tirto.id -
Pekan lalu, dalam konferensi pers APBN Kita edisi Mei 2025, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah mewanti-wanti berbagai dampak yang dapat memberikan pengaruh signifikan terhadap Indonesia: mulai dari kenaikan harga minyak yang dapat memicu pembengkakan subsidi energi hingga volatilitas nilai tukar yang berimbas pada bertahannya era suku bunga tinggi.
“Disrupsi dari sisi suplai menjadi sangat nyata, dan ini menyebabkan harga melonjak sangat tinggi. Ini akan menyebabkan bank sentral harus memperhitungkan kembali arah dan kecepatan kebijakan suku bunganya,” ujar Sri Mulyani, Selasa (17/6/2025).
Berikut sejumlah dampak ekonomi yang diwaspadai pemerintah dari memanasnya konflik Israel-Iran:
Subsidi Energi Membengkak
Pada hari pertama pecahnya perang antara kedua negara itu pada 15 Juni 2025, misalnya, harga minyak mentah Brent sudah mengalami kenaikan hingga 8 persen dari yang sebelumnya hanya berada di kisaran harga 70 dolar Amerika Serikat (AS) per barel.
"Untuk Brent, bahkan terjadi kenaikan lonjakan bahkan tertinggi sempat mencapai 78 US dolar per barel. Naik hampir sekitar 9 persen," kata Sri Mulyani.
Meski hingga pekan lalu rata-rata harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Oil Price/ICP) masih di kisaran 62,75 dolar AS per barel—di bawah asumsi makro APBN yang di angka 82 dolar AS per barel—, ekskalasi konflik terus diwaspadai pemerintah. Sebab, ancaman penutupan Selat Hormuz telah membuat harga minyak menyentuh titik tertingginya di tahun ini.
Pada perdagangan Senin (23/6/2025) pukul 11.22 GMT, harga minyak mentah Brent naik 1,88 dolar AS menjadi 78,88 dolar AS per barel. Sementara harga minyak West Texas Intermediate (WTI) terkerek 1,87 dolar AS menjadi 75,71 dolar AS per barel.
"Nanti dampaknya ke belanja subsidi dan kompensasi untuk energi, tidak hanya karena ICP-nya, tapi juga kursnya," jelas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Febrio Nathan Kacaribu dalam kesempatan sama.
Di tengah proyeksi perlambatan ekonomi global—dengan estimasi pertumbuhan hanya 2,3 persen pada 2025 versi Bank Dunia dan 2,8 persen versi IMF—serta tantangan eksternal yang semakin kompleks, pemerintah dihadapkan pada dilema besar antara menjaga pertumbuhan dan pengendalian inflasi, atau mengantisipasi gejolak harga energi dan arus modal yang tak menentu.
“Harusnya 2025 ini suku bunga mulai turun, tapi inflasi masih tinggi akibat harga komoditas melonjak karena perang. Dilema ini yang akan dihadapi banyak bank sentral dunia, termasuk Indonesia,” kata Sri Mulyani.
Dampaknya bagi Indonesia tentu akan signifikan. Sebab, jika suku bunga acuan tetap tinggi dalam waktu yang lebih lama, Bank Indonesia juga berpotensi menahan penurunan suku bunga. Kondisi ini akan berdampak langsung pada sektor riil, kredit usaha, serta konsumsi masyarakat.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur bulanan Juni 2025, pun telah menyampaikan bahwa arah kebijakan suku bunga bank sentral ke depan akan sangat dipengaruhi oleh kondusivitas ekonomi dan geopolitik global.
“Tentu saja timing-nya akan kami lihat bagaimana kondisi global dan terutama terhadap stabilitas nilai tukar rupiah itu ya arah penurunan suku bunga ke depan,” kata Perry, Rabu (18/6/2025).
Penerimaan Negara
Bendahara Negara menjelaskan, kontribusi pajak dari batu bara yang sempat menyumbang hingga 5 persen terhadap total penerimaan negara saat harga menyentuh level tertinggi pada 2022-2023, kini hanya tinggal 1 persen.
Padahal, penerimaan dari sektor energi seperti batu bara masih menjadi penopang penting dalam struktur fiskal Indonesia.
Demikian pula dengan harga minyak yang memiliki kontribusi sebesar 8-9 persen terhadap penerimaan.
“Jadi turunnya harga komoditas memberikan dampaik hampir 10 hingga 13 persen dari penerimaan negara. Ini yang harus kita jaga,” jelasnya.
Perdagangan Melemah
Bank Dunia bahkan memperkirakan pertumbuhan hanya 1,8 persen juga, turun dari 3,4 persen pada 2024. Ini berarti, permintaan global terhadap produk ekspor Indonesia, terutama dari sektor manufaktur dan komoditas, berpotensi menurun signifikan.
“Risiko bagi Indonesia sangat terlihat. Melemahnya ekonomi global bisa mempengaruhi permintaan ekspor kita. Bahkan saat harga komoditas naik, itu bukan karena keseimbangan supply-demand yang sehat, melainkan karena disrupsi,” ujar Sri Mulyani.
Editor: Dwi Aditya Putra
Masuk tirto.id







































