tirto.id - Dalam debat Pilpres 2019 putaran pertama, Joko Widodo menyebut 8 kali kata “hak” dan 12 kali kata “HAM”, sedangkan Prabowo Subianto tak sekalipun menyebut kata “hak” dan hanya 2 kali menyebut kata “HAM”.
Padahal tema debat perdana meliputi isu penegakan hukum, HAM, korupsi, dan terorisme.
Pada sesi awal, saat menyampaikan visi-misi, Jokowi memaparkan alasannya mengapa tak mampu tuntaskan satu pun kasus pelanggaran HAM berat masa lalu: “masalah kompleksitas hukum, masalah pembuktian, dan waktu yang terlalu jauh”.
Namun, dia berjanji menuntaskan kasus-kasus tersebut. Caranya, melalui reformasi kelembagaan dan penguatan manajemen hukum.
Permasalahannya, menurut Wakil Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar adalah Jokowi tak menjelaskan dengan gamblang mengapa dia gagal memenuhi janji Nawacita untuk tuntaskan masalah itu.
“Tidak secara jelas dikatakan apa faktor penyebab kemandekan dan berbelitnya proses penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu itu,” kata Wahyudi kepada reporter Tirto.
Sedangkan Prabowo, yang tak menyebut kata "hak", memang tak memasukkan program terkait HAM dalam visi-misinya. Intinya, menurut Prabowo, masalah apa pun termasuk penegakan hukum, solusinya adalah membuat gaji hakim, jaksa, dan polisi menjadi “begitu hebat”.
“Apa yang disampaikan Prabowo itu sifatnya sloganistik dan abstrak. Kita sulit untuk mengukur sebenarnya apa sih langkah strategis dan konkret yang akan dilakukan,” ujar Wahyudi.
Sengaja Melenceng dari Pertanyaan
Kedua kandidat disuguhi pertanyaan soal pertentangan antara penegakan hukum dan perlindungan HAM. Mereka diminta untuk memberikan kasus-kasus konkret agar jelas menggambarkan masalah yang dihadapi.
Namun baik Jokowi, Prabowo, serta Ma’ruf Amin dan Sandiaga Uno memberikan jawaban yang tak memberi langkah konkret apa pun. Jokowi malah melebar, memanfaatkan sesi tema hukum dan HAM dengan menyerang kubu Prabowo lewat mengungkit kasus hoaks Ratna Sarumpaet, juru kampanye Prabowo-Sandiaga.
Sedangkan terkait topik keberagaman di Indonesia yang masih dicemari diskriminasi dan persekusi, kedua kubu juga tak menjawab apa pun.
Solusi Prabowo ialah aparat penegak hukum yang melakukan diskriminasi akan dia pecat.
Sedangkan Sandiaga justru bercerita soal nelayan yang dia temui tapi menurutnya menjadi korban persekusi dan diskriminasi. Sebelumnya, Prabowo menganggap salah satu relawannya di Jawa Timur "dikriminalisasi."
Pola menghindari topik tersebut, menurut Putri Kanesia dari Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), merupakan "hal yang biasa". Kebanyakan kandidat pemilu menurutnya cenderung tidak konkret dalam mengurai janjinya.
“Isu HAM ini hanya menjadi sesuatu yang diperdagangkan untuk mendapatkan dukungan dari banyak orang. Tapi, sebenarnya, soal konsepsi HAM, mereka masih mengawang-awang. Karena tidak konkret, hanya soal gagasan,” kata Putri.
Kedua kandidat, menurut Putri, bermain aman. Mereka tidak melempar pertanyaan mendalam tentang isu tertentu yang berbasis fakta dan bukti. Misalnya, kasus Novel Baswedan maupun pembunuhan Munir.
Padahal, ada banyak hal yang harusnya dibahas lebih konkret. Misalnya, kata Putri, “Sanggup enggak pasangan Prabowo-Sandiaga menindak partai pendukungnya yang memang sangat diskriminatif dan mendukung persekusi terhadap kelompok minoritas keagamaan? Mohon maaf ... seperti misalnya PKS?”
“Apakah Prabowo siap menindak tegas partai-partai yang mendukung kekerasan terhadap Ahmadiyah atau Syiah, misalnya?” imbuh Putri.
Terlebih soal Ma’ruf yang memiliki rekam jejak buruk terkait hak kebebasan beragama. Dia pemicu munculnya fatwa MUI soal penodaan agama dan pendukung UU 1/PNPS/1965.
“UU itu sangat diskriminatif terhadap penghayat misalnya, karena hanya memasukkan enam agama resmi. Dalam konteks Ahok, beliau [Ma’ruf] menjadi saksi yang memberatkan untuk isu penodaan agama walaupun di akhir dia ada statement minta maaf,” ujar Putri.
'Jokowi Resisten, Prabowo Represif'
Para kandidat disuguhi pertanyaan soal pemberantasan terhadap terorisme yang kerap berbenturan dengan isu HAM. Mereka diminta menjelaskan strategi yang merujuk pada kasus yang konkret untuk memberantas terorisme tanpa merampas HAM.
Jokowi dan Ma’ruf kompak memberikan jaminan akan mengedepankan tindakan yang manusiawi yang tak melanggar HAM. Jokowi menekankan aparat harus patuh SOP berbasis HAM. Dia juga mengatakan transparansi saat proses penindakan.
Terkait hal itu, Manajer Kampanye Amnesty International Indonesia Puri Kencana Putri menyindir, “Dua puluh tahun reformasi kok pembenahannya hanya sekadar SOP ditambahkan elemen HAM?”
Menurut Puri, dalam debat perdana Pilpres 2019, tak ada jawaban konkret dari kedua kandidat terkait strategi pelaksanaan. Hasilnya: hanya menyajikan tontonan mirip lenong.
Di sisi lain, terkait pemberantasan kasus terorisme, Prabowo menarasikan ulang masa lalunya sebagai bagian dalam pasukan antitero, tapi tak jelas langkah konkret yang akan dia ambil jika terpilih sebagai presiden.
Menurut Wahyudi Djafar dari ELSAM, Prabowo menggunakan sudut pandang yang konspiratif. Hanya mengandalkan pengalaman di masa lalu sebagai pasukan antiteror.
Konsep pendekatan yang dilakukan Prabowo, menurut Wahyudi, cenderung menangani masalah dengan kekerasan, pelibatan angkatan bersenjata. Harusnya yang dilakukan ialah penegakan hukum yang tak merampas HAM.
“TNI hari ini bukan integral dengan penegak hukum, yang berbeda situasinya ketika Prabowo menjadi bagian dalam pemberantasan teror di masa lalu,” kata Wahyudi.
Dari jawaban kedua kandidat tersebut, Putri Kanesia dari Kontras menilai Jokowi bertipe resistance, sedangkan Prabowo represif.
“Dari statement prabowo soal penegakan hukum, pendekatannya secara represif, itu sangat berbahaya kata represif itu. Dengan kata itu mengingatkan kita pada era Orde Baru yang sangat represif pada masyarakat,” terang Putri.
Sebaliknya, resistensi Jokowi terlihat ketika ia beberapa kali menyatakan tidak sepakat dengan konsep yang disampaikan Prabowo. Jokowi dua kali menyinggung terkait kasus HAM masa lalu yang diduga melibatkan Prabowo.
Namun, dia hanya melesatkan kalimat yang kontroversial, penuh kiasan, tanpa diiringi penjelasan konkret dan langkah penegakan hukumnya.
Bagi-Bagi Kursi ala Jokowi Bikin Kasus HAM Mampet
Prabowo sempat menyinggung apa ada konflik kepentingan dalam pemilihan menteri yang dilakukan Jokowi?
Jokowi menjawab, tak masalah jabatan menteri diberikan kepada orang partai ataupun berlatar belakang profesional. Baginya, yang penting ialah kompetensi, kapasitas, dan integritas.
“Kenapa harus dibedakan [orang] ini yang partai dan [orang] ini yang non-partai? Saya kira sama saja buat saya, yang penting proses rekrutmennya benar,” kata Jokowi.
Putri Kanesia tak sepakat atas sikap Jokowi tersebut. Menurutnya, jabatan strategis sebagai menteri harus diisi orang yang tak memiliki kepentingan politis. Ataupun dilakukan berdasarkan hitung-hitungan sudah berjasa memenangkan saat kampanye.
“Kita tahu misalnya hampir dalam 5 tahun era Jokowi apakah ada kasus pelanggaran HAM masa lalu yang bisa berhasil dibawa Jaksa Agung [HM Prasetyo, anggota Partai Nasdem]? Bahkan November kemarin justru Jaksa Agung mengembalikan 9 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu,” jelas Putri.
Putri juga menyoroti masalah Jokowi yang mendapuk Wiranto, ketua umum Partai Hanura, sebagai Menko Polhukam. Padahal Wiranto diduga terkait dengan kasus pelanggaran HAM masa lalu Semanggi I 1998.
“Apalagi Hendropriyono [ketua umum PKPI], salah satu orang yang kayak advisor Jokowi. Padahal sudah jelas-jelas ada keterlibatan Hendropriyono dalam kasus Munir yang tercantum dalam laporan TPF yang tidak diumumkan,” tegas Putri.
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam