tirto.id - Ketika Perang Dunia II berakhir, kondisi finansial negara-negara Eropa sangat lemah. Sebagian besar bahkan harus membangun kembali tatanan ekonominya dari dasar. Masalah ini juga dialami Amerika Serikat sehingga Presiden Franklin D. Roosevelt mempertimbangkan berbagai cara agar perekonomian negaranya bangkit. Sekali waktu, Roosevelt mengundang seorang pemimpin Zionis Israel kelahiran Rusia yang juga ahli biokimia. Agenda pertemuan membahas kemungkinan produksi karet sintetis.
Menurut ahli biokimia itu, Amerika Serikat punya banyak ladang jagung yang bisa memproduksi butil alkohol. Bahan itu bisa diubah menjadi butilena dan selanjutnya menjadi butadiena, yang merupakan bahan dasar untuk memproduksi karet. Ahli biokimia tersebut bernama Chaim Weizmann.
Weizmann tidak hanya dikenal di dunia sains, ia juga beken di kalangan politikus. Salah satu peristiwa yang membuat namanya semakin dikenal adalah di masa awal PD II, ia sempat mengirim surat kepada Neville Chamberlain, Perdana Menteri Inggris. Dalam surat itu Weizmann menyebutkan bahwa ia dan teman-temannya menyatakan dukungan kepada Inggris Raya dan bersedia ikut perang atas nama demokrasi.
Surat itu menimbulkan kecurigaan banyak pihak akan adanya upaya perang terbuka bangsa Yahudi melawan Jerman. Apalagi ketika ia diangkat menjadi penasihat bagi perdana menteri untuk urusan perbekalan dan strategi. Namun kecurigaan itu tidak pernah benar-benar terbukti.
Bergabung dengan Zionis
Hubungan Weizmann dengan Jerman dimulai pada tahun 1892 ketika ia meninggalkan kampung halamannya di Motal, wilayah Belarusia, dan menuju Darmstadt. Sebagai anak ke-3 dari 15 bersaudara, Weizmann harus bekerja paruh waktu untuk membiayai kuliahnya di Jerman dan untuk makan sehari-hari. Pekerjaannya kala itu sebagai guru bahasa Hebrew di sebuah institut pendidikan Yahudi.
Dua tahun kemudian ia pindah ke Berlin untuk kuliah di Technische Hochschule Berlin. Di sanalah untuk pertama kalinya Weizmann bergabung dengan kelompok intelektual Zionis. Meski gagal datang ke kongres Zionis pertama pada 1897, namun ia sempat menghadiri kongres Zionis kedua di Basel pada 1898. Di masa itu, Weizmann tengah fokus menyusun proposal pendirian lembaga pendidikan tinggi Yahudi di Palestina. Pada 1901, upaya penyusunan itu ia presentasikan bersama dengan Martin Bubel dan Berthold Feiwel pada kongres Zionis ke-5.
Inti proposal Weizmann menyoroti kebutuhan mendesak akan sebuah lembaga penelitian dan pendidikan khusus terutama di bidang sains dan teknik. Idenya itu di kemudian hari terwujud dalam pendirian Technion, Israel Institute of technology, pada 1912.
Meski semakin terlibat dengan aktivitas Zionis, Weizmann tidak meninggalkan kampusnya. Pada 1899 ia sukses meraih PhD dalam bidang kimia organik. Ia pun langsung ditawari pekerjaan di Departemen Kimia Organik di Universitas Jenewa sebagai asisten dosen.
Setelah tiga tahun di Jenewa, Weizmann pindah ke Inggris untuk menjadi dosen senior di Universitas Manchester. Keputusannya pindah ke Inggris berkontribusi besar dalam membuka jalannya di bidang politik hingga mengantarnya menjadi Presiden Israel.
Ia berkenalan dengan Perdana Menteri Inggris, Arthur Balfour. Perkenalan ini terjadi atas andil Charles Dreyfus, direktur perusahaan Clayton Aniline Company. Seperti sejak pertama kali tiba di Inggris, ia tak lagi menyebut dirinya Chaim, tapi mengubahnya menjadi Charles Weizmann. Nama inilah yang terus ia gunakan ketika mendaftarkan hak paten untuk sekitar 100 penelitian sains. Nama ini juga yang menjadi salah satu nama dalam daftar yang dibuat tentara Nazi ketika merencanakan invasinya ke Inggris.
Menjadi Presiden Israel
Charles Dreyfus kala itu menjabat sebagai Presiden Manchester Zionist Society. Karena pergaulannya dengan komunitas Yahudi di Manchester, Weizmann memutuskan menjadi warga negara Inggris. Pada 1910, ia resmi memegang paspor Inggris karena dokumen yang diperlukan akhirnya ditandatangani oleh Winston Churchill yang kala itu menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri. Setelah itu, bersama keluarganya, Weizmann tinggal di Manchester selama 30 tahun. Mereka juga sempat tinggal di London untuk sementara waktu ketika Perang Dunia II pecah.
Perjuangan Zionis terus berlangsung semasa Weizmann menetap di Inggris Raya. Sejumlah sejarawan menganggap posisi Weizmann unik karena ia berada jauh di luar pusat perjuangan Zionis. Apalagi, Weizmann bukan murni politikus. Namun, ia berhasil merangsek masuk ke posisi paling utama.
“Laki-laki yang mengambil posisi penting dalam pembentukan masa depan Timur Tengah, Dr. Chaim Weizmann, berada jauh dari pusat-pusat peristiwa penting. Ia tak pernah ada di pusat meski terlibat sejak pembentukan gerakan Zionis sejak awal sekali,” tulis T.G. Fraser dalam The Makers of the Modern Middle East (2011:52).
Weizmann nyatanya benar-benar jadi tokoh kunci bagi perjuangan Zionis untuk mendapatkan tanah permanen yang merdeka. Perjuangan mereka berujung pada konstelasi baru dalam kehidupan politik Timur Tengah, yakni pembentukan Israel.
Dua hari setelah Israel diproklamasikan, Weizmann naik menduduki kursi pimpinan kolektif yang akan membentuk pemerintahan Israel yang lebih solid. Ia menggantikan David Ben-Gurion, yang merupakan salah satu tokoh paling penting dalam Zionisme.
Sebelum proklamasi Israel, Weizmann bahkan sempat bertemu dengan Presiden AS Harry Truman pada Maret 1948. Pertemuan mereka mendiskusikan perlunya pembentukan sebuah negara Yahudi. Pertemuan ini menjadi faktor penting yang mempercepat upaya pembentukan Israel.
Akhirnya, pertemuan pertama Knesset--semacam legislatif Israel--digelar pada 1949. Dalam pertemuan itu Weizmann dinominasikan sebagai calon presiden negara Israel. Di sisi lain, Partai Revisionis mengajukan nama Prof. Joseph Klausner sebagai kandidat. Pada 17 Februari 1949, tepat hari ini 73 tahun lalu, Chaim Weizmann diangkat menjadi presiden pertama Israel. Seminggu kemudian, ia memercayakan David Ben-Gurion yang kala itu menjabat Perdana Menteri untuk membentuk pemerintahan.
Penulis: Tyson Tirta
Editor: Irfan Teguh Pribadi