Menuju konten utama

Cara Polisi & Pemerintah Ancam Pelajar yang Terlibat Demo Ciptaker

Polisi, dinas, dan pemerintah menganjurkan anak-anak tidak demo Ciptaker dengan berbagai cara. Bahkan kerapkali disertai ancaman.

Cara Polisi & Pemerintah Ancam Pelajar yang Terlibat Demo Ciptaker
Aparat Polda Banten memeriksa isi tas puluhan pelajar yang terjaring saat akan menuju Jakarta untuk mengikuti aksi unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja di halaman Mapolda Banten di Serang, Kamis (8/10/2020). ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman/aww.

tirto.id - Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra mendatangi anak-anak yang turut serta berdemonstrasi menentang Undang-Undang Cipta Kerja di Istana Negara, Jakarta Pusat, Selasa 13 Oktober lalu. Mereka masih belajar di bangku SD sampai SMA, datang dari berbagai wilayah termasuk Cengkareng Jakarta Barat sampai Tanjung Priok Jakarta Utara.

Selain mengatakan memperjuangkan nasib orang tua yang merupakan buruh, para pelajar itu juga bilang demonstrasi karena "diajak teman temannya dan mulai bosan PJJ," kata Jasra mengulang pernyataan anak perempuan yang ia temui di lokasi, mengaku bersekolah di SMK Jatinegara.

Anak-anak sekolahan ini sekarang sedang terancam. Wakapolres Metro Tangerang Kota AKBP Yudhistira mengatakan para demonstran pelajar dapat di-blacklist dalam mengurus Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), dokumen yang menyatakan seseorang pernah bersangkutan dengan kriminalitas/kejahatan atau tidak, berlaku enam bulan setelah diterbitkan. Biasanya SKCK jadi salah satu syarat melamar kerja.

Pengamat kepolisian dari ISESS Bambang Rukminto menilai polisi keterlaluan apabila tak menerbitkan SKCK kepada pelajar yang ikut demonstrasi sebab apa yang mereka lakukan dilindungi undang-undang. "Unjuk rasa bukan pelanggaran hukum," kata dia kepada reporter Tirto, Rabu (14/10/2020).

Hal serupa dikatakan Program Manager Lokataru Foundation, Mirza Fahmi. Menurutnya ancaman itu ngawur. "Betapa berbahaya kalau aparat yang dari kemarin gebukin warga nonstop, tiba-tiba merasa punya hak buat ngomong kayak gitu," katanya kepada reporter Tirto, Rabu.

Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono mengatakan tak semua demonstran pelajar akan dipersulit penerbitan SKCK-nya, tapi hanya mereka yang terbukti melanggar hukum.

KPAI mencatat sampai 10 Oktober lalu ada 3.665 anak ditangkap polisi di seluruh Indonesia. 91 di antaranya diproses hukum. Ini belum termasuk anak-anak yang turun aksi pada hari selanjutnya. Penggerak demonstrasi tanggal 13 berbeda dengan yang sebelumnya. Jika demo sebelum tanggal 13 dimotori buruh, mahasiswa, dan masyarakat sipil, aksi massa tanggal 13 diselenggarakan PA 212 dan FPI.

Ancaman ini juga sempat dilayangkan Kapolres Gowa AKBP, Shinto Silitonga tahun lalu. Pada waktu itu juga banyak yang mengkritiknya.

Anjuran Jangan Demo

Selain ancaman dari polisi, pihak-pihak lain juga berupaya agar para pelajar tak turun ke jalan. Dinas Pendidikan (Disdik) DKI misalnya, mengimbau sekolah membangun komunikasi dengan orang tua murid agar mereka mengawasi anaknya tetap belajar daring alih-alih unjuk rasa. Imbauan itu telah diberikan beberapa hari sebelum demonstrasi.

Kepala Dinas Pendidikan Nahdiana, Rabu, mengatakan "di masa pandemi ini keselamatan dan kesehatan anak lebih diutamakan."

Di SMAN 83 Jakarta, imbauan ini diimplementasikan dengan mewajibkan siswa mengisi presensi pada 8 Oktober--saat puncak demonstrasi--pada pagi, siang, dan sore yang disertai dengan foto timestamp.

Sejumlah dinas pendidikan di provinsi lain pun melakukan hal serupa agar para pelajar tidak turun ke jalan. Bahkan Dinas Pendidikan Kepulauan Riau bilang sekolah anak memberi sanksi siswa yang ikut demonstrasi, dengan bobot sesuai tingkat keterlibatan.

Tahun lalu, Dinas Pendidikan DKI sempat mengancam akan mencabut Kartu Jakarta Pintar (KJP) pelajar yang mengikuti aksi Reformasi Dikorupsi. Pernyataan ini langsung dibantah Gubernur Anies Baswedan.

Hal serupa coba dilakukan terhadap para pelajar di perguruan tinggi. Lewat surat imbauan bernomor 1035/E/KM/2020, Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) mengimbau mahasiswa tidak demonstrasi karena "membahayakan keselamatan dan kesehatan".

Satuan Tugas Penanganan COVID-19 memang berkali-kali memperingatkan kalau demonstrasi bisa menambah kasus Corona karena mereka berkerumun, apalagi jika tidak menerapkan protokol kesehatan. Oleh karena itu Juru Bicara Satgas COVID-19 Wiku Adisasmito menekankan "masyarakat yang berpartisipasi [dalam demonstrasi] untuk disiplin melaksanakan semua protokol kesehatan demi keamanan kita semuanya."

Terlepas dari perkara kesehatan, segala ancaman yang dialamatkan kepada para pelajar yang hendak atau tengah berdemonstrasi tetap keliru, kata Mirza Fahmi. Ia bilang itu sama saja mereka semua tengah berlomba-lomba melanggar hak konstitusional warga.

Sementara Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengatakan "ancaman-ancaman yang diterapkan kampus, sekolah, dan polisi sangat tidak mendidik." "Dampaknya, mereka bukan hanya takut dan terintimidasi, tapi tidak ada kesadaran dan karakter baik yang tumbuh," kata dia kepada reporter Tirto, Rabu.

Selain mengancam, polisi bahkan menangkapi anak-anak yang baru hendak berangkat ke tempat demonstrasi. Ini misalnya terjadi di Malang pada 13 Oktober lalu. Setidaknya 36 anak ditangkap.

Komisioner KPAI Retno Listyarti mengatakan mereka jelas-jelas tidak melakukan tindak pidana dan tidak perlu ditangkap apalagi dihukum.

Ia bilang anak-anak terlibat demonstrasi karena bentuk solidaritas. Mereka juga masih kerap tak mengerti bahaya dan tidak punya niat berbuat onar. "Oleh karena itu mereka seharusnya tidak dicatat telah berbuat kriminal," katanya dalam keterangan tertulis, Rabu.

Baca juga artikel terkait DEMO TOLAK UU CIPTAKER atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Hukum
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino