tirto.id - Massa gabungan mahasiswa dan pemuda mendatangi Gedung DPRD Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), pada Selasa (9/9/2025). Mereka menuntut kenaikan tunjangan perumahan dan transportasi bagi anggota DPRD NTT dibatalkan.
Demonstran gabungan dari berbagai komunitas dan organisasi. Antara lain, Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Front Mahasiswa Nasional (FMN), Liga Mahasiswa Indonesia Demokratik (LMID), Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), dan SEMMUT.
Massa aksi diterima langsung oleh Wakil Ketua DPRD NTT, Petrus Berekmans Roby Tulus. Terlihat pula, Kristien S Pati dan Alexander Take Ofong bersama sejumlah anggota DPRD lainnya di halaman depan Kantor DPRD Provinsi NTT.
Dalam salah satu tuntutannya, mahasiswa menolak rencana kenaikan tunjangan DPRD NTT. Mereka menilai kebijakan tersebut tidak pantas dilakukan di tengah kondisi krisis yang masih melanda masyarakat NTT.
“Kami minta DPRD segera membatalkan rencana kenaikan tunjangan. Kebijakan itu sangat tidak pantas diambil ketika rakyat sedang susah,” seru perwakilan massa aksi.
Menanggapi aspirasi tersebut, Anggota DPRD NTT, Alexander Take Ofong, yang bertindak sebagai juru bicara lembaga menyatakan bahwa pihaknya akan menampung tuntutan mahasiswa dan segera berkoordinasi dengan Gubernur NTT.
“Kami menerima aspirasi adik-adik mahasiswa dan akan membahasnya bersama pemerintah provinsi, agar keresahan masyarakat ini bisa segera dijawab,” kata Alexander.
Pada tahun anggaran 2025 ini, DPRD NTT berjumlah 65 orang yang terdiri dari empat pimpinan dan 61 anggota, mendapat tunjangan perumahan dan transportasi hingga puluhan juta rupiah.
Tunjangan perumahan dan transportasi bagi DPRD NTT itu termuat dalam Peraturan Gubernur (Pergub) NTT Nomor 22 Tahun 2025 tentang perubahan atas Peraturan Gubernur NTT Nomor 72 Tahun 2024 tentang besaran tunjangan perumahan dan tunjangan transportasi bagi pimpinan dan anggota DPRD NTT.
Dalam Pergub Nomor 22 Tahun 2025, pada Pasal 3 ayat (4) tertera tunjangan sewa perumahan untuk satu anggota DPRD sebesar Rp23,6 juta.
Sementara untuk tunjangan transportasi bagi Anggota DPRD NTT diatur dalam Pasal 4 ayat (4) Pergub 22 Tahun 2025. Disebutkan, besaran tunjangan transportasi bagi Ketua DPRD sebesar Rp31,8 juta per bulan, untuk tiga wakil ketua masing-masing mendapatkan Rp30,6 juta per bulan, dan terhadap 61 anggota DPRD mendapat tunjangan transportasi masing-masing sebesar Rp29,5 juta.
Berdasarkan Pergub tersebut, total tunjangan perumahan 65 anggota DPRD dalam satu tahun mencapai Rp18.408.000.000 dan total tunjangan transportasi sebesar Rp23.077.200.000, sehingga total tunjangan yang harus dibayarkan sebesar Rp41.485.200.000.
Terkait besaran tunjangan perumahan dan transportasi yang banyak dikritik mahasiswa dan masyarakat, Gubernur NTT, Melkiades Laka Lena mengatakan, sebelum Pergub dikeluarkan didahului kajian dari tim survei dari akademisi.
Bahkan besaran tunjangan yang diterima pimpinan dan anggota DPRD NTT telah melalui proses konsultasi dengan Kementerian Dalam Negeri.
"Bahkan saya dengar juga dan saya belum cek juga bahwa sudah melakukan kajian, survei untuk sampai angka ini," ungkapnya.
Melky mengekalim, besaran tunjangan yang ada dalam Pergub Nomor 22 Tahub 2025 telah diterapkan dan digunakan pada Pergub tahun-tahun sebelumnya.
"Pergub ini pernah digunakan pada periode lalu. Angka ini pernah ada terus dihilangkan dan ada lagi di Pergub ini," ungkapnya.
Berpotensi Timbulkan Masalah Hukum Jika Tak Sesuai Regulasi
Ketua Ombudsman NTT, Darius Beda Daton, turut memberikan pandangannya terkait polemik tunjangan DPRD yang menuai kritik publik. Menurutnya, persoalan gaji dan tunjangan anggota dewan sebenarnya sudah diatur dalam regulasi perundangan. Namun, masalah muncul jika pemerintah daerah dan DPRD tidak mempedomani aturan tersebut.
“Masalahnya adalah jika Pemda dan DPRD tidak mau memedomani aturan, sehingga angka tunjangannya melampaui batas ketentuan. Misalnya, hasil survei penilai untuk sewa rumah di Kota Kupang paling tinggi Rp4,5 juta per bulan dan transportasi paling tinggi Rp18 juta per bulan. Bandingkan dengan angka dalam Pergub NTT Nomor 22 Tahun 2025 yang menetapkan tunjangan rumah Rp23,6 juta dan transportasi Rp28-31 juta,” jelas Darius.
Ia menegaskan, besaran tunjangan itu berpotensi menimbulkan masalah hukum jika tidak sesuai regulasi. “Apabila diaudit BPK dan terbukti ada kelebihan perhitungan, maka wajib dikembalikan. Kalau tidak, bisa berpotensi menjadi tindak pidana korupsi berjemaah,” tegasnya.
Darius juga menyarankan agar Pemerintah Provinsi bersama DPRD NTT serta DPRD kabupaten/kota segera meninjau kembali aturan yang menjadi dasar pemberian tunjangan.
“Revisi Pergub NTT Nomor 22 Tahun 2025 perlu segera dilakukan, dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dan kondisi sosial ekonomi masyarakat NTT saat ini. DPR RI saja bisa menurunkan tunjangan mereka, daerah seharusnya juga bisa melakukan hal yang sama,” katanya.
Menurutnya, kepercayaan publik merupakan modal utama dalam membangun daerah.
“Kita perlu mengembalikan rasa percaya masyarakat terhadap institusi negara. Jika publik apatis, itu akan berdampak pada kepatuhan membayar pajak maupun mendukung kebijakan pemerintah daerah,” tutup Darius.
Penulis: Mario Wihelmus PS
Editor: Siti Fatimah
Masuk tirto.id


































