tirto.id - Debat pilpres 2019 ronde pertama berlangsung hambar. Memang tidak benar-benar basi, karena masih ada sedikit tonjokan, tapi seharusnya bisa lebih baik dari itu.
Dan yang paling bertanggung jawab atas kehambaran itu adalah penyelenggara debat. Aturan debat yang ditetapkan KPU terlalu kompromistis dengan timses kandidat menjadi pangkal persoalannya.
Mari kita bedah. Seperti perkiraan banyak orang, kisi-kisi pertanyaan yang dibocorkan membuat jawaban kedua kandidat terasa tidak orisinil. Kemampuan berpikir cepat yang seharusnya muncul pun pupus karena kandidat terpaku pada kisi-kisi jawaban yang sudah disiapkan. Ketajaman analisis digantikan oleh hapalan.
Belum lagi rumusan pertanyaan dari para panelis yang kelewat umum. Padahal seharusnya pertanyaan dibuat spesifik, jika perlu hingga menyebut kasus. Semakin spesifik pertanyaan, potensi jawaban yang mendetail pun lebih besar. Jika pertanyaan spesifik ternyata dijawab dengan abstrak, atau pernyataan sloganistik, kandidat dengan sendirinya akan tampak tidak siap.
Bicara kasus akan membuat jawaban tidak sebatas jargon. Bagaimana kita bisa mengukur visi misi rencana kandidat yang semuanya serba indah jika tidak dihadapkan pada situasi konkrit di lapangan? Bagaimana mengukur komitmen memperkuat KPK jika kasus serangan air keras terhadap penyidik KPK yang sudah 2 tahun terkatung-katung tidak dibahas? Semua bilang mau memberantas korupsi, tapi mengapa partai mengusung eks koruptor menjadi calon legislator?
Perdebatan juga seharusnya bisa berangkat dari pernyataan para kandidat sebelumya. Lihatlah salah satu pertanyaan yang muncul dalam debat perdana antara Donald Trump vs Hillary di AS: “Mr. Trump, this year Secretary Clinton became the first woman nominated for president by a major party. Earlier this month, you said she doesn't have, quote, ‘a presidential look’. She's standing here right now. What did you mean by that?”
Masa kampanye yang panjang ini kerap diisi oleh adu ngotot timses yang menafsirkan retorika jagoaan masing-masing. Debat capres adalah ajang agar para kandidat bisa langsung mengklarifikasi ucapan-ucapan lawannya. Hal itu membuat tiap capres hadir sebagai dirinya sendiri, dan tidak semata mengandalkan anak buahnya sebagai juru tafsir atau juru penerang ucapan-ucapan kontroversial.
Di sinilah pentingnya pertanyaan-pertanyaan yang spesifik: untuk mengklarikasi sekaligus membandingkan kandidat. Kita perlu pertanyaan yang bisa mengonstraskan antara 01 dan 02. Apa beda mereka? Siapa yang lebih mumpumi menjadi pemimpin tertinggi? “Why are you a better candidate?”
Tadi malam kita mendengar Jokowi mengatakan: “Hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu”. Sedangkan Prabowo menyebut: “Hukum tidak boleh tebang pilih.” Apa bedanya? Ketika retorikanya sama, dan tidak ada pertanyaan spesifik yang mengejar rincian, maka tidak terang pula siapa yang lebih siap dengan rencana konkrit.
Durasi debat pun diatur dengan kaku membuat kandidat tidak bisa secara spontan saling menanggapi. Perdebatan menjadi tidak cair, argumen tidak mengalir, kerap menggantung karena belum mencapai titik klimaks atau justru terhenti dengan jawaban "cukup". Peran moderator tidak lebih dari sekedar penjaga waktu tanpa keleluasaan untuk memberikan pertanyaan lanjutan.
Padahal menarik untuk tahu lebih lanjut topik-topik yang dibahas. Misalnya: "Jadi, apa skema konkrit penyelesaian kasus HAM masa lalu" saat Jokowi menegaskan bahwa ia tetap berkomitmen untuk itu? Atau ketika Prabowo menegaskan komitmennya terhadap KPK, akan penting jika ada pertanyaan tepat sasaran seperti: "Jadi apakah Anda melihat KPK itu lembaga permanen atau adhoc"?
Ada juga hal-hal diluar konten yang mengganggu jalannya debat. Penonton timses seharusnya tidak perlu berada di ruangan debat. Tidak ada manfaat apa pun yang diperoleh dari kehadiran mereka. Ini ajang adu gagasan, bukan adu yel. Posisi duduk tokoh-tokoh pendukung dan suporter yang berjejer di belakang paslon membuat kehadiran fisik para kandidat pun terganggu. Publik yang hendak memperhatikan gesture atau ekspresi muka para kandidat pun terganggu konsentrasinya oleh kehadiran para pendukung yang sedang asyik ngobrol sendiri atau secara demonstratif mengacung-acungkan papan nomer urut layaknya pendukung di stadion sepakbola.
Jauh-jauh hari Komisioner KPU mengatakan bahwa debat dirancang khusus agar tidak terjebak seperti acara TV show Tapi kesalahan KPU yang membuka kisi pertanyaan membuat debat ini terasa seperti kuis televisi. Moderator yang membawa fishbowl di atas panggung memberi kesan arisan pada debat resmi kenegaraan. Gaya demonstratif menunjukkan segel amplop pertanyaan menjadi menggelikan karena kandidat (yang sudah tahu pilihan pertanyaan) justru menjawab pertanyaan "rahasia" itu dengan melihat catatan.
Pertanyaan penutup yang mengarahkan kandidat untuk mengakhiri debat dengan saling mengapresiasi satu sama lain juga rasanya janggal. KPU tampaknya sedemikian khawatir bahwa publik akan rusuh jika jagoannya beradu argumen dengan keras sehingga merasa perlu untuk memadamkan potensi itu dengan mengatur para kandidat agar memuji satu sama lain.
Jika KPU tidak percaya dengan kapabilitas para kandidat atau kedewasaan publik yang mendukung salah satu pasangan, bukankah KPU sedang mendegradasi mutu Pilpres yang sedang mereka jalankan? Jadi siapa yang sebenarnya tersandera dan cemas?
Debat yang hambar, tidak menukik pada problem-problem substansial, bahkan memuat basa-basi keharusan saling memuji, membuat debat resmi semalam menjadi cermin betapa formalistiknya proses elektoral negeri ini. Debat memang bagian dari demokrasi, tapi jika debatnya kelewat hambar bukankah itu mencerminkan mutu demokrasi yang sedang berlangsung?
KPU punya kewajiban menjaga mutu pemilu di Indonesia, dan itu bisa dimulai dengan memperbaiki standar debat di ronde berikutnya.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.