tirto.id - Jaka Sembung naik ojek
Nggak nyambung, jek!
Pantun jenaka itu tepat untuk menggambarkan debat perdana Pilpres 2019 di Hotel Bidakara, Kamis malam kemarin, 17 Januari. Ajang yang diharapkan jadi unjuk gigi visi dan misi kedua pasangan calon soal hukum, HAM, korupsi dan terorisme justru jadi panggung ger-geran. Kedua capres-cawapres malah memberikan beberapa jawaban dan tanggapan yang enggak nyambung.
Semula terlihat berjalan lancar saat penyampaian visi dan misi. Joko Widodo memulainya dengan baik. Ia mengelaborasi persoalan hak dasar, hak ekosob (ekonomi, sosial dan budaya), penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, penguatan KPK, dan pendekatan persuasif dalam penanganan terorisme.
Prabowo Subianto juga memulai dengan baik. Meski demikian, ia dan Sandiaga Uno menitikberatkan semua permasalahan itu pada aspek ekonomi. Masalah terorisme dan penegakan hukum diarahkan pada peningkatan kualitas hidup. Korupsi diselesaikan dengan menaikkan gaji para penegak hukum--dari polisi, jaksa, hingga hakim.
Ketidaksinkronan mulai terlihat ketika Prabowo dan Sandiaga mendapat pertanyaan amplop E pada segmen 2:
“Indonesia adalah negara yang sangat beragam dari sisi agama, etnis, golongan, dan pandangan politik. Namun, dalam kenyataan, masih terjadi diskriminasi dan persekusi. Dari sisi HAM, apa strategi Anda untuk mengatasi masalah-masalah ini?” kata Ira Koesno, moderator debat, membacakan pertanyaan amplop E.
Alih-alih menjawab masalah diskriminasi itu, Sandiaga yang menambahkan jawaban Prabowo bercerita tentang Najib, seorang nelayan di pantai Pasir Putih Cilamaya, Karawang, yang dikriminalisasi. Masalahnya, sosok Najib yang diceritakan oleh Sandiaga itu dikriminalisasi mengambil pasir untuk menanam mangrove di hutan bakau.
"Beliau dipersekusi, dikriminalisasi,” katanya.
Jawaban itu melenceng dari masalah diskriminasi agama, etnis, golongan dan pandangan politik. Bukannya menjawab pertanyaan, Sandiaga justru melanjutkan dengan omongan yang makin jauh dari pertanyaan.
“Di bawah Prabowo-Sandi, hukum harus ditegakkan untuk rakyat kecil. Kita harus menghadirkan kesejahteraan kepada mereka,” ujarnya.
Tidak selesai sampai situ, Sandiaga juga mengutip UUD 45 pasal 27 ayat 2 yang tidak ada kaitan sama sekali dengan diskriminasi agama, etnis, golongan dan pandangan politik.
Pola jawaban seperti ini bukan pertama kali dilakukan oleh Sandiaga. Pada saat debat Pilkada DKI Jakarta, setiap pertanyaan dan permasalahan, Sandiaga menjawabnya dengan satu program unggulannya: OK OCE.
Sandiaga bukan satu-satunya yang ngawur menjawab pertanyaan.
Jokowi pun kacau menjawab pada segmen ketiga. Pada segmen itu Jokowi mendapatkan pertanyaan tentang solusi atas politik yang berbiaya mahal.
Jokowi justru berbagi pengalamannya tentang rekrutmen birokrasi berdasarkan kompetensi. “Bukan finansial dan bukan nepotisme, oleh sebab itu untuk pejabat-pejabat birokrasi, rekrutmen harus dilakukan transparan, sederhana, dengan standar-standar yang jelas,” katanya.
Pada segmen keempat, Sandiaga kembali menjadi Jaka Sembung. Saat gilirannya memberikan pertanyaan soal hukum dan HAM, Sandiaga justru membahas soal kepastian hukum dan UKM (usaha kecil menengah).
“Bagaimana investasi bisa meningkat kalau ada kepastian hukum yang terus dipertanyakan. UKM sulit untuk berkembang, banyak sekali UKM yang menanyakan kepastian hukum. Nah, kami ingin menanyakan kepada bapak bagaimana untuk memastikan dan ini terjadi...,” kata Sandiaga.
Pada segmen kelima, tanya-jawab antara Jokowi dan Prabowo makin ngawur. Pada segmen itu Prabowo mendapat giliran memberikan pertanyaan tentang korupsi dan terorisme. Alih-alih bertanya soal masalah korupsi, Prabowo justru bertanya soal konflik kepentingan pejabat di era Jokowi.
“Apakah bapak bisa meyakini dan menjamin bahwa pejabat-pejabat yang bekerja untuk bapak benar-benar tidak memiliki kepentingan pribadi, kelompok atau bisnis?”
Prabowo bahkan menambahkan hal yang makin tidak berkorelasi, yakni soal kebijakan impor beras, gula, dan komoditas lain yang merugikan petani.
Jokowi tidak menjawab pertanyaan itu dengan tegas. Ia justru menantang Prabowo untuk melaporkan ke polisi bila menemukan kasus seperti itu.
“Ya, kalau memang ada dan bapak memiliki bukti-bukti yang kuat ... ya, jalankan aja. Mekanisme hukum dilaporkan saja ke polisi, laporkan saja ke KPK, laporkan saja ke kejaksaan.”
Debat makin tidak jelas ketika Prabowo menanggapi jawaban Jokowi dengan membawa contoh kasus perbedaan data beras antara Kementerian Perdagangan, Bulog, dan Kementerian Pertanian pada akhir 2018. Tanggapan dari Prabowo itu makin melenceng dari fokus segmen kelima yang khusus membahas korupsi dan terorisme.
“Jadi kami bertanya kepada bapak, bagaimana pejabat yang bapak angkat termasuk Dirut Bulog mengatakan bahwa cukup .. kemudian menteri pertanian bapak mengatakan cukup, tapi menteri perdagangan bapak mengizinkan impor komoditas pangan?” kata Prabowo.
Minim Gagasan, Saling Serang
Tak hanya Jaka Sembung Naik Ojek, debat perdana Pilpres 2019 ini minim gagasan baru.
Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno misalnya tidak beranjak dari isu ekonomi yang sudah digembar-gemborkan Prabowo pada debat Pilpres 2014 dan Sandiaga pada Pilkada DKI 2017.
Soal menaikkan gaji hakim, jaksa, dan polisi yang diangkat Prabowo persis sama ketika ia berdebat melawan Jokowi pada 9 Juni 2014. Saat itu, Prabowo memberi contoh gaji hakim agung di Inggris lebih besar dari gaji perdana menterinya.
Masih soal gaji, Prabowo menggunakan pola data yang sama. Pada 2014, ia memaparkan data gaji bupati yang rendah sementara biaya kampanye menjadi bupati mencapai miliaran.
“Gaji bupati umpamanya 6 sampai 7 juta rupiah padahal dia kampanye, ikut Pilkada langsung, dia habis 15 milliar. Demikian di mana-mana. Dia akan ambil dari APBD,” kata Prabowo saat itu.
Pada debat kali ini, ia juga memaparkan data gaji Gubernur yang tidak sebanding dengan tanggung jawab. “Sebagai contoh, bagaimana bisa seorang gubernur gajinya delapan juta. Kemudian dia mengelola provinsi umpamanya Jawa Tengah yang lebih besar dari Malaysia dengan APBD yang begitu besar jadi ini hal-hal yang tidak realistis,” kata Prabowo.
Mengulang gagasan tentu tidak buruk, tapi menggunakan data yang keliru atau samar bisa jadi kesalahan fatal. Prabowo menyebut Jawa Tengah lebih besar dari Malaysia. Jika lebih besar di situ merujuk luas Malaysia, ia keliru. Berdasarkan data BPS, luas Jawa Tengah 32,544.12 km persegi, sedangkan luas Malaysia 330,345 km persegi.
Satu-satunya gagasan segar--dan bisa memancing kontroversial--datang dari Jokowi dalam debat perdana. Ia mewacanakan pembentukan badan pusat legislasi nasional untuk mengatur masalah tumpang-tindih hukum. Lembaga ini nantinya melakukan "harmonisasi" kebijakan dari daerah ke pusat.
“... kami akan menggabungkan fungsi-fungsi legislasi, baik yang ada di BPHN di Dirjen peraturan perundang-undangan, dan fungsi-fungsi legislasi yang ada di semua kementerian. [...] akan kita gabungkan dalam badan yang namanya pusat legislasi nasional sehingga dikontrol langsung oleh presiden, satu pintu,” papar Jokowi.
Debat kali ini juga lebih banyak upaya saling serang ketimbang menawarkan gagasan dan mengelaborasi yang lebih substansial dari visi dan misi.
Serangan pertama dilancarkan Prabowo pada segmen kedua. Ia menyerang Jokowi dengan kasus seorang kepala desa yang mendukung Prabowo tapi kemudian langsung ditahan. Padahal, menurut Prabowo, gubernur-gubernur yang mendukung Jokowi tidak ditangkap.
“Jadi saya kira ... ini juga suatu perlakuan tidak adil, ya. Juga, menurut saya, pelanggaran HAM karena menyatakan pendapat itu, dijamin oleh undang undang dasar, Pak,” ujar Prabowo.
Jokowi tidak lantas diam mendapatkan serangan itu. Ia menyerang balik dengan kasus hoaks Ratna Sarumpaet, juru kampanye Prabowo-Sandiaga.
Saling serang itu tidak terkait penegakan hukum kasus HAM yang sedang dibahas pada segmen itu.
Jokowi tidak hanya menyerang sekali. Pada kesempatan memberikan dua pertanyaan bebas, ia menyerang Partai Gerindra yang nyaris tidak ada pengurus perempuan di DPP dan mantan napi koruptor yang menjadi caleg di Gerindra. Sedangkan Prabowo hanya menyerang dengan celah penegak hukum dari partai, yakni Jaksa Agung HM Prasetyo dari partai NasDem.
Diselamatkan Moderator
Ketidaksinkronan pertanyaan, jawaban, dan tanggapan dari pasangan capres dan cawapres ini menunjukkan bocoran kisi-kisi debat dari Komisi Pemilihan Umum menjadi tak berguna. Sebab, rancangan yang sudah dibuat para panelis untuk menggali tema debat perdana kepada kedua paslon menjadi sia-sia.
Selain beberapa omongan kedua paslon tidak sesuai dengan tema, pembagian tugas untuk menjawab antara capres dan cawapres pun tidak seimbang. Bila memang sudah ada kisi-kisi, seharusnya tim pemenangan bisa menyiapkan jawaban yang baik dan pembagian tugas.
Jatah pertanyaan bebas yang diberikan kepada dua paslon pun digunakan semata-mata untuk tujuan menyerang.
Jokowi menggunakan dua kesempatan bertanya untuk menyerang. Pertama, tentang keterwakilan perempuan dan kesetaraan gender di Partai Gerinda; kedua tentang caleg-caleg mantan napi korupsi di Partai Gerindra.
Satu-satunya yang membuat debat ini lebih enak dilihat adalah karena dua moderator, Ira Koesno dan Imam Priyono, piawai memandu debat. Ira dan Imam memegang kontrol atas lalu lintas debat. Mereka menyampaikan pertanyaan dengan lugas dan minim gangguan dari penonton.
Suasana itu berbeda dari debat Pilpres 2014 ketika moderator sibuk mengatur pendukung masing-masing pasangan calon yang berisik, dan mengulang pertanyaan berkali-kali kepada masing-masing pasangan calon.
Pada debat kali ini, Ira dan Imam membagi tugas dengan baik. Mereka hanya membacakan pertanyaan satu kali tanpa ada pengulangan.
Saat para pasangan calon menyimpang dari topik, Ira dan Imam mengingatkan terus. Misalnya, saat saling memberikan tanggapan, Ira dan Imam berkali-kali mengingatkan agar mereka menanggapi omongan dari lawan debat. Meski demikian, lagi-lagi, masing-masing pasangan capres dan cawapres tetap bebal.
Hasilnya: debat perdana Pilpres 2019 menjadi panggung antara tema dan pertanyaan debat tidak relevan dengan jawaban kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Editor: Fahri Salam