Menuju konten utama

Cerita Korban Investasi Bodong Kena Tipu Aplikasi TRPS

Penipuan berkedok investasi yang mencatut nama perusahaan internasional dan tokoh fiktif kembali terjadi di Indonesia. Simak selengkapnya.

Cerita Korban Investasi Bodong Kena Tipu Aplikasi TRPS
Ilustrasi Investasi Bodong. foto/istockphoto

tirto.id - Penipuan berkedok investasi yang mencatut nama perusahaan internasional dan tokoh fiktif kembali terjadi di Indonesia. Sejumlah korban mengaku tertipu mulai dari ratusan juta hingga miliaran rupiah dari aplikasi bernama Thomas Row Price Services (TRPS).

Para korban ditekan untuk terus menyetor uang ke aplikasi tersebut. Saat mencoba menarik dana, pelaku menghilang. OJK sebelumnya telah mengimbau masyarakat untuk waspada terhadap penipuan investasi berkedok internasional dan mencatut nama tokoh.

Kronologi Korban

Pada tanggal 16 Januari 2025, Aditya (korban meminta nama untuk disamarkan), menemukan sebuah iklan di Facebook. Iklan tersebut mencatut sosok pengusaha Indonesia dan konten kreator yang berfokus pada edukasi tentang investasi bagi para anak muda.

Tertarik dengan kontennya, Aditya mengklik tautan yang disertakan dalam unggahan tersebut dan masuk ke dalam grup bernama sharing investasi bersama Kane Suryanto. Tak ada yang aneh ketika Aditya bergabung ke grup tersebut. Di dalam grup itu, setiap hari dibagikan analisa pasar saham, konsultasi portofolio, serta diskusi tentang kondisi saham terkini.

Grup itu, menurut Aditya, menawarkan solusi berbasis teknologi artificial intelligence (AI) untuk menganalisis kondisi saham terkini.

“Secara harian diberikan analisa saham lalu ada juga konsultasi portofolio saham, rekomendasi beberapa saham dan disana juga dibuka konsultasi itu ya. Misalnya, untuk hari ini apa yang diperlukan untuk dilakukan analisa saham seperti itu. Awalnya sih yang saya pikir normal-normal aja gitu ya,” ujarnya saat bercerita dengan Tirto, Rabu (11/6/2025).

Poster grup penipuan

Poster grup penipuan. foto/Aditya

Tak lama kemudian, grup tersebut mulai menawarkan program bernama TRPS—yang disebut-sebut sebagai singkatan dari Thomas Row Price Service. Tidak ada tanda-tanda kecurigaan dari Aditya saat mendengar nama tersebut. Setelah melakukan riset kecil-kecilan, Aditya menemukan TRPS memang mirip dengan sebuah nama perusahaan manajemen investasi global yang telah terkemuka.

Nama perusahaan yang dimaksud adalah, T Rowe Price Services (TRPS), perusahaan pialang yang terdaftar di SEC serta merupakan anggota FINRA dan SIPC. T. Rowe Price Associates, Inc. ("TRPA") dan T. Rowe Price Investment Management, Inc. ("TRPIM"), yang juga terdaftar di SEC.

“Akhirnya saya memutuskan untuk mengikuti program ini. Jadi disebutkan di situ bahwa kalau investor itu ingin recover atau istilahnya memperbaiki lah ya, memperbaiki kerugian dari trading saham, itu harus lewat aplikasi atau program TRPS ini,” katanya.

TRPS menawarkan tiga skema utama yang diklaim dapat memberikan keuntungan dalam transaksi saham. Skema pertama disebut ARR atau Auto Reject Attacks. Konsepnya adalah saham-saham yang mengalami kenaikan harga hingga 25 persen dalam satu hari akan otomatis disuspensi. Menurut mereka, setelah suspensi dicabut, harga saham biasanya akan naik lebih tinggi lagi.

Skema kedua disebut sebagai agreement trade. Dalam skema ini saham diputar ulang pada hari yang sama dengan diskon 20-30 persen. Lalu, skema ketiga adalah IPO (Initial Public Offering), yaitu saat suatu perusahaan ingin melantai di bursa saham dan menawarkan saham mereka dengan harga tertentu kepada publik. Menurut TRPS, mereka memanfaatkan kesempatan ini untuk mendapatkan keuntungan dari penawaran perdana tersebut.

“Jadi modus dari TRPS ini adalah menggunakan program Agreement Trade dan juga IPO ini. Ada rentang waktu antara 16 Januari sampai 26 Maret. Dalam periode itu saya mendapatkan analisa saham harian dari sosok yang mengaku bernama Kane Suryanto,” katanya.

“Saya mulai setorkan dana itu mulai tanggal 26 Maret sampai 10 April. Totalnya Rp561 juta,” sambungnya.

Awalnya, Aditya merasa cukup yakin. Ia mengikuti strategi Agreement Trade, di mana dana yang disetorkan akan diolah dan saham dialokasikan pada sore harinya. Namun, skema ini kemudian berkembang ke arah penawaran IPO dengan skenario yang lebih kompleks. Saat ia menyetor Rp100 juta untuk program IPO, pihak TRPS justru mengalokasikan dana Rp300 juta dan menuntut agar ia melunasi sisanya.

 iklan Facebook akun penipu

Tangkapan layar iklan Facebook akun penipu. foto/Aditya

Demi menjaga kepemilikannya atas saham yang telah dialokasikan, Aditya pun terpaksa mencari tambahan dana. Namun, kasus yang sama kembali terulang pada saat IPO yang kedua di mana ia diminta menambah Rp700 juta, namun pada saat itu ia hanya mampu menyediakan maksimum Rp560 juta.

“Waktu itu saya diminta sampai Rp700 jutaan. Saya bilang, saya cuma sanggup maksimum Rp560 juta. Dana saya cuma ada segitu. Saya nggak bisa tambah dana lagi. Setelah saya informasikan begitu mereka malah menghilang,” katanya.

Semua pihak yang sebelumnya aktif berkomunikasi mendadak menghilang. Akses terhadap portofolionya di aplikasi TRPS tetap ada, namun dana tidak bisa ditarik tanpa "kode konfirmasi" dari pihak pengelola, yang sudah tidak bisa dihubungi.

“Ternyata saya mendapatkan beberapa korban yang lain. Total ada 7 orang yang sama dengan saya. Ada yang kehilangan Rp1,5 miliar, ada yang Rp200 juta, ada lagi yang Rp300 juta. Dan saya lihat di Facebook ada yang kena juga sama juga Rp1,5 miliar. Terus saya lihat di Youtube ada juga yang kena Rp2 miliar,” katanya.

Setelah sadar dirinya tertipu, Aditya lantas melaporkan kejadian tersebut ke sejumlah pihak berwenang seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan pihak kepolisian. Di OJK laporan tersebut dimasukan pada tanggal 28 Mei 2025 dengan nomor laporan dengan nomor laporan 4152137123.

“Belum ada (follow up) hingga saat ini. Hanya konfirmasi saja bahwa laporan saya sudah diterima,” ujarnya.

Dipaksa Membeli Saham IPO

Melalui Aditya, Tirto juga tersambung dengan Paulus, salah satu korban lain dari penipuan investasi mencatut nama TRPS ini. Dengan kronologi awal yang kurang lebih sama dengan Aditya, Paulus mulai berinvestasi awal dengan nominal Rp70 juta pada Januari 2025. Seiring berjalan waktu ia mengaku berhasil melakukan penarikan dana sebanyak empat kali. Dengan nominal Rp90 juta dua kali, Rp60 juta dan Rp600 ribu.

Titik awal masalah muncul ketika ia ditawari untuk ikut serta dalam program IPO saham. Awalnya, saat saldo miliknya mencapai Rp180 juta, ia dipaksa untuk membeli saham IPO senilai Rp360 juta. Ketika menolak karena tidak memiliki dana, pihak TRPS mengancam bahwa jika tidak membeli, semua saldonya akan hangus.

Selanjutnya, muncul tawaran promo tambahan: jika ia tidak menarik dana hingga tanggal 1 Maret, maka akan mendapatkan margin tambahan 9 persen. Di saat itulah, saldo Paulus naik hingga hampir Rp800 juta. Lalu datang lagi penawaran IPO, kali ini senilai Rp1,7 miliar. Paulus bingung, karena ia merasa tidak pernah mendaftar untuk transaksi sebesar itu.

“Saat saldo saya sama margin saya semua sekitar Rp800 juta, saya dapat lagi saham IPO senilai Rp1,7 miliar. Nah, saya bilang, ini kenapa bisa? Karena memang saya kan nggak diajarin. Akhirnya kita klik itu, ada namanya tombolnya, tombol otomatis. Kalau kita klik itu, di akun TRPS itu otomatis kita akan ikut berlangganan. Nah, itulah jebakannya,” katanya.

Ilustrasi Investasi

Ilustrasi Investasi. FOTO/IStockphoto

Ketika menyampaikan ketidakmampuannya membayar, ia disarankan untuk meminjam dana dari Bank HSBC. Namun, setelah mencoba menghubungi pihak bank melalui berbagai kanal—email, WhatsApp, hingga telepon—tidak ada satupun yang berhasil. Nomor-nomor yang digunakan ternyata telah dimanipulasi atau diblokir. Merasa sudah sangat terjebak, Paulus akhirnya menyanggupi dan mencari jalan untuk memenuhi kewajiban pembayaran.

“Total investasi saya disana Rp1,4 miliar saldo saya atau dana yang sudah masuk. Dalam bentuk pembelian saham dan pembayaran utang. Saya dikasih pinjaman awal Rp720 juta saya pikir pengembalian dalam bentuk potong saldo tapi ternyata harus tunai. Akhirnya kan dari pada uang saya hangus, saya bayarin lah total itu,” katanya.

Ketika saldonya tercatat mencapai Rp2,96 miliar, ia mencoba menarik sebagian besar dana tersebut, sekitar Rp1,8 miliar, dengan harapan bisa menutup modal dan membayar utang. Namun, ia kembali dikenakan biaya tarik dana (withdrawal fee) sebesar Rp300 juta. Ini menjadi titik di mana Paulus merasa putus asa dan menyadari bahwa ia telah tertipu.

OJK Imbau Masyarakat Waspada

Menanggapi kasus ini, pihak Tirto telah mencoba menghubungi Friderica Widyasari Dewi, selaku Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Namun, hingga Kamis, 12 Juni 2025, permintaan konfirmasi tersebut belum mendapatkan tanggapan.

Meski begitu, sebelumnya OJK diketahui telah melakukan imbauan kepada masyarakat untuk mewaspadai modus penipuan berkedok investasi internasional. Pasalnya iklan investasi bodong ini kerap kali mencatut tokoh fiktif dalam sejumlah penawaran yang dilakukan. Hal ini mirip dengan kasus penipuan yang menimpa Aditya dan Paulus di atas. Lantas, bagaimana modus dan cara mengenali indikasi penipuan investasi modus ini?

Mengutip dari akun instagram resmi yang dikelola oleh OJK yaitu @kontak157 (terverifikasi resmi) terdapat enam ciri-ciri penipuan modus ini.

Pertama, Korban akan dipancing melalui iklan yang mencatut tokoh palsu melalui penawaran edukasi saham di media sosial. Kedua, seringkali penipuan investasi memasukkan korban ke dalam grup dan diberi akses login aplikasi bodong. Melalui aplikasi inilah korban diarahkan untuk mengikuti rekomendasi saham yang sepenuhnya dikendalikan oleh pelaku guna memuluskan skema penipuannya.

Ketiga, oknum membangun kepercayaan dengan engagement. Dalam kasus ini, oknum penipu biasanya akan memberikan bonus pulsa atau transfer untuk mendukung kegiatan investasi awal. Keempat atau langkah selanjutnya calon korban akan diminta untuk melakukan top-up dan investasi bersama. Kelima, korban akan terjebak untuk terus melakukan top-up secara terus menerus.

“Terakhir, saat korban ingin menarik keuntungan dan uangnya, oknum memberikan alasan bahwa tidak dapat dicairkan dan perlu melunasi dana talangan terlebih dahulu dan akhirnya uang tidak bisa diambil sekali,” tulis OJK dalam keterangan resmi yang diunggah di akun @Kontak157 (17/3/2025).

OJK sendiri bersama anggota Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (Satgas PASTI) yang didukung oleh asosiasi industri perbankan dan sistem pembayaran, telah membentuk Indonesia Anti-Scam Centre (IASC).

Sampai dengan 30 April 2025, IASC telah menerima 105.202 laporan. Jumlah tersebut terdiri dari 70.819 laporan disampaikan oleh korban melalui pelaku usaha sektor keuangan yang kemudian dimasukkan ke dalam sistem IASC, sedangkan 34.383 laporan langsung dilaporkan oleh korban ke dalam sistem IASC.

Hingga April 2025, OJK mencatat mencatat bahwa sejauh ini total kerugian dana korban penipuan keuangan atau korban scam yang telah dilaporkan mencapai Rp2,1 triliun, dengan total dana korban yang sudah diblokir sebesar Rp138,9 miliar.

“IASC akan terus meningkatkan kapasitasnya mempercepat penanganan kasus penipuan di sektor keuangan,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi, dikutip dari Antara, Jumat (9/5/2025).

Baca juga artikel terkait INVESTASI BODONG atau tulisan lainnya dari Alfitra Akbar

tirto.id - News
Reporter: Alfitra Akbar
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Anggun P Situmorang