Menuju konten utama

Daftar Potensi Dampak Ekonomi Imbas Perang Iran-Israel

Kenaikan harga minyak hingga volatilitas nilai tukar yang berimbas pada bertahannya era suku bunga tinggi jadi kekhwatiran di tengah konflik Israel-Iran.

Daftar Potensi Dampak Ekonomi Imbas Perang Iran-Israel
Foto selebaran yang dirilis oleh saluran Telegram resmi Korps Garda Revolusi (IRGC) Iran, Sepah News, pada 13 Juni 2025 dilaporkan menunjukkan asap mengepul dari lokasi yang menjadi sasaran serangan Israel di ibu kota Iran, Teheran, pada dini hari. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan dalam sebuah pernyataan video pada dini hari tanggal 13 Juni bahwa Israel melakukan serangan terhadap Iran dan operasi militer terhadap republik Islam itu akan "berlanjut selama beberapa hari yang diperlukan". (Foto oleh SEPAH NEWS / AFP)

tirto.id -

Peningkatan ketegangan geopolitik di Timur Tengah yang berujung pada penutupan Selat Hormuz memicu kekhawatiran besar terhadap dampaknya bagi perekonomian.

Pekan lalu, dalam konferensi pers APBN Kita edisi Mei 2025, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah mewanti-wanti berbagai dampak yang dapat memberikan pengaruh signifikan terhadap Indonesia: mulai dari kenaikan harga minyak yang dapat memicu pembengkakan subsidi energi hingga volatilitas nilai tukar yang berimbas pada bertahannya era suku bunga tinggi.

“Disrupsi dari sisi suplai menjadi sangat nyata, dan ini menyebabkan harga melonjak sangat tinggi. Ini akan menyebabkan bank sentral harus memperhitungkan kembali arah dan kecepatan kebijakan suku bunganya,” ujar Sri Mulyani, Selasa (17/6/2025).

Berikut sejumlah dampak ekonomi yang diwaspadai pemerintah dari memanasnya konflik Israel-Iran:

Subsidi Energi Membengkak

Kekhawatiran atas lonjakan harga minyak dunia bukan tanpa alasan. Selat Hormuz adalah jalur pelayaran penting bagi lebih dari 20 persen ekspor minyak mentah dunia. Jika selat tersebut ditutup atau terganggu akibat konflik militer antara Iran dengan Israel dan Amerika Serikat, pasar global akan mengalami kenaikan harga energi yang signifikan.

Pada hari pertama pecahnya perang antara kedua negara itu pada 15 Juni 2025, misalnya, harga minyak mentah Brent sudah mengalami kenaikan hingga 8 persen dari yang sebelumnya hanya berada di kisaran harga 70 dolar Amerika Serikat (AS) per barel.

"Untuk Brent, bahkan terjadi kenaikan lonjakan bahkan tertinggi sempat mencapai 78 US dolar per barel. Naik hampir sekitar 9 persen," kata Sri Mulyani.

Meski hingga pekan lalu rata-rata harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Oil Price/ICP) masih di kisaran 62,75 dolar AS per barel—di bawah asumsi makro APBN yang di angka 82 dolar AS per barel—, ekskalasi konflik terus diwaspadai pemerintah. Sebab, ancaman penutupan Selat Hormuz telah membuat harga minyak menyentuh titik tertingginya di tahun ini.

Pada perdagangan Senin (23/6/2025) pukul 11.22 GMT, harga minyak mentah Brent naik 1,88 dolar AS menjadi 78,88 dolar AS per barel. Sementara harga minyak West Texas Intermediate (WTI) terkerek 1,87 dolar AS menjadi 75,71 dolar AS per barel.

"Nanti dampaknya ke belanja subsidi dan kompensasi untuk energi, tidak hanya karena ICP-nya, tapi juga kursnya," jelas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Febrio Nathan Kacaribu dalam kesempatan sama.

Suku Bunga Tinggi
Tak hanya itu, situasi ini akan menciptakan tekanan inflasi tambahan dan memaksa bank bank sentral dunia, yang sebelumnya berencana mulai menurunkan suku bunga pada 2025, untuk menunda pelonggaran kebijakan moneter mereka.

Di tengah proyeksi perlambatan ekonomi global—dengan estimasi pertumbuhan hanya 2,3 persen pada 2025 versi Bank Dunia dan 2,8 persen versi IMF—serta tantangan eksternal yang semakin kompleks, pemerintah dihadapkan pada dilema besar antara menjaga pertumbuhan dan pengendalian inflasi, atau mengantisipasi gejolak harga energi dan arus modal yang tak menentu.

“Harusnya 2025 ini suku bunga mulai turun, tapi inflasi masih tinggi akibat harga komoditas melonjak karena perang. Dilema ini yang akan dihadapi banyak bank sentral dunia, termasuk Indonesia,” kata Sri Mulyani.

Dampaknya bagi Indonesia tentu akan signifikan. Sebab, jika suku bunga acuan tetap tinggi dalam waktu yang lebih lama, Bank Indonesia juga berpotensi menahan penurunan suku bunga. Kondisi ini akan berdampak langsung pada sektor riil, kredit usaha, serta konsumsi masyarakat.

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur bulanan Juni 2025, pun telah menyampaikan bahwa arah kebijakan suku bunga bank sentral ke depan akan sangat dipengaruhi oleh kondusivitas ekonomi dan geopolitik global.

“Tentu saja timing-nya akan kami lihat bagaimana kondisi global dan terutama terhadap stabilitas nilai tukar rupiah itu ya arah penurunan suku bunga ke depan,” kata Perry, Rabu (18/6/2025).

Penerimaan Negara

Selain tingkat suku bunga, Sri Mulyani juga menyoroti penerimaan negara dari sektor komoditas juga sangat rentan terhadap fluktuasi harga global akibat disrupsi rantai pasok.

Bendahara Negara menjelaskan, kontribusi pajak dari batu bara yang sempat menyumbang hingga 5 persen terhadap total penerimaan negara saat harga menyentuh level tertinggi pada 2022-2023, kini hanya tinggal 1 persen.

Padahal, penerimaan dari sektor energi seperti batu bara masih menjadi penopang penting dalam struktur fiskal Indonesia.

Demikian pula dengan harga minyak yang memiliki kontribusi sebesar 8-9 persen terhadap penerimaan.

“Jadi turunnya harga komoditas memberikan dampaik hampir 10 hingga 13 persen dari penerimaan negara. Ini yang harus kita jaga,” jelasnya.

Perdagangan Melemah

Sementara itu, kondisi perdagangan global juga menunjukkan tren yang melemah. Menurut IMF, pertumbuhan volume perdagangan internasional tahun ini hanya diproyeksi sebesar 1,8 persen, merosot dari 3,8 persen tahun lalu.

Bank Dunia bahkan memperkirakan pertumbuhan hanya 1,8 persen juga, turun dari 3,4 persen pada 2024. Ini berarti, permintaan global terhadap produk ekspor Indonesia, terutama dari sektor manufaktur dan komoditas, berpotensi menurun signifikan.

“Risiko bagi Indonesia sangat terlihat. Melemahnya ekonomi global bisa mempengaruhi permintaan ekspor kita. Bahkan saat harga komoditas naik, itu bukan karena keseimbangan supply-demand yang sehat, melainkan karena disrupsi,” ujar Sri Mulyani.

Baca juga artikel terkait KONFLIK ISRAEL-IRAN atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Insider
Penulis: Hendra Friana
Editor: Dwi Aditya Putra