tirto.id - Ledakan bom mengguncang lima tempat di Jawa Timur dalam waktu kurang dari 48 jam. Tiga ledakan awal terjadi pada Minggu (13/5) pagi di Surabaya: Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela Jalan Ngagel, Gereja Kristen Indonesia Jalan Diponegoro, dan Gereja Pantekosta di Jalan Arjuna. Jumlah korban jiwa di tiga tempat itu hingga Senin (14/5) pukul 15.45 WIB mencapai 18 orang.
Yang keempat terjadi Minggu (13/5) malam di Rusunawa Wonocolo Blok B Lantai 5 mengakibatkan tiga orang tewas termasuk pelaku bernama Anton Ferdiantono. Ledakan kelima terjadi pada Senin (14/5) pagi di Mapolrestabes Surabaya membuat empat pelaku tewas, melukai empat anggota Polri, dan enam warga sipil.
Kapolri Jendral Tito Karnavian memberi sorotan khusus terhadap jenis bom yang digunakan para pelaku. Menurutnya para teroris menggunakan jenis bom yang hampir sama dengan yang sering digunakan kelompok teroris ISIS di luar negeri. Jenis bomnya adalah triacetone triperoxide (TATP).
“Bahan yang mudah diperoleh. Sangat terkenal di kelompok ISIS di Irak dan Suriah,” kata Tito dalam konfrensi pers di Mapolda Jawa Timur, Senin (14/5).
BOM TATP pernah digunakan empat orang ekstremis yang terafiliasi dengan ISIS saat melakukan bunuh diri di London pada 7 Juli 2005. Setelah meneror warga London, ISIS banyak menggunakan TATP sebagai senjata mereka. Dalam serangan pada 2015 di Paris dan tahun 2016 di Brussel yang diklaim ISIS, semua menggunakan peledak TATP yang dapat julukan Mother of Satan.
Julukan Mother of Satan (Ibu Setan) untuk bom jenis TATP karena daya ledaknya yang besar dan efek korbannya yang tanpa ampun. Banyak orang tewas akibat berbagai penggunaan bom ini.
Tito menegaskan, dalam peledakan di Jawa Timur, bom TATP yang digunakan kebanyakan berbentuk pipa dan kecil. Meski bentuknya kecil, bom dengan bahan dasar aseton peroxide ini sangat berbahaya. “Saking berbahayanya dikenal dengan The Mother of Satan, karena daya ledaknya tinggi, tapi sangat sensitif," katanya.
“Kalau yang lain harus pakai detonator, di sini dengan goncangan atau panas dia bisa meledak sendiri."
Namun, dalam kasus ledakan bom di kawasan Rusunawa Sidoarjo, keluarga teroris menjadi korban ledakan bom rakitan mereka. Dari barang bukti yang ditemukan polisi, ada switch pada pelaku yang diduga menjadi penyebab ledakan.
“Yang di rusunawa ada kesalahan dalam sistem switching sehingga meledak sendiri. Ini senjata makan tuan,” ujar Tito.
Mother of Satan Bukan Barang Mewah
Secara teori bom TATP cukup mudah untuk dirakit. Bahan bakunya berasal dari kebutuhan sehari-hari yang bisa dicari seperti pemutih. Saking mudahnya dibuat penyidik kesulitan untuk melacak gerakan para teroris.
Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Setyo Wasisto juga mengakui bom TATP bukanlah bom canggih. Hanya dengan sensor panas, bom bisa meledak. "Enggak canggih-canggih amat," katanya.
Setyo menegaskan, sejak dahulu bom ini sudah banyak digunakan. Namun, pelaku menggunakan bahan-bahan yang tidak sama satu sama lain. "Kreatif mereka," ujarnya lagi. "Jenis [bahan]nya saja beda."
Menurut Setyo, untuk mempelajari pembuatan bom TATP tidak sulit. Tata cara pembuatan bom TATP ini banyak disebar melalui akun-akun grup teroris. Sehingga meski pimpinan para teroris sudah banyak yang tertangkap, teroris masih terus bisa menghasilkan bom dengan daya ledak tinggi.
"Buat itu gampang, enggak perlu ke luar negeri juga bisa," katanya.
Mantan narapidana kejahatan terorisme, Ali Fauzi menyampaikan, kecanggihan perakitan bom oleh teroris di Indonesia malah cenderung menurun. Menurutnya, daya ledak bom Bali I dan bom Bali II jauh lebih kuat daripada TATP. "Bom Bali I itu mencapai 1 ton beratnya, sedang bom Bali II bisa 400kg," katanya pada Tirto.
"Kalau perakitan bom yang sekarang justru terbilang kecil."
Ali juga mengaku, penurunan kualitas bom teroris di Indonesia karena bahan baku pembuatan bom Bali lebih sulit daripada bom TATP. Bom TATP seharusnya lebih sulit digunakan karena seringkali gagal atau tidak sempurna.
Sebagai perbandingan, daya ledak bom di Mapolrestabes Surabaya tadi pagi tidak sebesar ledakan bom tiga gereja di Surabaya. Menurut Ali, ini karena perakitan yang tak sempurna atau pelaku peledakan tidak mengetahui cara kerja bom TATP dengan baik.
Meski tidak susah untuk merakit TATP, Ali tetap merasa bahwa pekerjaan utama Polri adalah mencari perakit bom. Ia menduga, perakit dan pasukan bunuh diri bukanlah orang yang sama. Jika perakit berhasil ditemukan, maka teror bom ini lebih besar kemungkinannya untuk berhenti.
"Kan ada itu di Sidoarjo yang bomnya malah meledak sendiri," katanya.
"Makanya itu kemungkinan perakitnya berbeda."
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Muhammad Akbar Wijaya