tirto.id - Sarah dan Jahra adalah sekawan. Sarah, usia 7 tahun, dan Jahra, usia 10 tahun. Mereka bertemu pada Agustus 2017 saat menjalani perawatan kemoterapi pertama.
Untuk anak seusia mereka, lumrahnya bertemu di sekolah atau taman bermain. Tapi takdir justru mempertemukan mereka di ruang perawatan intensif Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo yang dingin.
Rambut Jahra masih panjang waktu itu. Sementara kepala Sarah mulai plontos usai menjalani kemoterapi. Dalam satu garis nasib yang sama, mereka saling melempar senyum. Sejak itu keduanya bersahabat dalam perjuangan melawan kanker buas dalam tubuh mungil mereka.
Sarah
Sarah Husniah menyambut saya dengan senyum malu-malu saat saya menemuinya di RS Anak dan Bunda Harapan Kita, Jumat terakhir Februari silam. Jiwa kanak-kanak tetap bersemayam pada dirinya: bocah itu menggelayut dengan riang di kenop pintu kamar Ruang Anggrek 115, ruang khusus kemoterapi anak, tempatnya menginap.
Pakaiannya serba oranye, dari piyama hingga sandal kamar. Kepalanya hampir plontos, sisa kemoterapi beberapa tempo lalu. Melihatnya, saya jadi teringat buah jeruk. Oranye dan segar.
Agak sulit membawakan makanan untuk Sarah. Pantangannya terlalu banyak, bahkan tak semua buah bisa ia konsumsi. Saya membawa beberapa buah apel dan alpukat serta popok ukuran triple extra large. Ia masih harus menggunakan popok seusai menjalani kemoterapi.
Hari itu jadwal Sarah pulang setelah menjalani perawatan kemoterapi ketiga sejak dokter mengatakan tubuhnya mengeram kanker darah pada awal tahun 2017. Ia terlihat bersemangat, saat itu. Tak terlihat tanda-tanda kesakitan darinya. Bahkan saya sempat ditantang bermain kartu UNO.
Hanya sebentar saya menemui Sarah siang itu. Saya tiba menjelang jam besuk usai. Zaenudin, ayah Sarah, membawa saya ke ruang tunggu pasien.
“Di sini saya biasa tidur. Soalnya di kamar hanya boleh satu orang yang menunggu,” cerita Zaenudin.
Di salah satu deretan bangku panjang di ruang tunggu yang penuh pasien, Zaenudin menceritakan kepada saya awal mula ia menerima kabar yang mengubah seluruh kehidupan keluarganya.
Semula kanker itu belum terdeteksi. Sarah mengalami pembengkakan kelenjar air mata sehingga matanya membesar dan menonjol.
Awal 2017, bahu Zaenudin melemas sesudah mendengar vonis dokter. Sarah menderita kanker darah golongan acute myeloid leukemia (AML) M5. Harapan sembuhnya hanya empat puluh persen. Prediksi dokter, kuota hidupnya tak sampai tujuh bulan.
“Orangtua mana yang enggak hancur hatinya denger omongan begitu?” Air muka Zaenudin berubah dan menangis.
Sarah mulai menjalani prosedur kemoterapi. Dosis obat yang diberikan pertama kali mencapai 90 miligram. Menurut dokter waktu itu, dosis ini terhitung sangat tinggi untuk anak-anak. Dosisnya perlahan menurun seiring berjalan protokol kemoterapi.
Kemoterapi pertama berjalan lancar. Tindakan selanjutnya adalah bone marrow puncture (BMP), pengambilan sampel sel darah dari sumsum tulang belakang untuk mengetahui apakah ada sel kanker yang tersisa atau tidak. Bagi Sarah, proses ini paling menyakitkan.
“Dia kesakitan sekali tiap BMP. Jarum suntiknya besar,” kata Zaenudin sembari merentangkan telapak tangannya mengukur panjang jarum suntik.
Perjuangan Sarah terbayar. Hasil BMP menyatakan Sarah mendapat remisi. Artinya, tak ada sel kanker yang ditemukan dalam darah Sarah.
Tapi kadang nasib bisa saja mengelabui manusia. Sel kanker nyatanya masih berenang bebas. Saat BMP tempo lalu, sel-sel jahat itu lihai bersembunyi. Dokter luput. Sarah harus dikemoterapi kembali. Hal ini kemudian berlangsung hingga tiga kali.
Musababnya, Sarah terus relapse (kambuh) usai dikemoterapi, bahkan ia sempat mengalami pendarahan. Ia pun dirujuk ke RS Anak dan Bunda Harapan Kita lantaran RSCM kehabisan stok obat.
“Udah deh, Sarah enggak usah diobatin lagi. Biar Sarah ke surga aja,” rengek Sarah pada Zaenudin suatu hari saat tak kuasa menahan sakit.
Hati Zaenudin dan Supri Yati, sang istri, mencelos begitu mendengar perkataan anaknya. “Saya cuma bisa semangatin dia biar sembuh. Saya ajak main. Pokoknya yang happy-happy aja.”
Lantaran itu, Sarah harus meninggalkan bangku sekolah. Padahal ia baru saja masuk SD selama seminggu sebelum akhirnya harus menjalani perawatan intensif. Di Harapan Kita, ia mengikuti sekolah yang dibuat pihak rumah sakit untuk anak-anak penderita kanker seperti dirinya.
Terkadang, Sarah mengingat teman-teman sekamarnya sewaktu di RSCM.
“Teman-teman Sarah kemana, Yah? Kok enggak berobat lagi?”
“Mereka udah sembuh. Jadi enggak perlu berobat lagi. Makanya Sarah juga harus sembuh,” ujar Zaenudin.
Tanpa Sarah tahu, kebanyakan kawannya di rumah sakit tak mampu bertahan seperti dirinya.
Kakek dan orangtua Sarah di depan rumah mereka di Ciracas, dekat Pasar Induk Kramat Jati. Sarah termasuk pejuang kanker yang gigih melawan leukimia sejak awal tahun 2017. Foto atas seizin keluarga. tirto.id/Hafitz Maulana
Jahrah
Saya menemui Jahra Nabila Zulfa pada Jumat, 2 Maret 2018, di ruang perawatan anak Rumah Sakit Kanker Dharmais, tepatnya di ruang Pediatric Intensive Care Unit (PICU) Gajah. Ruang ini sebenarnya dipersiapkan untuk ruang PICU anak sehingga jauh lebih luas dibanding ruang inap anak lain.
Banyak ranjang yang masih terbungkus plastik. Jahra satu-satunya pasien yang menempati ruang itu. Alasannya, bocah itu gampang alergi sehingga harus dipisahkan dengan pasien anak lain.
Saat saya datang, Jahra tengah disuapi sang ibu, Novilia Safitri, di atas dipan. Gadis kecil ini menyambut saya dengan senyum lemah. Tangan kirinya masih tersambung infus. Novilia meminta saya mengenakan masker.
“Jahra habis kemo,” ujar Novi, meminta maklum sembari memberikan selembar masker yang sudah disediakan.
“Kapan?”
“Jumat lalu.”
“Gimana keadaannya sekarang?”
Jahrah sempat terdiam. Mungkin masih malu bertemu orang baru. “Kalau berdiri lama-lama kakinya suka pegel,” jawabnya tersipu seraya meneruskan menonton sebuah video di ponsel ibunya. Belakangan saya tahu video itu berisi rekaman gambar adiknya di Lampung.
Tak ada bangku di ruangan itu. Novi mempersilakan saya di duduk di atas karpet plastik hitam yang ia bawa. Di atas lantai dingin itu ia bercerita sembari diselingi batuk-batuk kecil Jahra yang gampang alergi.
Lebaran 2017, mimpi buruk itu datang pada pasangan Putra-Novi. Jahra divonis mengidap acute myeloid leukemia myeloperoxidase (AML MPO) negatif. Entah apa artinya bagi Novi, tapi mendengar leukemia saja sudah buruk, pikirnya.
Tak seperti Sarah yang mengalami pembengkakan, Jahra mengalami gejala terus-terusan pucat atau anemis dalam istilah medis.
Gejala ini lumrah bagi mereka yang mengidap kanker terutama kanker darah. Namun, tentu tak bisa langsung dipastikan ketika seseorang mengalami anemis atau kekurangan darah lantas berarti mengidap kanker.
Tak kunjung sembuh, Jahra, yang tinggal di Lampung, dirujuk ke Jakarta untuk menjalani sejumlah pemeriksaan medis di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Tak perlu waktu lama, hasil pemeriksaan laboratorium pertama kali menunjukkan ada dua belas sel kanker dalam tubuh Jahra.
Novi semula menolak fakta tersebut. Ia sulit percaya anak keduanya menderita kanker.
Opsi kemoterapi pun disiapkan. Berbekal BPJS Kesehatan, Novi dan suaminya memilih memberikan perawatan terbaik bagi putrinya. Usai menjalani serangkaian protokol kemoterapi selama kurang lebih seminggu, dokter melakukan tindakan bone marrow puncture (BMP). Hasilnya, jumlah sel kanker tak berkurang. Atau dalam istilah medis, tidak ada remisi.
Jahra lantas dipindahkan ke RS Kanker Dharmais lantaran alasan serupa seperti kasus Sarah: RSCM kehabisan stok obat. Saat itulah ia terpisah dengan Sarah.
Tiga kali kemoterapi, BMP Jahra menunjukkan hasil yang sama. Novi gamang. Ia berserah diri dengan berdoa.
“Air mata saya sudah kering. Cuma tinggal lewat salat aja,” kata Novi.
Sewaktu menjalani perawatan di RSCM dan Dharmais selama kurang lebih tujuh bulan belakangan, Jahra dan ibunya tinggal di Yayasan Kasih Anak Kanker Indonesia bersama anak pejuang kanker lain. Mereka sempat ingin menumpang di salah satu rumah kerabat di Cibubur, Jakarta Timur. Tapi pertimbangan lain lebih berguna: Di yayasan tersebut, Jahra bisa bermain bersama teman-temannya.
Ia juga bisa meneruskan sekolahnya.
Galang Dana via Media Sosial
Saya menemukan Sarah Husniah via akun Instagram @jay311277 yang dikelola Zaenudin. Pada akun itu, Zaenudin mengunggah foto-foto Sarah dan cerita perjuangan putrinya melawan leukemia demi menggalang dana untuk biaya pengobatan.
Sebelum Sarah sakit, Zaenudin adalah karyawan swasta. Namun, pekerjaan ini ia lepaskan sesaat setelah Sarah divonis leukemia. Zaenudin menjadi kuli bangunan harian lepas karena Sarah tak bisa ia tinggal lama-lama dan sendirian.
Selama ini biaya pengobatan Sarah sepenuhnya bergantung pada BPJS Kesehatan. Namun ada beberapa obat yang tidak tersedia di rumah sakit. Ia harus mencari obat itu di tempat lain. Dan harganya tergolong mahal. Satu kantung bisa mencapai Rp3 juta dan harus dikonsumsi sebanyak 4 kali dalam sehari selama empat bulan.
Karena itulah Zaenudin melakukan upaya penggalangan dana via media sosial. Hasil urunannya ia gunakan untuk membeli obat jika stok di rumah sakit kosong atau sekadar membeli kebutuhan sehari-hari untuk Sarah. Tak jarang, kelebihannya ia berikan kepada pasien kanker anak lain yang juga membutuhkan.
Zaenudin saat ini hampir bisa dibilang tidak bekerja. Sementara kebutuhan rumah tangga tetap harus terpenuhi dan anak sulungnya masih membutuhkan biaya sekolah. Alhasil, ia kerap meminta izin untuk menggunakan uang hasil penggalangan dana sekadar untuk membeli makan sehari-hari.
Sehari setelah menjenguk Sarah di rumah sakit, saya menyambangi kediaman keluarganya di Kramat Jati, Jakarta Timur. Rumah kontrakan yang dihuni keluarga Zaenudin selama hampir 15 tahun itu kecil saja. Hanya ada dua ruang utama dan satu kamar mandi. Ruang depan, berbatasan dengan kamar mandi, berfungsi sebagai dapur dan ruang tamu. Satu ruang di belakang sebagai ruang TV sekaligus kamar tidur. Ada dua kasur besar di ruangan itu.
Rumah ini dihuni enam anggota keluarga. Selain Zaenudin dan Supri Yati—orangtua Sarah—juga ada kakak, kakek, dan Sarah sendiri, plus keponakan Zaenudin. Saat saya tiba, gadis 7 tahun itu tengh membuat slime menggunakan lem kertas yang ia pelajari dari YouTube. Tak lama ia mengajak saya bermain UNO stacko. Kali ini saya kalah dua kali.
Pulang ke rumah, tak berarti Sarah bisa bebas bermain ke luar. Ia hanya bisa memandang dari dalam rumah selagi teman-teman sebayanya bermain di luar. Efek samping dari kemoterapi membuatnya rentan segala penyakit. Maka, ia harus memakai masker jika pergi kemana pun. Ia juga masih dilarang dekat-dekat dengan orang-orang yang sedang sakit.
Namun, dengan kondisi yang serba terbatas itu, keceriaannya tetap bersemi. Ia menyapa kawannya yang kebetulan lewat depan rumah sembari mengunyah kuaci. Sesekali ia tawarkan kuaci itu kepada saya.
'Aku Pengin Jadi Dokter'
Di tempat lain, saat saya bertemu Jahrah di Rumah Sakit Kanker Dharmais, saya mengajukan pertanyaan standar orang dewasa kepada anak kecil: cita-citamu apa?
“Aku pengen jadi dokter,” jawab Jahra.
“Kenapa mau jadi dokter?”
“Biar bisa nyembuhin orang yang punya penyakit kayak Jahra,” ujarnya polos.
Mendengar itu, saya agak terkesiap, lebih karena tak siap mendapatkan jawaban yang tulus dan mulia dan besar sebesar keinginan Jahrah untuk sembuh.
Ia lantas mengajak saya bermain congklak, yang berakhir dengan skor tiga kosong untuk kemenangan saya. Jahra manyun.
Tanggal 22 Februari lalu Jahra berusia 10 tahun. Saat itu pula ia selesai menjalani kemoterapi ketiganya. Sayang, hadiah yang dinantikan, yakni remisi, tak kunjung ia dapat.
Pukul 9 malam saya seharusnya sudah pulang dari tadi. Jam besuk sudah lewat.
“Nanti kita ketemu lagi, Jahra harus sudah sembuh, ya.”
Jahra menjawab dengan senyum kecil seraya memberi high five dari tangan tangan yang terbebas infus.
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam