tirto.id - Isu terorisme menjadi salah satu topik dalam Debat Pilpres-Capres 2019 perdana, Kamis (17/01), yang mempertemukan kubu paslon 01 (Joko Widodo-Ma’ruf Amin) dengan kubu paslon 02 (Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno). Ini juga kali pertama isu terorisme dibahas khusus dalam debat capres di Indonesia.
Isu terorisme dibagi menjadi dua diskursus dalam debat capres ini: (1) Bagaimana mengatasi konflik pemberantasan terorisme yang bertentangan dengan konsep HAM; (2) Bagaimana langkah masing-masing paslon dalam program deradikalisasi yang tidak hanya menyasar pelaku, tetapi juga lingkungan.
Jawaban kubu paslon 01 dalam topik terorisme didominasi oleh Ma’ruf Amin. Sementara dari kubu paslon 02, Prabowo dan Sandiaga tampil bergiliran mengutarakan masing-masing pendapatnya. Selain itu, baik paslon 01 maupun paslon 02 juga memiliki perbedaan pendapat yang signifikan dalam topik ini.
Dari diskursus yang pertama, yakni bagaimana langkah pemberantasan terorisme tanpa bertentangan dengan konsep HAM, kubu 01 yang memulai jawaban melalui Cawapres Ma'ruf Amin menyinggung fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Menurut Ma’ruf, MUI telah mengeluarkan fatwa bahwa terorisme bukan jihad.
“Terorisme harus diberantas sampai ke akar-akarnya. MUI juga telah mengeluarkan fatwa: terorisme bukan jihad, oleh karena itu haram dilakukan,” ujar Ma’ruf. Selain itu, Ma’ruf juga menambahkan dengan kutipan terjemahan ayat Al Quran dalam surat Al-Araf, yang artinya "Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, setelah (diciptakan) dengan baik".
Dalam konteks pemberantasan terorisme terkait HAM, Ma’ruf menyebut bahwa secara garis besar, hal itu bisa dilakukan dengan dua cara: pencegahan dan penindakan yang saling disinergikan. Ia pun akan mengajak serta lapisan masyarakat untuk mensukseskan kebijakan ini.
“Ke depan kami lebih mengutamakan pencegahan, kontra-radikalisme, mengurangi deradikalisasi dan paham-paham intoleran, serta akan meluruskan mereka yang telah terpapar (paham radikal). Kami juga akan melakukan pendekatan yang humanis tanpa melanggar HAM. Untuk itu, kami akan mengajak ormas-ormas untuk menanggulangi permasalahan ini.”
Sementara dari kubu paslon 02, baik Capres Prabowo dan Cawapres Sandiaga kompak memberikan jawaban seragam, bahwa salah satu akar utama terorisme adalah akibat banyak warga yang merasa masa depannya tidak cerah, mengalami ketidakadilan ekonomi, sehingga mudah disusupi oleh paham radikal.
"Kita harus melihat program-program kontra-radikalisasi kepada masyarakat luas, bagaimana kita melakukan kontra-ideologi, kontra-narasi, dan juga kontra-propaganda, banyak sekali masyarakat yang tidak bisa merasakan masa depan yang cerah akibat kebutuhan ekonomi. Kami akan melihat peta-peta terorisme di mana saja, kami pastikan mereka tidak akan terjerumus ke paham radikal,” jelasnya.
Hal tersebut juga diamini Prabowo, yang kemudian memberikan solusi dengan cara memperbaiki kualitas pendidikan dan tenaga pengajar. “Jika kami memimpin negara ini, kami akan investasi besar-besaran di pendidikan, pesantren, madrasah, kapasitas dan kualitas guru-guru. Dengan demikian, mereka akan memberikan pengajaran, memberikan suasana tidak putus asa, tidak merasa benci, dan tidak merasa tersakiti.”
Menyebut Kemiskinan sebagai Akar Teror Sudah Tak Lagi Relevan
Menyebut kemiskinan sebagai faktor utama penyebab terorisme merebak adalah hal yang sudah tidak lagi relevan. Gelombang teror yang kini menyapu Indonesia maupun negara lain justru banyak dilakukan oleh para jihadis yang berlatar belakang kelas menengah, alias mereka yang secara ekonomi tergolong cukup mapan.
Contoh termutakhir mengenai hal ini adalah keluarga pelaku rentetan bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya pada Minggu (13/05/2018) tahun lalu. Mereka adalah pasangan suami-istri Dita Oeprianto-Puji Kuswati plus keempat anaknya yang menempati rumah di kompleks Wisma Indah, Kelurahan Wonorejo, Surabaya. Sebuah kompleks perumahan yang jauh dari kesan kumuh.
Tak hanya itu, keluarga tersebut juga biasa pelesiran ke beberapa tempat wisata saban liburan tiba. Salah satunya wisata di Kabupaten Banyuwangi. Mulai dari Pantai Grajakan, Pantai Muncah, hingga Pulau Merah. Di rumah, pasangan Dita dan Puji turut menyediakan internet dan komputer untuk anak-anaknya. Hanya saja, di balik gelimang materi yang mereka miliki, ada rasa frustasi yang teramat besar dan mampu mendorong pasangan suami-istri mengajak anaknya untuk menjajaki konsep “mati syahid”.
Contoh teroris lain yang beroperasi di Indonesia dan tidak memiliki latar belakang kemiskinan adalah Azahari Husin. Pria asal Malaysia tersebut punya modal finansial yang bagus sebab bisa meraih gelar Ph.D dari University of Reading, Inggris. Selain itu, Husin juga pernah mengajar pada Universiti Teknologi Malaysia. Hal ini turut dijelaskan oleh pengamat terorisme dari Certified Counter Terrorism Practitioner (CCTP), Rakyan Adibrata.
“Miskin, jika tidak ada faktor pendorong lain, juga tidak jadi radikal. Bukan juga karena ingin mengatasi ketimpangan ekonomi sebuah negara, alias demi kemaslahatan umat. Mereka ingin melakukan aksi amaliyah karena ada indoktrinasi agama,” jelasnya kepada Tirto.
Selain indoktrinasi agama, Rakyan menambahkan, ada pula faktor sentimen agama, intoleransi, degradasi moral, permainan stereotip, dan “inferiority complex”. Faktor-faktor lain yang mendorong seperti performa pemerintahan yang buruk, impunitas, pelanggaran hak asasi manusia, sampai soal kultur melarang perempuan untuk membuat keputusan sendiri juga bisa berujung dengan tindak terorisme.
Sidney Jones, pengamat terorisme sekaligus pendiri dan direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), juga menyebut hal yang sama dalam diskusi “Tantangan Terorisme dan Radikalisme di Indonesia dan Asia Tenggara” yang diselenggarakan oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) di Jakarta, Maret tahun lalu.
Seperti dikutip dari Antara, Jones mengatakan kemiskinan hampir tidak pernah menjadi pendorong utama munculnya aksi terorisme. Orang-orang yang rentan masuk organisasi ekstremisme adalah mereka yang seringkali menjalani hidup dalam situasi ketidakadilan serta kerap jadi korban tindak diskriminasi.
Teroris Dikirim dari Negara Asing dan Menyudutkan Islam?
Ada jawaban menarik lain yang diucapkan Prabowo dalam topik terorisme. Hal ini berkaitan dengan masa lalunya ketika masih menjadi prajurit TNI. Ia mengatakan:
“Jadi, waktu saya masih muda, saya di bidang anti-teror. Bersama Pak Luhut Panjaitan, saya membentuk badan anti-teror yang pertama. Berdasarkan pengalaman saya, saya mengetahui, teroris dikirim dari negara lain, dibuat menyamar, seolah teroris itu orang Islam, padahal mungkin juga bukan orang Islam atau orang asing itu sendiri.”
Badan anti-teror yang dimaksud Prabowo adalah Detasemen 81 (Den-81) Kopassandha yang didirikan pada 30 Juni 1982. Bersama Luhut Binsar Panjaitan yang dulu di kesatuan menjadi komandannya, Prabowo dikirim ke Jerman untuk mengambil spesialisasi penanggulangan teror ke GSG-9 (Grenzschutzgruppe-9). Mereka kemudian dipercaya untuk menyeleksi para prajurit Kopassandha yang ditunjuk ke Den-81.
Usai berhasil menangani peristiwa pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla di Bandara Don Muang, Bangkok, pada 31 Maret 1981, nama Den-81 diganti menjadi Satuan 81 Penanggulangan Teror (Sat-81 Gultor). Dari periode 1995-2001, Sat-81 sempat dimekarkan jadi Group 5 Antiteror. Sat-81 Gultor terkenal dengan karakter tempur "tidak diketahui, tidak terdengar, dan tidak terlihat".
Yang perlu digarisbawahi dari perkataan Prabowo tadi adalah perihal “teroris dikirim dari negara lain, dibuat menyamar, seolah teroris itu orang Islam”. Sejauh pengamatan Tirto dalam debat capres perdana tadi malam, Prabowo tidak mengurai dengan jelas apa yang dimaksud dari perkataannya tersebut.
Berdasarkan kajian Gerard Chalian dan Arnaud Blind, The History of Terrorism: from Antiquity to Al Qaeda (2007), terorisme yang menggunakan justifikasi Islam sejatinya telah muncul sekitar 1968. Hal ini kian diperparah sejak Peristiwa 9/11, di mana dalangnya adalah kelompok Islam Al Qaeda yang dipimpin Osama Bin Laden. Dalam konteks Indonesia, aksi terorisme yang mengatasnamakan Islam terus bermunculan lewat kelompok-kelompok seperti Komando Jihad, Jamaah Islamiyah (JI), hingga Jamaah Ansharut Daulah (JAD) sejak era 80-an hingga 2018.
Namun demikian, tentu bukan hanya Muslim yang pernah melakukan aksi terorisme. Yigal Amir, pelaku pembunuhan Perdana Menteri Israel, Yitzak Rabin, pada tahun 1995 adalah seorang yang dibesarkan di keluarga Yahudi Ortodoks. Seturut pengakuannya, ia melakukan pembunuhan tersebut adalah atas perintah Tuhan.
Di Jepang, kelompok Aum Shinrikyo (yang mengkombinasikan ajaran Buddha, Hindu, dan Kristen) menyebar gas sarin di kereta bawah tanah Tokyo pada tahun 1995 hingga menewaskan 12 orang dan melukai 3.000 lainnya. Contoh terorisme berbasis agama ini sangat bisa diperpanjang lagi.
Sikap Prabowo yang berusaha untuk melenyapkan stigma teroris dari umat Islam tentunya patut diapresiasi. Namun demikian, jika hal itu sekadar dilakukan lewat perkataan dan desas-desus, ia hanya akan menyangkal fakta keras peran agama dalam aksi-aksi teror.
Editor: Windu Jusuf