tirto.id - “Ada satu dosa yang paling aku takuti dibandingkan dosa lainnya. Certainty [Rasa yakin],” ucap Kardinal Thomas Lawrence (Ralph Fiennes), dekan yang berwenang mengatur pemilihan paus baru dalam film Conclave (2024).
Di sesi renungan hari pertama konklaf, Lawrence melemparkan homili yang menjelma bom kejut. Suasana sinode (pertemuan resmi para pemimpin Katolik) dibuat hening. Nyaris tiada majelis kuria yang mampu menyembunyikan kernyit dahi, tanda syak tergurat. Tidak meledak-ledak, melainkan tegang mengalun bercampur baur. Semua pasang mata tertuju menghadap khotbah agung di tengah mimbar Kapel Sistina.
Setelah menghela napas, Lawrence melanjutkan, "Iman adalah sesuatu yang hidup. Sebab, ia berjalan beriringan dengan keraguan. Andai hanya ada keyakinan dan tak ada keraguan, bisa dipastikan hidup tak memiliki misteri. Dan karenanya, maka iman tak lagi diperlukan."
“Marilah kita berdoa kepada Tuhan untuk menganugerahkan kepada kita seorang paus yang ragu-ragu,” begitulah Lawrence menutup homilinya.
Conclave merupakan film adaptasi novel karangan Robert Harris berjudul sama. Film ini mencoba menguliti konflik yang berkelindan dalam momen krusial: konklaf, pemilihan paus baru.
Gaya pengisahannya mirip skenario reality show yang klise. Ia serupa program tayangan televisi Penghuni Terakhir(2004–2011) yang sempat jadi primadona ibu-ibu kompleks; penuh gosip dan rumor yang menyebar dari mulut ke hati; dibungkus dalam pola repetitif, tetapi senantiasa menghibur.
Meski begitu, toh rupanya Conclave mampu menyabet 8 nominasi Oscar 2025. Artinya, ia lebih dari sekadar film komersial. Di dalamnya memuat setumpuk misteri dan drama yang memboyong penonton meretas kode rahasia. Ialah “seni” yang melambung tinggi, mengeruk kedongkolan dan ruang sempit imajinasi.
Representasi Kemewahan Vatikan: Intrik, Konspirasi, dan Kontroversi
Mutu visual ialah aspek kemewahan yang paling menonjol. Sang sutradara, Edward Berger, membawa penonton berjalan meliuk-liuk melewati koridor marmer Kota Vatikan. Dia menunjukkannya dengan cara luar biasa. Karakter kamera terjaga layak disebut sebagai the art of delay. Konsep visual yang sama juga dilibatkan dalam karya sebelumnya, All Quiet on the Western Front (2022).
Berger mampu menjaga keseimbangan bentuk harmonis antara fokus penyorotan statis dan aksi yang tepat. Misalnya, sorot tajam kamera merekam ritual konklaf di dalam kapel yang mirip amfiteater, ketika para kardinal saling berhadapan di meja panjang yang mengapit ruangan. Momentum sinematik dalam tatap mata sayu yang bertolakan tak luput dari tangkapan kamera. Hening, tanpa suara dan distraksi. Itulah daya pikatnya.
Bagi pemerhati misa dan gereja, film ini setidaknya menyuguhkan hidangan yang istimewa: estetika.
Sesekali, kamera berhenti di kamar tidur sesunyi makam, menempatkan satu objek di tengah bingkai dengan lugu dan kaku. Sang sutradara seolah menuntun penonton pelan-pelan, merangkak menuju gua rahasia terdalam hati manusia. Perjalanan itu melelahkan, tetapi di sisi lain juga melegakan, seakan durasi dua jam yang berlalu hanyalah bom waktu yang gagal meledak.
Gaya dan animo yang khas dari Robert Harris begitu kentara. Selain Conclave, satu novel lainnya juga telah diadaptasi menjadi film The Ghost Writer(2010). Kemiripan keduanya bisa dilihat dari kepiawaian sang penulis menutur kisah yang menyimpan rahasia dan misteri, membungkusnya dengan kegamangan maupun tekanan.
Film Conclave menemukan keterhubungannya dengan mahakarya Dan Brown, The Da Vinci Code (2003), yang mengendap pelan seperti hendak blusukan di semak-semak konspirasi. Dengan tempo dan pacuan yang lambat, samar-samar, tetapi kaya simbol.
Situasi percakapan antaraktor tidak terjadi di sebuah ruangan gelap atau sudut sepi yang mengharuskan sembunyi-sembunyi. Sebaliknya, keadaan fokus justru mampu mengubah artikulasi yang jelas menjadi sebuah gumaman, yang tersimpan rapat di dalam diri, dan sebagian besar terjadi secara natural. Dialognya jarang mengarah ke eksposisi. Ketika beberapa karakter menepuk dada dan mengusap kepala, penonton dibiarkan berinterpretasi sendiri.
Penonton dipaksa “sabar” layaknya massa di alun-alun Basilika St. Petrus yang menggantungkan harapan pada cerobong asap gereja. Kepulan asap yang membumbung hitam berarti konklaf belum berbuah hasil. Yang mereka tunggu adalah asap putih, yang menandakan paus baru akan segera ditahbiskan. "Habemus Papam!", yang artinya “Kita punya paus!” segera menggema. Padahal, konklaf bisa berlangsung berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Namun, dalam film, konklaf digambarkan berlangsung tidak lebih dari seminggu.
Perhatian lebih ditujukan pada kecermatan tata busana. Jubah mulia yang dikenakan majelis kuari didominasi warna merah merona. Topi uskup zucchetto, yang mungil dan mungkin terlihat sesak sebab tak sampai menutup dahi, bagaimanapun berhasil menjadi identitas paling melekat di setiap kardinal.
Rajah megah dan mewah, dinding berukir Renaisans dalam Kapel Sistina, disorot cukup detail. Kemolekan pena, yang tampak saban masa menulis surat suara di atas kertas tebal Eligo in Summum Pontificem, juga tak luput dari tangkapan lensa. Demikian pula panci logam kotak suara yang berbunyi tung! setiap kali ditutup. Kesemuanya merupakan potret yang mendekati akurat dengan skema konklaf di dunia nyata.
Selama proses konklaf, seluruh kardinal dari berbagai negara berkumpul, lalu dikarantina. Mereka akan diasingkan dari dunia luar, dilarang menggunakan perangkat elektronik apa pun. Seluruh jaringan sinyal diputus. Karena itu, konflik sejati baru saja akan terjadi, yakni intrik dan konspirasi.
Sepanjang film, penonton akan berhadapan dengan bermacam kabar burung yang menyebar serupa jamur dan spora. Meskipun konklaf dihelat tertutup dan klandestin, kampanye hitam dan politik yang problematik sukar dihindari.
Film ini menggambarkan otoritas gereja Katolik yang masih bercela, lekat dengan keduniawian, serta agitasi dan propaganda untuk merebut "tahta suci".
Gereja Baru, Harus Maju
Cerita Conclave berfokus pada Thomas Lawrence, seorang tua, yang diutus oleh mendiang paus sebelumnya untuk memimpin suksesi konklaf. Padahal, beberapa waktu sebelum paus meninggal, dia terpikir untuk meninggalkan ordo lantaran memiliki keraguan besar. Bukan terhadap Tuhan, melainkan Gereja.
Lawrence adalah pria paruh baya dengan karakter seorang manajer dan organisator. Caranya mengatur kelompok terbilang tulus dan hati-hati—cenderung menutup diri—dengan pendekatan halus dan penuh pertimbangan. Dia beserta kardinal lainnya tampak mengalami konflik pribadi yang disebut “krisis keyakinan”. Suasana hatinya naik turun, bahkan hingga saat-saat pemilihan suara konklaf berakhir.
Sebagai aktor kawakan, Ralph Fiennes memang piawai memerankan tokoh penuh ekspresif. Karakter Lawrence yang dibawakannya terasa nyata. Penonton dibuat hanyut karenanya. Kesedihan, ketegangan, dan beban-beban jatuh yang hampir menimpa seseorang seperti batu kilangan.
Salah satu yang paling berkesan, selain substansi homili suci, adalah caranya menatap lukisan di langit-langit Kapel Sistina. Dia termangu di hadapan karya Michelangelo “The Last Judgement”, khususnya pada sosok pria bungkuk dan tampak putus asa, yang jiwanya dikutuk serta diseret ke neraka oleh setan. Tangkapan itu memperlihatkan kekacauan spiritual Lawrence, sebuah ekskavasi batin yang mengundang pertanyaan lebih dalam—teologi, organisasi—terhadap otoritas Gereja.
Keresahan tersebut bukanlah pertanyaan eksklusif yang hanya dimiliki para kardinal, melainkan juga siapa pun yang berusaha menyokong iman dan pengetahuan. Apakah otoritas Gereja—yang dalam hal ini bermandataris paus—harus dibangun dalam konsesi tradisionalisme, moderat, atau justru progresif?
Dalam skala pengetahuan, progresivitas menjelma dua kubu: konservatif vis-à-vis modernisme. Keduanya akan saling bertentangan, terutama jika bersinggungan dalam prinsip hierarki Gereja. Konservatif dianggap kolot dan positivistik, sementara modernisme mampu berpikir maju dan terbuka terhadap hal-hal baru yang boleh jadi dianggap tabu.
Klimaks dari kontroversi pengetahuan ini adalah interseksualitas dalam genealogi paus; perdebatan yang cenderung “dihindari” dalam narasi sejarah gereja. Pembahasan semacam ini dapat memicu distorsi pemahaman tradisional tentang gender dalam dogma Katolik Roma.
Sebagai film bercorak Katolik, proyek ini dirasa gagal menampilkan "tujuan" keberadaan gereja. Di mana khusyuk dan takzim pastor dan uskup yang sering kita temui memberkati jemaat? Di mana posisi Kristus dalam upacara liturgi gerejawi sepanjang film? Rasa-rasanya, penonton hanya berjubel pada kondisi yang sama: potret kardinal dalam konklaf yang panjang dan membosankan.
Conclave lebih pantas disebut film politik. Ia sarat simbol progresivitas masyarakat liberal, seperti dominasi hierarki, patriarki, bahkan isu LGBTQ+.
Film-film seperti ini jelas tak luput dari cekalan massa radikal: blasphemy. Kecaman dan protes datang silih berganti, terutama dari umat Katolik. Film ini dituduh menistakan agama oleh media Catholic Review dan Missio Dei, dianggap menyempal dari dasar-dasar fundamental Katolik, menempatkan gereja dalam sudut pandang yang sangat tidak diuntungkan. Tak ayal bila film ini dilarang tayang di lokus utamanya, Vatikan.
Uskup Robert Barron dari Keuskupan Winona-Rochester telah mengutuk film tersebut “anti-Katolik” dengan slogan “woke”. Dia mengkritik fokus tema dan agenda besar di belakang pembuatan film ini, yang dianggap bertentangan dengan dogma gereja.
Dengan pertimbangan ranah intrik politik, ada alasan mendasar perempuan tak dapat menduduki jabatan pendeta Katolik Roma. Dogma Roma mengajarkan bahwa orang yang merayakan misa berdiri di tempat Kristus untuk mempersembahkan roti dan anggur sebagai kurban. Realitas biologis, setidaknya bagi Gereja Katolik Roma, benar-benar penting.
Interpretasi bahwa interseksualitas jadi isu paling menohok dalam film ini berujung untaian provokatif. Bagaimana reaksi umat Katolik apabila seorang individu interseks dipilih menjadi pemimpin tertinggi mereka? Kendati secara teknis terdapat pengecualian yang mengukuhkan prosedural teknis—dalam film ini disebut in pectore—skenario tersebut tetap sangat sulit diterima oleh norma dan tradisi Vatikan.
Meski begitu, mengesampingkan kontroversi yang ada, film ini membuka wawasan tentang kesucian dan kearifan jiwa. Vincent Benitez, paus baru dalam Conclave, memilih julukan “Innocentius” yang berarti murni atau tidak bersalah.
Benitez ialah seorang yang menjunjung perdamaian, antiperang, dan simbol toleransi antarumat beragama. Sesi liturginya saat memberkati jamuan makan malam adalah detail paling kentara dan haru untuk mengetahui karakter ini. Dia tidak hanya memberkati kardinal yang hadir seisi aula, melainkan juga kaum marginal yang tak berkesempatan berbagi makanan bersama mereka, atau pihak-pihak yang selama ini berkontribusi terhadap gereja, tetapi luput dari apresiasi.
Sebagaimana pesan Paus Fransiskus yang baru saja meninggal Senin (21/4/2025) lalu, “Tugas kita adalah menyuarakan mereka yang tidak mampu bersuara [korban pelanggaran berat HAM]. Ingatlah, inilah tugas kita: turut memperjuangkan keadilan, seperti para Madres Plaza de Mayo di Argentina yang berani menghadapi kediktatoran demi kebenaran dan keadilan,” kutipan Paus Fransiskus saat pertemuan privat dengan Jesuit Indonesia, 4 September 2024.
Conclave hadir sebagai manifestasi atas keragu-raguan terhadap Gereja, yang sejujurnya penuh ambisi dan intrik politik. Gereja bukanlah tradisi atau masa lalu. Gereja adalah apa yang umat manusia “lakukan” di masa mendatang.
Sisi manusiawi dan kontroversi yang penuh keragu-raguan dalam konklaf merupakan wujud kehadiran Roh Kudus atas doa-doa yang terpanjat. Manusia dalam film ini digambarkan sebagai orang-orang kecil yang picik dan hanya memikirkan dirinya sendiri.
Tetapi, Tuhan maha berdaulat dan berkuasa, mengejawantah sebagai pencerah. Tuhan adalah cahaya terang yang menuntun hamba-Nya ke arah mana pun yang Dia inginkan.
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Fadli Nasrudin