tirto.id - Gelombang protes terhadap pemerintah dan DPR telah berlangsung berhari-hari. Berbagai elemen warga, mulai dari mahasiswa, buruh, tani, dan masyarakat umum berdemonstrasi menentang UU Cipta Kerja yang disahkan pada 5 Oktober lalu.
Pada 20 Oktober nanti, bertepatan dengan satu tahun kepemimpinan Joko Widodo-Ma'ruf Amin, aliansi buruh berencana kembali ke jalanan.
Presiden punya pendapat khusus soal mereka yang turun ke jalan ini--banyak di antaranya yang berakhir digebuki aparat dan mendekam di kantor polisi tanpa pendampingan hukum. Menurut Jokowi, protes masyarakat “dilatarbelakangi oleh disinformasi mengenai substansi UU dan hoaks di media sosial.”
Ketimbang turun ke jalan, Jokowi meminta masyarakat yang tidak setuju mengajukan judicial review saja ke Mahkamah Konstitusi.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin senada. Ia mengatakan kritik disebabkan “karena mispersepsi, disinformasi, kesalahpahaman atau disalahpahamkan.” Ia meminta agar masyarakat menyampaikan kritik secara langsung ke pemerintah.
DPR RI melalui akun Instagram @dpr_ri bahkan mengeluarkan 12 poin demi meluruskan informasi yang mereka klaim sebagai hoaks. Narasi ‘penyebar hoaks’ juga dijadikan dalil kepolisian untuk menangkap seorang warga di Makassar pada 9 Oktober kemarin.
Bagi Sunarno, Sekretaris Jenderal Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), salah satu serikat buruh besar yang turun ke jalan menolak UU Cipta Kerja, narasi ‘termakan hoaks’ adalah bentuk ketakutan pemerintah dan DPR menghadapi kritik masyarakat. Ia juga menilai apa yang dikatakan Jokowi, juga Ma'ruf dan legislatif, tak lebih sebagai “cara ngeles paling mudah.”
“Bukannya jelaskan substansi, malah menuding dan menyudutkan masyarakat penolak omnibus law,” ujarnya kepada reporter Tirto, Selasa (13/10/2020).
Sunarno mengatakan mereka turun ke jalan karena alasan yang jelas: bahwa UU Cipta Kerja merugikan buruh. Ia juga meminta pemerintah dan DPR membenahi masalah-masalah yang terjadi pada buruh: menghapus sistem kerja kontrak bukan malah memperluasnya; menolak upah murah dan cabut PP 78/2015; jaminan sosial untuk buruh bukan asuransi berbayar; menolak pengurangan hak pesangon PHK; dan sanksi pidana bagi pengusaha pelanggar hak normatif buruh.
Kemudian, pemberlakuan cuti panjang bagi buruh bekerja tanpa jeda di atas 5 tahun dan seterusnya; jaminan kebebasan berserikat ketika pemberangusan terjadi di mana-mana; dan maksimalkan kinerja pengawas ketenagakerjaan.
Pernyataan serupa disampaikan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), salah satu organisasi buruh yang diajak bicara oleh pemerintah dan DPR terkait Cipta Kerja saat masih berstatus RUU.
Menurut Ketua Departemen Komunikasi dan Media KSPI Kahar S. Cahyono, gelombang protes muncul bukan karena termakan hoaks, tapi sebab hasil kerja pemerintah dan DPR tak memuaskan, terutama Badan Legislatif (Baleg) DPR saat membahas klaster Ketenagakerjaan. Kerja mereka saat itulah yang menjadi pemantik buruh melaksanakan aksi pada 6-8 Oktober.
Ia pun menegaskan kalau buruh turun ke jalan bukan karena hoaks, namun karena tahu persis apa yang dibahas dan ke mana arah kebijakannya.
“Dalam tim perumus, serikat buruh menyampaikan pandangan, pasal per pasal dalam DIM (Daftar Inventaris Masalah). Jadi, buruh tahu betul esensi dari UU Ciptaker, khususnya klaster ketenagakerjaan,” ujarnya kepada reporter Tirto, Selasa.
Meresahkan Masyarakat
Koordinator Pusat Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) Remy Hastian menilai aksi menolak UU Cipta Kerja adalah ekspresi kemarahan masyarakat yang tak didengarkan aspirasinya. Ia juga menilai pernyataan pemerintah dan DPR justru membuat keresahan baru di tengah-tengah masyarakat.
Jika pun ada disinformasi, itu terjadi lantaran mereka sendirilah yang menutup akses informasi publik. “Padahal pemerintah dan juga lembaga kesayangannya, DPR, mengesahkan UU siluman karena draf final pun tidak tersedia untuk diakses publik,” ujar Remy dalam keterangan tertulis.
Keberadaan dokumen final UU Cipta Kerja memang masih juga menjadi misteri setelah disahkan di DPR RI. Sejauh ini ada beberapa versi yang beredar di masyarakat. Pada 12 Oktober pagi DPR dan pemerintah masih merevisi draf RUU Ciptaker. Semula berjumlah 905 halaman pada 5 Oktober menjadi 1.035 halaman. Kemudian Senin malam berubah kembali menjadi 812 halaman.
Ketika naskah final belum tersedia, para menteri malah menjelaskan isi UU Ciptaker pada 7 Oktober lalu. Semua bernada positif dan bertolak belakang dengan apa yang disampaikan kelompok penolak. Masalahnya publik tak bisa memverifikasi karena sekali lagi tak ada dokumen resmi yang dapat diakses.
Oleh karena dokumen final yang tak jelas keberadaannya itulah Ketua Bidang Jaringan dan Kampanye Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI ) Arip Yogiawan mempertanyakan dasar pemerintah menyebut mereka yang berdemonstrasi termakan hoaks. “Karena naskahnya tidak jelas, jadi timbul pertanyaan, siapa yang menyebarkan hoaks?” ujarnya kepada reporter Tirto, Selasa.
Jika pertanyaan itu diajukan kepada Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari, maka jawabannya yang menyebar hoaks adalah pemerintah dan DPR.
“Ketika publik betul-betul berpartisipasi malah dibilang hoaks dan disinformasi. Padahal pemerintah dan DPR-lah penyebar hoaks, tanpa berani secara formal mengeluarkan draf yang benar,” ujarnya kepada reporter Tirto, Selasa.
Menuding masyarakat termakan hoaks adalah bukti pemerintah dan DPR gagap menghadapi tuntutan masyarakat dalam wujud aksi turun ke jalan, katanya. Semestinya, menurut Feri, pemerintah dan DPR mengutamakan keterbukaan sebagaimana yang dimandatkan Pasal 5 huruf g UU 12/2011 dan mengedepankan partisipasi publik sebagaimana yang dimandatkan Pasal 96 UU 12/2011.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino