Menuju konten utama

Cerita Pembuatan Game, dari Ide Liar sampai Dimainkan di Layar

Tantangan pengembangan game yang kerap dijumpai justru di bagian awal penentuan genre dan jangkauan game-nya.

Cerita Pembuatan Game, dari Ide Liar sampai Dimainkan di Layar
Header Decode Main Game Lokal 2. tirto.id/Fuad

tirto.id - Adinda Sutra sedang bersiap merealisasikan sebuah game yang tadinya hanya merupakan tugas akhir kuliahnya. Bertemakan zombie dengan latar sekolah, game yang dinamai Jurit itu siap menebar aura horor di platform Steam. Game ini merupakan game PC yang nantinya bisa dimainkan secara offline.

Kata Dinda, ide Jurit bermula dari keinginan dia untuk membuat game berangkat dari keinginannya memainkan game bertema seputar sekolah, zombie, action, dan horor. Setelah menggarapnya sebagai syarat lulus D1 jurusan animasi dan permainan di Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) pada 2019 silam, ia kemudian terpikir untuk melanjutkan proyek game itu 5 tahun kemudian.

Pada 2024, Dinda mencoba mengajukan ide game yang ia buat kepada rekan kerjanya. Konsepnya akhirnya disepakati dan bakal dirilis di bawah The Afternoon Studio, yang berbasis di Bandung, Jawa Barat.

“Yang aku kerjain (sebelum mengajukan ide) itu baru di vertical slice-nya. Jadi udah ada gameplay, udah ada levelnya, karakternya udah ada, dialognya udah ada. Dan secara garis besar konsep udah ada. Jadi tinggal di-polish aja gitu. Cuman yang waktu tugas akhir di ITS itu, game-nya masih 2D. Nah ini kan sekarang 3D,” kisah Dinda lewat percakapan Zoom, Selasa (5/8/2025).

Gameplay sendiri berarti cara spesifik gamer berinteraksi dengan sebuah permainan, yang mencakup mekanisme permainan, tantangan, aturan, hingga pengalaman secara keseluruhan. Tak seperti kebanyakan orang yang memprioritaskan profit, Dinda bilang, game ini dibuat berangkat dari hobi bermain game sedari kecil.

“Sebenarnya kan kebanyakan orang-orang tuh buat game karena pengen dapet cuan. Kalau aku sendiri lebih ke hobi. Aku tuh dari kecil emang suka banget main game. Dari TK, aku main game sama mama aku, sama om aku. Jadi ya emang kesukaan aja sih dari dulu. Terus menekuni hobi dan dijadikan sebagai kerjaan itu tuh cukup asik juga. Apalagi kayak orang-orang suka dan kita tuh kayak wah seneng nih ada orang suka sama apa yang kita buat gitu,” tuturnya.

Banyak orang memang tampaknya memberi apresiasi dan antusiasme terhadap Jurit. Saat Dinda mengunggah dokumentasi showcase Jurit lewat akun X pribadinya, cuitan pada medio Juni itu telah ditonton oleh 61 ribu warganet, memperoleh 3.600 tanda suka dan 366 retweet. Warganet beramai-ramai melontarkan komentar pujian.

Seiring banyaknya sanjungan, Dinda cerita, sebagai perempuan yang terjun di industri dominan laki-laki, ia tak jarang diremehkan dan jadi sasaran stereotip. Dinda pernah dianggap hanya memberi kontribusi kecil, atau bahkan disebut-sebut tak ikut menggarap game Jurit sama sekali.

“Jadi kayak aku juga nggak bisa nyalahin orang-orang itu karena ya kebanyakan nilai orang dari luarnya. Jadi waktu aku bilang aku game developer mereka ngiranya aku di bagian marketing atau team manager. Gitu sih, dan kebanyakan (komentar) itu tuh datang dari laki-laki, nebaknya (aku) tuh di area itu aja gitu,” kisah perempuan berusia 25 tahun tersebut.

Header diajeng Gamer Girls

Header diajeng Gamer Girls. tirto.id/Quita

Skena game memang kerap dilekatkan dengan kaum laki-laki. Apalagi, secara umum di seluruh dunia, merujuk pada data Statista 2024, jumlah laki-laki yang bekerja di bidang STEM (Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika) lebih banyak ketimbang perempuan di semua industri. Di bidang teknologi, informasi, dan media katakanlah, tercatat hanya ada 22,2 persen perempuan yang bekerja di bidang STEM.

Dominasi laki-laki di level produksi game itu tentu berdampak pada kelompok konsumen yang menikmati. Menurut laporan Peta Ekosistem Industri Gim Indonesia 2021 yang dirilis Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo, kini Komdigi) bersama Niko Partners, mayoritas responden gamers juga merupakan laki-laki, di mana proporsinya mencapai 82,4 persen.

Sementara di Amerika Serikat, meski proporsi gamer laki-laki dan perempuan hampir seimbang, gamer perempuan masih terus menghadapi tantangan berupa pelecehan, perundungan, dan stereotip dalam game dan komunitas game. Temuan itu diungkap dalam Deloitte Digital Media Trends 2024.

Penentuan Genre Game adalah Kunci, tapi Tricky

Lain studio game lain cerita. Ketika Dinda merasa tantangan umum yang dihadapi seputar terbatasnya sumber daya manusia lantaran studionya baru berdiri, Adam Ardisasmita, selaku CEO dan Founder studio game Arsanesia, menuturkan, SDM tak terlalu jadi persoalan di tempatnya. Asalkan, mereka bisa menyesuaikan keahlian tim dengan jenis game yang akan dikembangkan.

“Jadi kayak genre game kan macam-macam ya. Ada genre game yang memang kompleks nih bikinnya susah, perlu keahlian yang lebih dalam gitu kan. Nah kita harus ngelihat nih apakah kita punya kualitas sumber daya manusianya maupun kuantitasnya untuk bikin game kayak gitu. Kalau emang ternyata skill kita belum nyampe untuk kesana ya hindari genre seperti itu,” kata Adam saat dihubungi jurnalis Tirto, Selasa (5/8/2025).

Ilustrasi Game Online

Ilustrasi Game Online. foto/istockphoto

Sebab, menurut dia, tantangan pengembangan game yang kerap dijumpai justru di bagian awal penentuan genre dan jangkauan game-nya. Seringkali, pembuat game merasa mampu mengeksekusi sebuah fitur dengan cepat dan mudah, padahal sebaliknya. Alhasil, pengembang jadi terlalu memakan waktu untuk menyelesaikan game tersebut.

“Nah akhirnya yang terjadi selama ini kebanyakan teman-teman kita yang bikin game itu lubang yang mereka jatuh itu biasanya lubang ke terlalu lama, akhirnya mereka develop game-nya. Scope-nya membesar. Ternyata ada tantangan yang mereka ga pikirkan sebelumnya, sampai akhirnya game-nya jadinya entah gak rilis atau rilis tapi gak maksimal,” ungkap Adam.

Ia bilang, setiap game yang dibuat pasti memiliki target audiens yang spesifik. Ibarat hiburan lain seperti musik dan film, setiap genre game juga punya niche market masing-masing. Akan tetapi, sebagian studio memilih genre game tidak berbasis pada kapasitas timnya.

“Jadi kayak misalnya di timnya nggak ada yang jago. Nggak ada yang suka main game horor tapi bikin game horor karena lagi tren gitu ya. Itu kan akhirnya pengembang sendiri tidak tahu kan what makes horror game good. Atau sebaliknya, bikin game yang terlalu saturated atau di market yang super kompetitif. Misal main di market pengen bikin game battle royale kayak Free Fire atau PUBG Mobile gitu kan. Itu kan kayak untuk bisa sukses di situ butuh kapasitas yang besar,” tutur Adam.

Arsanesia sendiri merupakan perusahaan game di Bandung yang sudah berdiri sejak 2011. Studio itu dibangun lantaran adanya kompetisi yang diselenggarakan oleh Nokia. Meski awalnya Arsanesia fokus mengembangkan game mobile, kini perusahaan itu punya unit bisnis bernama Arsa Kids, yang berfokus pada game edukasi untuk anak usia dini, seperti contoh game Pippo Hidup Sehat.

Alokasi Gemuk untuk Pemasaran

Kompleksitas proses pengembangan sebuah game memang bergantung pada genre, jenis, dan klasifikasi game, termasuk apakah itu game mobile kasual, game PC, atau mungkin game AAA yang dibuat dengan bujet tinggi dengan kualitas grafik yang moncer dan plot cerita yang kompleks.

Untuk game mobile untuk pemain kasual, atau game ringan yang cocok dimainkan semua orang, Founder Touchten Games, Dede Indrapurna, menjelaskan tahapan awalnya dimulai dengan ideasi, di mana proses itu meliputi riset pasar dan analisis kompetitor.

“Kita juga ngobrol sama timnya, tim kelihatannya oke atau apa, ya udah kita move. Karena kenapa? Terutama di industri game, secara general, baik di AAA atau mobile casual itu tetap hit-driven, hit-driven itu 50-50 lah ya. 50 itu sains, 50 lagi itu benar-benar hoki-hokian ya. Kita enggak tahu benar-benar kayak semua udah bagus, semua udah oke, kualitas atau apa, enggak laku, ya gimana gitu ya. Tapi, this comes to the science of risk management, gimana caranya kita tahu laku atau enggak sedini mungkin,” kata Dede kepada jurnalis Tirto, Selasa (5/8/2025).

Itu mengapa, setelah ideasi, umumnya mereka akan memulai pembuatan prototype dengan tim kecil (10 - 20 orang). Tim kecil tersebut beranggotakan orang-orang yang paling ahli di bidangnya, entah itu animasi, 3D, atau programmer.

Ilustrasi game digital

Ilustrasi game digital. FOTO/iStockphoto

“Jadi, kepalanya dulu yang dikumpulin. Termasuk director-nya juga yang jago-jagonya dulu. Terus kita bikin prototype. Prototype biasanya cepat. Tiap 3 hari mungkin ada kesalahan, (sampai akhirnya) bagus. Kita mainin. Kita mencoba memperhitungkan elemen inti gameplay-nya udah oke atau belum,” tutur Dede.

Meski di tahap itu secara kualitas dan visual masih jelek, tujuan utamanya yakni mencari tahu kesenangan memainkan game yang sedang dikembangkan. Setelah proses menemukan “fun” dari sebuah game selesai, saatnya memikirkan vertical slice alias fitur dan mekanisme game.

Vertical slice nantinya jadi cuplikan kecil dari game yang sudah merepresentasikan kualitas akhirnya. Bagian ini menunjukkan seperti apa pengalaman bermain game tersebut — lengkap dengan gameplay, visual, audio, hingga tampilan antarmukanya.

“Kita vertical slice, kita mulai planning. Mulai rencanain kayak mungkin tutorialnya ada, dari depan. Karena misalnya mobile game casual itu penting sekali tuh tutorial. Namanya first time user experience. Jadi dari awal kita mau memperkenalkan apa? Karakternya, levelnya, mekanik, macam-macam. Itu kita pikirin semua, termasuk tutorial-tutorial dan UX-nya.

Kita desain dari awal sampai 1-3 jam pertama lah,” kata Dede.

Ilustrasi game digital

Ilustrasi game digital. FOTO/iStockphoto

Setelah itu baru masuk tahapan pra-produksi. Secara umum, pengembangan sebuah game mobile yang hiperkasual, yang lebih sederhana dari game Candy Crush, bisa memakan waktu hingga 6 - 9 bulan, tapi prosesnya pun tak pernah berakhir. Waktu 6 - 9 bulan itu artinya hanya pengembangan konten untuk beberapa level bermain.

“Jadi kita ngomong 6 bulan itu bukan 6 bulan selesai. Tapi 6 bulan untuk konten day berapa gitu. Jadi mungkin biasanya kita baru mulai rilis global kalau udah punya konten di kantong kira-kira untuk day 7. Nah itu baru kita berani lah. Kalau misalnya baru Day 1 doang kita udah rilis global, wah agak susah, berarti baru main sehari orang udah tamat dong,” tutur Dede.

Dia bilang, alokasi terbesar total biaya produksi game mobile umumnya mengarah ke kepentingan iklan atau pemasaran, yakni mencapai 75 persen. Dede mencontohkan, untuk game sekaliber Candy Crush, bisa memakan jutaan dolar sehari untuk biaya pemasaran. Jadi, dengan gambaran proses produksi kreatif dan produksi itu, apa kalian tertarik untuk ikut mengembangkan game impian kalian?

Baca juga artikel terkait GAME atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - Decode
Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Farida Susanty