Menuju konten utama

Bom Surabaya: Potret Perubahan Aksi Teror oleh Keluarga

Teror bom yang dilakukan di Surabaya berbeda dengan teror lain di Indonesia. Baru kali ini, teror dilakukan oleh satu keluarga secara bersamaan.

Bom Surabaya: Potret Perubahan Aksi Teror oleh Keluarga
Tim Inafis melakukan olah TKP di lokasi ledakan di Gereja Kristen Indonesia (GKI), Jalan Diponegoro, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (13/5/2018). ANTARA FOTO/Didik Suhartono

tirto.id - Serangan bom di lima lokasi dan dilakukan tiga keluarga dalam waktu 24 jam di Surabaya dan Sidoarjo, Jawa Timur, mengingatkan Ali Fauzi Manzi pada aksi yang dilakukan ketiga kakaknya: Amrozi, Ali Ghufron alias Mukhlas, dan Ali Imron. Ketiga saudara kandung itu menjadi pelaku teror Bom Bali I pada 2002.

“Dari dulu, prinsip kekeluargaan ini sudah ada,” kata Ali Fauzi mengawali perbincangan dengan Tirto, Senin (14/5/2018) malam.

Ketiga kakaknya itu merupakan otak dari serangan bom di tiga lokasi di Paddy's Pub dan Sari Club di Jalan Legian, Kuta, serta dekat Kantor Konsulat Amerika Serikat. Mereka merencanakan serangan bersama Imam Samudera, Noordin M. Top, dan Dr. Azahari.

Ali Fauzi saat itu merupakan adik paling kecil. Ia ikut terlibat bersama tiga kakaknya dalam jaringan Thanfhiz I Jamaah Islamiyah yang dipimpin Hambali alias Riduan Isamuddin.

Keterlibatan ketiga kakaknya dalam serangan bom itu berbuah pidana. Amrozi dan Mukhlas dijatuhi hukuman mati, sedangkan Ali Imron mendapat hukuman penjara seumur hidup.

Ali Fauzi tak ikut dicokok terkait kasus Bom Bali lantaran dia sudah keluar dari JI dan bergabung dengan Komite Penanggulangan Aksi (KOMPAK). Ali Fauzi baru ditangkap pada 2004 oleh polisi Filipina karena ikut mendirikan Kamp Militer di Mindanau. Filipina Selatan.

Ali Fauzi, yang kini sudah bebas, menjadi pengamat untuk jaringan-jaringan teror yang masih bercokol di Indonesia. Ia pun terperangah saat mendapati kabar serangan bom di lima lokasi di Surabaya dan Sidoarjo dilakukan tiga keluarga berbeda.

Menurut Ali Fauzi, ada rentan 16 tahun setelah peristiwa Bom Bali I dengan serangan yang terjadi Minggu pagi. Ia tambah kaget ketika mengetahui para pelaku utama dalam serangan tersebut membawa serta istri dan anaknya. Anak dan istri pelaku bahkan harus tewas karena ikut amaliyah, atau biasa disebut ‘pengantin’ dalam tradisi teror Jamaah Islamiyah.

Motifnya Ibadah

Munculnya aksi yang menyertakan keluarga ini, dianggap Ali Fauzi sebagai fenomena baru di Indonesia. Selama tergabung dalam kelompok teror hingga akhirnya insyaf, Ali tak pernah mendapati ada gerakan seperti di Surabaya sebelumnya.

Pun demikian menurut catatan kepolisian. Percobaan teror bom yang dilakukan seorang istri hanya dilakukan Dian Yulia Novi pada 2017. Novi, sapaan perempuan itu, merencanakan pengeboman di Istana Kepresidenan tapi kadung digerebek polisi sebelum melancarkan aksi.

Ali Fauzi menduga kemunculan gerakan teror bersama keluarga ini karena dilatari dua motif. Balas dendam dan ibadah, dua latar belakang itu yang mungkin menghinggapi pikiran dari tiga keluarga ini, meski Ali lebih cenderung melihat aksi ini sebagai motif ibadah.

“Jadi, ada ideologi [yang teringkas dalam ungkapan] 'Siapa yang gugur, dia masuk surga'. Artinya, mereka rombongan untuk masuk surga bersama-sama,” tutur Ali.

Motif ibadah ini, kata Ali Fauzi, tak mungkin hadir tanpa ada kesadaran ideologis. Ideologi yang dimaksud tak lain pemahaman ekstrem dari tafsir ajaran dan pemikiran agama yang sudah menjangkiti isi kepala pengikutnya. Kondisi ini diduga yang menjangkiti keluarga Dita, Anton, keluarga terakhir yang meledakan bom di Polrestabes Surabaya--identitas pelaku belum diungkap polisi.

“Kalau hanya dendam saja tak mungkin. Karena ada pemahaman ideologi itu, akhirnya mereka kuat sekali,” kata Ali.

Kejadian Baru di Indonesia

Pelibatan keluarga dalam teror bom ini tak hanya membuat Ali Fauzi yang tercengang. Begitu pula dengan Sidney Jones, peneliti terorisme dari Institute for Policy Analyst of Conflict (IPAC). Dalam tulisan terbarunya yang dipublikasi di The Intrepreter berjudul Surabaya and The ISIS Family, Jones menyebutkan kejadian merupakan hal baru.

“Kejadian seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya,” kata Jones.

Jones menjelaskan serangan yang diinisiasi ISIS ini berbeda dengan serangan yang diinisiasi JI. Jones merinci, JI hanya melibatkan pria dewasa dalam amaliyah yang mereka lakukan. Sedangkan perempuan tak pernah dilibatkan sebagai kombatan. Ada pun pelibatan anak, Jones mengatakan “Itu biasanya terjadi karena mereka telah menjadi yatim piatu.”

Sementara ISIS berkebalikan. Jones mengatakan ISIS sejak semula sudah menjadikan masalah teror ini berkaitan dengan keluarga. Khalifah ISIS meminta kepada seluruh pengikutnya untuk hijrah ke Suriah supaya ayah bisa bertempur dan ibu bisa melahirkan anak, mengajar, dan mengobati yang terluka, dan anak-anak bisa tumbuh dalam negara Islam yang sesungguhnya.

“ISIS berhasil mengubah konsep jihad menjadi urusan keluarga, dengan peran untuk semua orang. Perempuan adalah 'singa betina' anak-anak adalah 'anak singa'. Setiap orang diberi misi.” ucap Jones.

Secara terpisah, Ali Asghar selaku pengamat terorisme dari Pusat Kajian Keamanan Nasional (Puskamnas), menuturkan tentang dugaan faktor lain dalam serangan bom yang melibatkan keluarga ini. Penulis buku Men-Teroris-Kan Tuhan ini mengatakan pelibatan istri dan anak dilakukan terkait dengan teknis kesuksesan aksi.

Ia menyebut anak-anak tidak akan dicurigai saat mereka hendak beraksi di sebuah objek vital. Meski begitu, alumnus UIN Syarif Hidayatullah ini mengatakan, motif ini perlu pembuktian lebih lanjut.

“Dalam kasus ini memang sudah gila. Ini motif baru saya lihat sepanjang saya teliti kasus bom di Indonesia,” ujar Ali Ashgar.

Infografik HL teror Bom

Konteks Pelibatan Keluarga

Soal keterlibatan tiga keluarga di teror bom Surabaya dan Sidoarjo ini sebelumnya diungkap Kapolri Jenderal Tito Karnavian saat menggelar konferensi pers di Mapolda Jawa Timur, Senin siang. Tito merujuk aksi pertama yang dilakukan keluarga Dita Oeprianto di tiga gereja pada Minggu pagi dan kecelakaan di rusunawa yang melibatkan keluarga Anton Febriantono.

Tito menyebut Anton Febriantono merupakan teman dekat Dita Oeprianto. Keduanya aktif berkomunikasi dan pernah berkunjung ke Lapas Terorisme di Tulung Agung tahun 2016.

Sejauh ini, polisi masih melakukan penelusuran. Menurut Kapolda Jawa Timur Irjen Machfud Arifin, Polri sudah memiliki data terkait ketiga keluarga yang menjadi pelaku bom.

“Semuanya satu keluarga. Satu KK [kartu keluarga]. Di Rusunawa Sidoarjo, pelakunya bapak, ibu, dan anak. Tiga TKP [gereja], satu KK. Kejadian di Polrestabes Surabaya, korbannya ada empat, dalam satu KK,” kata Machfud.

Sepanjang aksi teror di Indonesia, jaringan teror yang melibatkan keluarga pernah terjadi dalam pembajakan Pesawat Garuda DC-9 Wolya pada 28 Maret 1981. Kala itu, Imransyah alias Imran, pemimpin kelompok Imran, mengajak serta adiknya Wendy untuk terlibat dalam insiden pembajakan itu.

Selang 22 tahun kemudian, kakak-beradik dari Lamongan, Jawa Timur yakni Ali Amrozi alias Amrozi bersama Ali Ghufron alias Mukhlas, Ali Imron, terlibat dalam serangan Bom Bali I. Dua di antaranya divonis mati, sedangkan Ali Imron dihukum pidana seumur hidup.

----

(Revisi 13 September 2018, pukul 20.41 WIB: Ada kesalahan nama dan universitas. Sebelumnya kamu menulis nama Ali Ashar dan UIN Sunan Kalijaga padahal seharusnya Ali Ashgar dan UIN Syarif Hidayatullah. Kami mohon maaf atas kesalahan ini)

Baca juga artikel terkait BOM SURABAYA atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Hukum
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Mufti Sholih