokratis. Dengan begitu, usulan ini jelas langkah mundur dan cenderung sesat.
DPR seharusnya mendukung pilkades yang independen tanpa campur tangan elite politik. Biarkan warga dengan semangat gotong royong menjalani pilkades untuk mencari sendiri sosok panutan sekaligus pemimpin desa. Keinginan DPR terlibat di pilkades, kata Lucius, adalah mimpi buruk praktik demokrasi di tingkat desa.
Pasalnya, parpol sendiri di level pemilu nasional selalu gagal membuktikan diri sebagai pilar demokrasi. Jika parpol dibiarkan masuk pilkades, maka kerawanan konflik justru berpotensi semakin nyata.
“Hidup rakyat desa dipertaruhkan oleh permainan politik parpol yang sama sekali tak dipahami rakyat pedesaan,” ungkap Lucius.
Bukan Solusi Konflik Desa
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Annisa Alfath, menyatakan pilkades seharusnya murni datang dari keterlibatan masyarakat dan calon independen yang mewakili aspirasi langsung warga. Hal ini ideal tanpa intervensi politik partai yang cenderung membawa agenda khusus.
Formalisasi peran parpol dalam pemilihan kades berpotensi memantik polarisasi yang kuat antara warga. Hal ini dapat memunculkan ketegangan yang tidak perlu akibat masyarakat terbagi berdasarkan afiliasi parpol.
“Seharusnya Pilkades dijaga agar tetap sederhana dan fokus pada kebutuhan lokal desa, tidak dibawa ke ranah kepentingan politik yang lebih besar yang sering kali tidak relevan dengan konteks dan kebutuhan desa,” kata Nisa kepada reporter Tirto, Senin (4/11).
Selain itu, masuknya parpol tidak serta-merta menjadi solusi atas kerawanan konflik di desa. Justru, kata Nisa, parpol sering kali mengantongi kepentingan eksternal yang tidak sejalan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat desa. Praktik ini yang kerap memantik konflik di pemilihan kades.
Di banyak kasus, konflik pilkades bersumber dari perbedaan pandangan antara calon atau kelompok pendukung. Menurut Nisa, hal ini dapat dikelola lewat kehadiran dialog komunitas atau mediasi lokal.
Kehadiran parpol memperkeruh suasana sebab konflik semakin meningkat karena adanya dukungan terstruktur dan terorganisir yang berpotensi memperluas konflik dari level lokal ke level yang lebih besar. Selain itu, mekanisme formal dengan sistem semacam pemilu dapat akan menambah beban administrasi yang tidak sebanding dengan manfaat yang diperoleh.
Jika kepala desa terpilih karena dukungan parpol, muncul kekhawatiran bahwa kepentingan politisi akan mendominasi kebijakan desa. Hal ini akan mengakibatkan prioritas pelayanan dan pembangunan desa terganggu oleh agenda parpol.
Di sisi lain, kades yang memiliki afiliasi politik dapat tersandera tekanan mengikuti instruksi atau kebijakan parpol. Praktik itu tentu mengurangi independensi pemerintahan desa. Oleh karena itu, kata Nisa, masuknya parpol membuat pemerintahan desa lebih rentan terhadap kepentingan politik yang memperkeruh pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintah desa.
“Ide ini tidak hanya bertentangan dengan prinsip demokrasi lokal yang sederhana dan netral, tetapi juga berpotensi memperburuk konflik, mengganggu stabilitas pemerintahan desa, dan mengalihkan fokus desa,” ucap Nisa.
Sementara itu, Peneliti Bidang Politik dari The Indonesian Institute (TII), Felia Primaresti, menilai penerapan sistem parpol di tingkat desa bakal mengubah wajah demokrasi desa. Saat ini, kata dia, pilkades biasanya dilakukan sederhana dengan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat yang dikenal dekat dengan warga dan berbasiskan komunitas.
Sistem parpol juga membuat pencalonan kepala desa menjadi lebih kompleks. Ini membuat hubungan antara kandidat kades dan warga pemilih akan semakin jauh. Proses politik yang lebih kompleks punya implikasi lebih besar lagi, yakni soal kesiapan sumber daya manusia, logistik, anggaran, sampai potensi konflik akibat polarisasi laiknya pemilu nasional.
“Sistem parpol di pilkades berpotensi mengurangi ruang partisipasi calon independen atau warga desa yang tidak terafiliasi dengan parpol,” ucap Felia kepada reporter Tirto, Senin (4/11).
Selama ini, praktik demokrasi di desa sudah berjalan dengan mengedepankan nilai gotong royong, kekeluargaan atau kekerabatan, dan kearifan lokal. Penerapan sistem parpol dapat mengurangi aspek partisipatif dan kompetisi terbuka dalam pilkades karena mensyaratkan pintu masuk lewat ambang batas dan seleksi internal parpol.
Implikasi selanjutnya, DPR dan pemerintah perlu melakukan harmonisasi aturan di UU Desa dan UU Pemilu. Pasalnya, hingga saat ini kades dan aparatur desa dengan tegas dilarang terlibat politik praktis dalam kontestasi pemilu dan pilkada.
“Ini harus kita kawal, agar DPR memperbaiki proses legislasi dan kinerja legislasinya, termasuk memastikan usulan ini melalui proses inklusif, partisipatif, serta kajian mendalam,” tegas Felia.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fahreza Rizky