tirto.id - Pemengaruh (Influencer) hari ini rasanya tak cuman dipercaya ampuh jadi kompas berbelanja, ataupun penyampai informasi. Sejumlah pihak menganggap mereka ampuh untuk setting agenda.
Di tengah rentetan aksi demo Agustus yang masif dan berdarah, mencuat pengakuan sejumlah influencer yang mendapat tawaran untuk mendengungkan narasi tertentu.
https://tirto.id/influencer-sebagai-pengisi-gap-kekosongan-informasi-hevi
Mulai dari Vincent Liyanto, Mella Carli, Rahmat Hidayat, hingga Jerome Polin, ramai-ramai mengunggah bukti tawaran yang datang kepada mereka agar membuat konten berisi ajakan berdamai dari pemerintah, DPR, Brimob, ojek online (ojol), dan masyarakat. Konten itu disebut harus diunggah serentak pada Senin (1/9/2025) pukul 15.00 WIB.
Bukan proyek berbujet rendah, tawaran bertajuk “Ajakan Damai Indonesia” ini dihargai puluhan hingga ratusan juta. Jerome dengan pengikut Instagram lebih dari 9 juta misalnya, sudah masuk kelompok mega influencer (pengikut di atas 1 juta). Dia mengaku ditawari cuan Rp150 juta, dengan syarat mengunggah reel Instagram sesuai arahan, wajib menggunakan tagar, tidak menggunakan kata negatif, dan memakai teks klik bait yang tak sama.
Sementara tiga influencer lainnya dengan pengikut antara 200 ribu-1 juta masuk kelompok macro influencer. Mereka mendapat tawaran mulai dari Rp85 juta-Rp110 juta.
Namun dari pantauan Tirto, keempatnya tidak membuat konten yang dikehendaki, setidaknya sampai tenggat waktu yang disebut. Mereka juga menarasikan tawaran tersebut dengan sentimen yang negatif, dengan cara mereka masing-masing.
Lewat unggahan Instagram resmi, Jerome menampilkan layar foto dirinya menunjuk tangkapan sebuah pesan teks tawaran menjadi “buzzer”. Secara terbuka, Jerome mengingatkan publik untuk tidak lengah dan terpecah belah. Narasi semacam ini dianggap sebagai upaya pencitraan seolah semua baik-baik saja.
“Dear agency dan KOL [Key Opinion Leader], aku mohon untuk kali ini, jangan korbanin rakyat buat kepentingan kalian sendiri. Semua lagi susah, kita berjuang bersama, yah? Tolong,” tulis akun influencer yang kerap membuat konten edukasi matematika itu dalam takarirnya, Jumat (29/8/2025).
Tirto sudah mencoba menghubungi Jerome dan ia memilih belum ingin memberikan tanggapan lantaran masih mencoba memahami situasi yang terjadi saat ini. Untuk diketahui, tawaran itu datang ke Mantappu Corp, perusahaan yang didirikan Jerome dan kakaknya (pengembangan dari kanal Youtube Nihongo Mantappu).
Jerome sendiri beberapa waktu terakhir vokal menyikapi situasi sosial-politik, spesifiknya terkait gaji dan tunjangan gemuk anggota DPR. Ia juga menyindir perhitungan Wakil Ketua DPR, Adies Kadir, terkait tunjangan rumah DPR senilai Rp50 juta dan tunjangan beras mencapai Rp12 juta per bulan. Kalkulasi itu dirasa tak masuk akal.
Pasca Affan Kurniawan, pengemudi ojol, dinyatakan meninggal dilindas mobil rantis Brimob pada demo 28 Agustus 2025, Jerome juga mengajak publik untuk melawan. Lulusan jurusan Matematika Waseda University di Tokyo, Jepang, itu bahkan merangkum “17+8” tuntutan rakyat, berkolaborasi dengan beberapa orang lainnya, termasuk pendiri Think Policy, Andhyta F. Utami dan pendiri What Is Up Indonesia (WIUI), Abigail Limuria.
Orkestrasi Buzzer Ramaikan Percakapan Aksi
Unjuk rasa selama Agustus ini tampaknya tak cuman diramaikan oleh akun-akun besar. Selain ada upaya mengerahkan influencer, para buzzer juga diduga terjun demi menggaungkan isu terkait aksi dengan narasi yang bervariasi. Orkestrasi ini belum diketahui aktornya, tapi signifikan dalam meramaikan percakapan.
Sebagai konteks awal, selama pekan terakhir Agustus, unjuk rasa paling tidak telah empat kali terjadi, pertama pada Senin (25/8/2025) dengan narasi besar “Revolusi Rakyat Indonesia”, berlanjut berturut turut pada Kamis (28/8/2025), Jumat (29/8/2025), dan Sabtu (30/8/2025).
Demonstrasi pada Kamis (28/8/2025), yang berujung memakan nyawa korban seorang pengemudi ojol, akibat kekerasan dan kesewenang-wenangan aparat menyulut kemarahan publik. Para pengemudi ojol sontak ramai-ramai mengepung Mako Brimob Polda Metro Jaya, di daerah Kwitang, Jakarta Pusat.
Aksi berlangsung sampai keesokan harinya dan meluas hingga ke berbagai wilayah di Indonesia, seperti Bandung, Makassar, dan Surabaya, dan daerah-daerah lainnya. Pada Sabtu (30/8/2025), sebagian massa masih melakukan aksi namun berlangsung cukup kondusif. Sekira Sabtu sore hari kemudian justru terjadi penjarahan di rumah sejumlah anggota DPR, termasuk rumah Ahmad Sahroni di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Sepanjang aksi Senin (25/8/2025) - Sabtu (30/8/2025), Peneliti dari Drone Emprit, Nova Mujahid, mengungkap indikasi adanya buzzer di ruang maya. Dalam konteks Aksi 25 Agustus 2025 misalnya, ajakan pembubaran DPR RI semakin menguat di X dan YouTube sejak 15 Agustus 2025, di Facebook dan Instagram sejak 19 Agustus, dan TikTok 22 Agustus.
Jauh sebelum momen aksi, Nova menjelaskan bahwa gagasan pembubaran DPR RI juga konsisten muncul dalam percakapan publik setiap kali terdapat pemberitaan negatif terhadap “wakil rakyat” tersebut.
Meski kekecewaan terhadap DPR sudah lama menumpuk, menurut Nova, hal itu tidak menjadi gerakan publik alias hanya sebatas gerundelan. Akan tetapi, untuk Aksi 25 Agustus, ada yang mengampanyekan pembubaran DPR dan diramaikan oleh akun-akun terindikasi pendengung.
“Dari SNA dan perjalanan tren percakapan, terlihat adanya partisipasi akun-akun terindikasi pendengung yang mendukung pembubaran DPR RI. Keterlibatan akun ini cukup signifikan dalam meramaikan percakapan,” ujar Nova lewat keterangan tertulis, Selasa (28/8/2025).
Gagasan pembubaran DPR sudah muncul jauh sebelum demo 25 Agustus, didukung oleh akun pendengung di medsos, mencerminkan puncak krisis kepercayaan publik terhadap DPR.
— Drone Emprit Official (@DroneEmpritOffc) August 26, 2025
Bagaimana narasi pro dan kontra demo berkembang di medsos? pic.twitter.com/6EEAKysa6N
Secara umum, berdasarkan analisis Drone Emprit, setidaknya ada tiga agenda terkait Aksi 25 Agustus yang terlihat di media sosial. Agenda-agenda itu dibawa oleh klaster yang berbeda. Pertama, agenda pembubaran DPR yang dibawakan oleh sebagian besar klaster. Seruan ini bermunculan dalam narasi bahwa DPR tidak mewakili rakyat, arogan, hingga tidak sensitif.
Agenda kedua yakni meminta Prabowo membubarkan DPR dan ini dibawa oleh satu klaster tersendiri. Narasi paling dominan dalam klaster ini antara lain DPR korupsi, tidak mendukung rakyat, dan membebani anggaran. Sementara terakhir adalah seruan mengadili “Geng Solo” dan membubarkan DPR, yang juga dibawa oleh satu klaster sendiri.
Dinamika isu itu kemudian bergeser pascademo 28 Agustus 2025. Jika pada aksi 25 Agustus, agenda yang dibawakan oleh mayoritas klaster adalah terkait pembubaran DPR, pada Jumat (29/8/2025) siang, narasi yang paling kuat adalah “adili Geng Solo”, yang merujuk pada mantan Presiden RI, Joko Widodo, dan kroni-kroninya.
“Itu justru mendapatkan momentum mereka, pada demo 29 [Agustus 2025]. Karena banyak yang bilang demo 29 adalah kulminasi dari berbagai macam kekecewaan yang sudah terjadi bertahun-tahun sebelumnya. Dan itu dipupuk dari dan oleh Geng Solo,” kata Nova saat berbincang dengan jurnalis Tirto, Senin (1/9/2025).
Lalu, pada Sabtu (30/8/2025) dan Minggu (31/8/2025), narasinya justru mencelat dari tiga kelompok agenda pada aksi 25 Agustus. Percakapan pendengung didominasi oleh akun-akun buzzer yang sulit teridentifikasi. Narasi yang muncul pada dua hari itu yakni seputar upaya menggulingkan pemerintah dan cekcok antara TNI vs Polri.
Selain membagikan unggahan, ia menyebut para buzzer itu juga bermain di kolom-kolom komentar unggahan TikTok dan Instagram. Pada Sabtu (30/8/2025) dan Minggu (31/8/2025), berseliweran pula narasi ajakan penjarahan dan tindakan diskriminasi atau penyerangan terhadap ras tertentu.
“Mereka tidak literally mengajak gitu. [Tapi mengatakan,] bisa jadi 'ini rumahnya Sahroni nih, di sini alamatnya', semata itu. Jadi tidak semua 'ayo kita datangi'. Jadi kalau itu adalah operasi terkoordinasi, saya punya lima akun, satu bilang 'kita cari rumah Sahroni' satu bilang 'jangan lah kasihan itu orang juga', satu lagi bilang 'kalau ada yang tau share loc di sini', satu lagi bilang 'ini alamat rumahnya, mungkin itu bener apa nggak'. Kalau saya punya lima akun dan itu terkoordinasi, saya akan lakukan itu. Tinggal dilempar publik, makan apa enggak,” ujar Nova.
Meski demikian, kata dia, banyak juga akun-akun yang menyebarkan unggahan bernada positif terhadap gerakan aksi, alias tidak menyusupkan agenda-agenda tertentu dan bahkan menjernihkan kemarahan publik. Akun Founder Malaka Project, Ferry Irwandi, salah satunya. Akun itu juga banyak memperoleh mention, baik di platform TikTok dan Instagram.
Di Instagram, Ferry sangat aktif memberikan update terkait unjuk rasa dan menyuarakan kemungkinan penerapan darurat militer. Ia juga mengampanyekan narasi warga jaga warga, untuk melindungi sesama dan kelompok minoritas.
Tirto juga sempat mencoba melakukan pemantauan media sosial lewat perangkat Meltwater. Dari data antara 27 Agustus 2025-2 September 2025 terdapat sekitar 2,1 ribu kali tagar #indonesiadamai digunakan. Tagar ini kami jadikan patokan lantaran sejalan dengan narasi yang ditawarkan ke para influencer.
Terlihat juga kenaikan tagar ini signifikan pada tanggal 31 Agustus dan 1 September 2025. Kami sempat mencoba mengidentifikasi akun-akun yang mengunggah tagar ini. Beberapa di antaranya menggunakan nama dengan akhiran angka dan akun yang baru dibuat kurang dari 1 tahun terakhir.
Akun-akun tersebut juga menggunakan foto artis ataupun tokoh terkenal, untuk menganonimkan dirinya. Meski tidak semua unggahan dengan tagar tersebut adalah buatan buzzer, ada kecenderungan akun tak organik yang mendengungkan narasi ini.
Buzzer sebagai Praktik Agitation Propaganda
Dosen Departemen Ilmu Komunikasi FISIPOL Universitas Gadjah Mada (UGM), Pratiwi Utami, sepakat soal adanya pergeseran narasi dan lonjakan narasi tiba-tiba sebagai tanda-tanda kuat operasi buzzer.
Dari protes ke DPR, almarhum Affan, polisi, makar, konflik TNI-Polri, hingga isu ras dan penjarahan, menurut Tiwi, hampir bisa dipastikan muncul karena koordinasi yang terstruktur. Sebab, narasi berubah sesuai kebutuhan momentum.
“Kalau itu narasi publik, narasi publik biasanya tidak selabil itu. Kemudian tidak seoportunis itu dalam mengikuti perubahan momentumnya. Nah, karakteristik lainnya kan ada amplifikasi masif, jadi menciptakan tren, jadi interaksinya tidak organik. Tampaknya di analisisnya Drone Emprit juga kelihatan itu,” ungkap Tiwi ketika dihubungi Tirto, Senin (1/9/2025).
Tiwi juga menyinggung soal hasil analisis pusat kajian di bawah Departemen Ilkom UGM, DECODE (Digital Media and Communication Research Center), yang mengungkap temuan serupa. Dari data tersebut terlihat, pada 29 Agustus percakapan media sosial dipicu oleh tindakan represif polisi yang menyebabkan Affan kehilangan nyawa. Menariknya, pada saat bersamaan narasi terkait demo DPR perlahan surut.
“Jadi sudah bergeser. Jadi ke mana perginya narasi yang hilang itu, narasi tentang DPR yang didemo itu? Itu adalah salah satu bentuk hasil dari aktivitas buzzer,” lanjut Tiwi.
Ia berpendapat bahwa aktivitas buzzer dalam aksi Agustus 2025 bisa dipahami sebagai bagian dari censorship, yang dilakukan lewat buzzing atau sensor lewat penciptaan kebisingan. Jadi bukan hanya untuk memperkuat narasi tertentu, tapi juga mengacaukan ruang publik digital dengan isu-isu yang membuat fokusnya menjadi pecah.
“Ini khasnya muncul ketika ya itu tadi, seperti yang kita lihat, suhu politik sedang tinggi. Atau contohnya pada saat pemilu, tapi di konteks ini juga suhu politik dan sosial di Indonesia sedang tinggi-tingginya, terutama kalau ada kebijakan atau langkah-langkah kontroversial dari pemerintah,” kata Tiwi.
Menurutnya, buzzer bisa dilihat sebagai bagian dari praktik agitation propaganda, di mana itu bukan sekadar menyebarkan informasi agar publik mengikuti agenda tertentu, tapi juga menghasut publik untuk mendukung agenda tertentu dengan cara memainkan isu yang memancing emosi.
Dalam konteks tawaran ke sejumlah influencer untuk menciptakan narasi perdamaian, itulah karakter agitation propaganda. Karakternya aktif, intensif, dan diarahkan untuk memicu reaksi publik.
“Dalam kerangka ini saya melihat tawaran yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu kepada beberapa influencer di Indonesia, baik influencer besar atau medium, itu bagian dari strategi agitation propaganda yang sistematis. Jadi pengen membentuk narasi besar,” lanjut Tiwi.
Dengan jumlah pengikut pemengaruh yang banyak, narasi itu kemungkinan bisa menjangkau lebih banyak orang dan berpotensi menutup narasi-narasi organik tentang demonstrasi, aksi protes, atau perlawanan terhadap kebijakan pemerintah.
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id





































