tirto.id - Chili memiliki hubungan unik dengan diaspora Palestina yang terbentuk oleh gelombang migrasi. Negara ini setidaknya dihuni 500.000 warga keturunan Palestina.
Sejumlah seniman, politikus, dan aktivis di Chili aktif mengadvokasi hak-hak warga Palestina, termasuk berpartisipasi dalam demonstrasi dan berbagai konser amal untuk mengumpulkan dana bagi Gaza yang tengah digempur Israel.
Selain Bolivia, Brasil, dan Kolombia, Chili dikenal lantang menentang pendudukan dan serangan brutal Israel di Jalur Gaza. Baru-baru ini, Presiden Chili, Gabriel Boric, menarik duta besarnya untuk Israel sebagai bentuk kecaman.
Lain itu, sepak bola menjadi salah satu alat perjuangan identitas diaspora Palestina di Chili yang diwakili Club Deportivo Palestino. Klub ini melakukan sinergi dengan para pendukungnya dalam mengekspresikan kecintaan terhadap olahraga dan Palestina, menjadikan slogan-slogan seperti Free Palestine sebagai bagian dari keseharian.
Pada 2014, sebagai respons terhadap serangan Israel ke Jalur Gaza, mereka mendesain ulang seragam dengan menyertakan peta Palestina sebelum tahun 1948 lewat nomor punggung, sehingga menimbulkan protes dari komunitas Yahudi.
Akibatnya mereka disanksi $15000 oleh PSSI-nya Chili, Asociación Nacional de Fútbol Profesional (ANFP). Di sisi lain, jersey ini laris manis diburu penggemar.
Pada lanjutan Liga Chili pekan ini melawan Ñublense di Stadion Nelson Oyarzún Arenas, Club Deportivo Palestino melakukan silent minute dengan menekuk lutut untuk menghormati para korban Gaza.
Club Deportivo Palestino bukan hanya klub sepak bola, tetapi sebuah tim yang didirikan sebagai bukti identitas Palestina yang abadi dan menantang segala narasi palsu Israel.
Alasan yang Mencerminkan Asal-usul Palestina
Club Deportivo Palestino saat ini berada di peringkat empat Liga Chili. Mereka memiliki stadion kandang Estadio Municipal de La Cisterna yang didirikan pada 1988, berkapasitas 8000 penonton.
Sejarah klub bermula pada awal abad ke-20 ketika gelombang migrasi besar-besaran orang Palestina melanda Amerika Latin, termasuk Chili. Mereka tidak hanya membawa warisan budaya, tetapi juga kecintaan terhadap sepak bola.
Dikutip dari laman resmi klub, pada 20 Agustus 1920 sekelompok imigran yang terinspirasi oleh semangat kebersamaan dan hasrat untuk memperkenalkan elemen budaya Palestina di tengah masyarakat yang baru, berkumpul di kota Osorno, Chili, untuk mendirikan sebuah klub sepak bola. Klub ini diberi nama Club Deportivo Palestino, yang berarti Klub Olahraga Palestina.
Pemilihan nama ini bukan kebetulan, melainkan manifestasi keinginan mereka untuk mempertahankan akar budaya, termasuk dalam memilih warna hijau, putih, merah, dan hitam sebagai warna klub, yang merupakan warna bendera Palestina.
"Mereka pikir salah satu cara terbaik untuk membuat Palestina terlihat adalah dengan menciptakan klub sepak bola profesional, sehingga Palestina akan muncul di surat kabar setidaknya sekali seminggu," ujar anggota komunitas Palestina-Chili, Diego Khamis, kepada Al-Jazeera.
Proses pendirian Club Deportivo Palestino tidaklah mudah. Para pendiri menghadapi berbagai tantangan, termasuk diskriminasi.
Mereka sering dilabeli dengan sebutan "Turco" atau orang Turki, istilah yang mengacu pada dokumen perjalanan orang-orang Ottoman dan label itu ada kesan merendahkan. Orang-orang Palestina juga sering dipaksa untuk mengasimilasi ke dalam budaya Chili.
Seiring waktu, Club Deportivo Palestino tumbuh dan berkembang menjadi salah satu kekuatan dalam sepak bola Chili. Mereka pada mulanya hanya bermain di liga-liga lokal.
Pada 1955, klub ini menjadi juara liga sepak bola nasional Chili untuk pertama kalinya.
Komunitas Palestina di Chili
Diaspora Arab di Amerika Latin, khususnya di negara-negara seperti Brasil, Argentina, Honduras, Chili, dan Kolombia, menghasilkan sejumlah besar keturunan Arab yang berintegrasi ke dalam berbagai sektor masyarakat.
Mereka memberikan kontribusi yang signifikan tidak hanya di bidang politik, tetapi juga di bidang lain seperti sastra, akting, dan musik. Kegiatan ekonomi mereka, khususnya di bidang perdagangan dan tekstil, membentuk pusat kota dan berkontribusi terhadap pembangunan wilayah secara keseluruhan.
Proses akulturasi di kalangan imigran Arab di Amerika Latin berhasil karena beberapa faktor seperti keyakinan Kristen, kesediaan untuk mengadopsi bahasa dan adat istiadat setempat, serta perkawinan campur dengan penduduk lokal.
Meskipun pada awalnya menghadapi ketegangan ras dan budaya, komunitas Arab di Amerika Latin kemudian terintegrasi dan menghasilkan beberapa pemimpin politik yang sukses. Contohnya Presiden Brasil Michel Temer dan Presiden Argentina Carlos Saul Menem.
Jumlah penduduk keturunan Arab di Amerika Latin diperkirakan mencapai 8 juta orang, sumber lain menyebut jumlahnya mencapai 25-30 juta orang. Meskipun telah menyatu dengan masyarakat setempat, identitas Arab masih terjaga dalam keturunan mereka.
Pengaruh diaspora Palestina berperan penting terhadap geopolitik kontemporer, seperti hubungan Venezuela dengan Iran dan Suriah, serta komunitas Kristen Palestina yang kuat di Chili.
Orang Palestina pertama kali datang ke Chili pada 1858, melarikan diri dari Perang Krimea. Sebagian besar dari mereka menganut Kristen Ortodox yang berasal dari empat desa: Belen, Beit Jala, Beit Sahour, dan Beit Safafa dengan profesi harian sebagai petani, pedagang, dan pengrajin.
Faktor lainnya, seperti Perang Dunia I, runtuhnya Kesultanan Ottoman, pendirian Mandat Inggris di Palestina, persaingan politik dan ekonomi dengan imigran Zionis, serta pendirian Negara Israel juga memengaruhi emigrasi orang Palestina ke Chili pada gelombang kedua dan ketiga.
Terdapat beberapa kasus di mana orang Palestina mengira mereka akan pergi ke Amerika Serikat, tetapi akhirnya berakhir di Amerika Latin karena kecurangan agen perjalanan.
Lain itu, menurut Nancie González dalam Dollar, Dove, and Eagle: One Hundred Years of Palestinian Migration to Honduras (1992:31), banyak orang Palestina yang telah melakukan emigrasi sebelumnya ke Amerika Latin, lalu anggota keluarga mereka mengikutinya.
Diaspora Palestina banyak menetap di lingkungan Patronato di Santiago.
"Mereka memiliki pengaruh besar dengan keterwakilan politik yang memegang 10 persen kursi senat, 11 persen majelis rendah, dan beberapa pemimpin dewan lokal, tulis Christine Legrand dalam kolomnya di The Guardian.
Sebagian besar identitas Arab mereka diserap ke dalam budaya Chili. Sepak bola dianggap sebagai salah satu cara untuk mengintegrasikan diri dan melestarikan warisan Palestina.
Prestasi, Dampak Sosial, dan Budaya Klub
Club Deportivo Palestino sangat populer di kalangan warga Palestina maupun orang-orang yang mendukung hak-hak mereka. Pada 1952, klub ini promosi ke Divisi Dua sekaligus peralihan status klub yang mendapat pengakuan dari yang semula amatir menjadi profesional.
Di akhir kompetisi, mereka memenangkan Kejuaraan Divisi Dua dan berhak naik ke Divisi Utama. Tiga tahun mengarungi kompetisi, perjuangan mulai membuahkan hasil saat merengkuh tropi kejuaraan nasional Chili untuk pertama kali pada 1955.
Keberhasilan klub pada waktu itu menjadi sangat penting bagi komunitas Palestina di Chili yang sedang berjuang untuk hak-hak mereka. Terlebih setelah Tragedi Nakba, pengusiran warga Palestina secara besar-besaran.
Warsa 1974, mereka memenangkan Piala Chili untuk pertama kali usai mengandaskan perlawanan Lota Schwager 4-0 di hadapan 53 ribu penonton yang memadati Stadion Nasional Chili.
Di bawah kepemimpinan Elias Figueroa, Club Deportivo Palestino meraih Piala Chili kedua kalinya pada 1977 dan memastikan satu tempat di Copa Libertadores satu tahun kemudian setelah menjuarai Liga Chili.
Pada 2014, mereka kembali ke Copa Libertadores setelah 36 tahun absen. Kali ini mendapatkan jatahnya lewat kemenangan di Liga Pra Libertadores. Di tahun ini, klub juga mendapat pengakuan dari Presiden Mahmoud Abbas yang menyebutkan mereka sebagai “Tim Nasional Palestina yang kedua”.
Prestasi internasional terbaik mereka sejauh ini ialah lolos ke perempat final Copa Sudamericana usai menyingkirkan Flamengo dari Brasil pada 2016. Di perempat final mereka kandas oleh wakil Argentina, San Lorenzo, dengan agregat 2-1.
Di luar kompetisi, klub memiliki program sosial dan pendidikan yang bertujuan untuk membantu anak-anak Palestina dan keluarga mereka di Chili. Program-program ini mencakup pelatihan sepak bola gratis, dukungan kesehatan dan pendidikan, serta dukungan untuk pengungsi Palestina di Chili.
Saat pandemi Covid-19 dan bertepatan dengan perayaan 100 tahun keberadaannya, klub meluncurkan tur virtual mencakup keliling stadion, area pergantian pemain, hingga seragam kebanggan dari berbagai generasi.
Club Deportivo Palestino berperan penting dalam sejarah komunitas Palestina di Amerika Latin. Ia lahir dari semangat dan dedikasi untuk merayakan budaya, simbol harapan, daya juang, sekaligus identitas Palestina di tanah asing.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi