Menuju konten utama

Kejanggalan Perusakan & Penjarahan Demonstrasi Agustus 2025

Sejumlah aktivis kelompok masyarakat sipil mencium terdapat kejanggalan di berbagai tindakan perusakan dan pembakaran dalam demonstrasi di pelbagai wilayah.

Kejanggalan Perusakan & Penjarahan Demonstrasi Agustus 2025
Sejumlah massa tidak dikenal membawa barang-barang di rumah Anggota DPR Surya Utama atau Uya Kuya di Pondok Bambu, Jakarta Timur, Minggu (31/8/2025). ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah/foc.

tirto.id - Aksi demonstrasi meluas di berbagai daerah pada pekan terakhir Agustus 2025. Masyarakat mulai resah dan berharap ada evaluasi tunjangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan sejumlah kebijakan pemerintah.

Sejumlah aksi massa bahkan berakhir ricuh. Banyak fasilitas umum, gedung dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD), hingga kantor polisi yang menjadi sasaran perusakan hingga pembakaran. Rumah pejabat publik dan beberapa anggota DPR turut menjadi sasaran perusakan dan penjarahan.

Demonstrasi yang bermula pada 25 Agustus 2025 di Jakarta itu awalnya mendesak evaluasi kinerja dan kebijakan tunjangan anggota DPR yang fantastis. Pada 28 Agustus 2025, aksi lanjutan terjadi di Jakarta dan sejumlah daerah yang kemudian berakhir kericuhan.

Aparat kepolisian melakukan tindakan represif terhadap demonstran, sampai menyebabkan pengemudi ojek online (ojol), Affan Kurniawan (21) meninggal dunia, usai dilindas Kendaraan Taktis (Rantis) Brimob di Bendungan Hilir, Jakarta Pusat.

Meninggalnya Affan, menyalakan kemarahan publik semakin berkobar. Tak hanya di Jakarta, pada Jumat (29 Agustus 2025) hingga Sabtu (30 Agustus 2025), demonstrasi besar-besaran pecah di pelbagai kota seperti di Bandung, Makassar, Kediri, Solo, Surabaya, hingga DI Yogyakarta. Massa aksi berpusat di markas kepolisian, DPR-DPRD, hingga gedung Pemerintahan Daerah.

Dua hari terakhir Agustus 2025 turut diwarnai dengan penjarahan di rumah Menteri Keuangan Sri Mulyani serta beberapa anggota DPR: Ahmad Sahroni, Uya Kuya, Eko Patrio hingga Nafa Urbach (belakangan diketahui rumah mantan suaminya). Aksi massa dilakukan sekelompok orang dengan jumlah besar disertai perusakan di rumah para pejabat publik tersebut.

Kendati begitu, sejumlah aktivis kelompok masyarakat sipil mencium kejanggalan di berbagai tindakan perusakan dan pembakaran dalam demonstrasi di pelbagai wilayah. Juga ketika terjadi penjarahan di rumah pejabat publik, ada kesan terorganisir dan justru tidak dilakukan oleh warga setempat.

Dikhawatirkan berbagai tindakan anarkistis itu justru sengaja diorganisir pihak yang sengaja memprovokasi kerusuhan sehingga mendelegitimasi aspirasi masyarakat. Hal ini berpotensi membuat tindakan pengamanan aksi massa oleh aparat keamanan menjadi lebih represif.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhamad Isnur menyatakan, pihaknya menemukan pola yang serupa ketika pecah kerusuhan dalam peristiwa Mei 1998, Poso, Banyuwangi, dan Ambon di masa lalu. Hal itu menurut Isnur, merupakan metode yang sengaja dilakukan untuk memancing masyarakat melakukan tindakan kerusuhan.

“Metode yang memang dibangun aktor-aktor kekuasaan ya, dan mereka memancing warga melakukan kerusuhan gitu. Itu kan cerita sama pada kasus Yogya Plaza di Klender 1998, itu seperti itu,” kata Isnur kepada wartawan Tirto, Senin (1/9/2025).

Isnur menduga memang ada kelompok provokator yang sengaja menyusup di dalam banyak demonstrasi yang pecah di akhir Agustus 2025. Provokator itu berbeda dengan massa aksi yang memang turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasi dan kritik. Kelompok provokator, kata Isnur, tampak lebih sistematis dan terorganisir.

Menurut Isnur, demonstrasi yang dilakukan masyarakat sejatinya berlangsung damai dan itu merupakan hak yang dijamin oleh konstitusi. Demokrasi menjamin kebebasan bersuara dan berpendapat sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam mengawal kekuasaan.

Kelompok provokator, kata dia, tentu saja menjadi ancaman bagi demokrasi sebab berupaya untuk mengkambinghitamkan aksi massa menjadi tindakan yang berujung pada kekerasan. Hal itu kian tampak lewat pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang memerintahkan Polri dan TNI bertindak tegas terhadap demonstran yang merusuh.

Statement Prabowo yang menuduh bahwa demonstran ini adalah bagian dari makar dan terorisme, menurut saya sangat berbahaya dan bertentangan dengan pernyataan dia yang menjamin kebebasan berekspresi,” ujar Isnur.

Sebelumnya, Prabowo menegaskan pemerintah tidak tinggal diam menyikapi gelombang aksi massa di Jakarta dan sejumlah daerah. Pada konferensi pers di Istana Negara, Minggu (31/8/2025), ia menegaskan aspirasi masyarakat yang murni tetap dihormati, namun negara juga mendeteksi adanya indikasi tindakan melawan hukum.

Prabowo menyatakan pemerintah terbuka terhadap kebebasan berpendapat, termasuk hak masyarakat berkumpul secara damai sebagaimana diatur hukum nasional dan internasional. Namun, ia memberi peringatan keras agar aksi tidak berubah menjadi tindakan anarkis.

"Sudah mulai kelihatan gejala adanya tindakan-tindakan di luar hukum, bahkan melawan hukum, bahkan ada yang mengarah kepada makar dan terorisme," ucap Prabowo.

Senada pernyataan presiden, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin menyampaikan, agar Kapolri dan Panglima TNI tidak ragu mengambil langkah terukur dan tegas terhadap setiap pelanggaran hukum. Aksi massa seperti perusakan fasilitas umum, penjarahan, maupun gangguan penegakan hukum masuk kategori ini. Tindakan tegas juga diminta dilakukan apabila terjadi ancaman terhadap keselamatan pribadi maupun kediaman pejabat negara.

Selain itu, ungkap Sjafrie, Prabowo memerintahkan Badan Intelijen Negara (BIN) memantau dinamika di lapangan dan melaporkan perkembangan kepada presiden. Selain itu, menteri dalam negeri turut diminta menjaga koordinasi dengan pemerintah daerah.

“Soliditas seluruh aparat, baik pemerintah pusat maupun daerah, menjadi kunci menjaga keamanan dan ketertiban. Panglima TNI bersama kepala staf angkatan darat, laut, dan udara akan memastikan keamanan nasional,” kata Sjafrie setelah Sidang Paripurna Kabinet Merah Putih yang digelar, Minggu (31/8/2025) sore.

Menekan supremasi masyarkat sipil

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Keamanan memandang pernyataan Prabowo dan Sjafrie memiliki gelagat menekan supremasi masyarakat sipil. Menurut salah satu anggota koalisi, sekaligus Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Julius Ibrani, gejolak sosial yang terjadi di masyarakat ini disebabkan faktor gagalnya negara memastikan keadilan bagi masyarakat.

Sehingga penerapan pengamanan berlebihan oleh TNI dan Polri tidak diperlukan. Apalagi jika sampai muncul penetapan status darurat militer yang sesungguhnya tak menjawab akar persoalan.

Secara konstitusional, kata Julius, militer semestinya menjalankan fungsi pertahanan. Oleh karena itu pernyataan Menteri Pertahanan Sjafrie tidaklah tepat dan tidak sejalan UUD 1945. Pasal 30 UUD Republik Indonesia secara tegas menyebut bahwa TNI bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.

Sementara Kepolisian bertugas sebagai alat negara dalam menjaga keamanan, ketertiban, melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.

“Presiden tidak boleh memanfaatkan situasi saat ini untuk memperluas kewenangan militer di luar dari ketentuan konstitusi yang dapat memberangus kebebasan sipil dan demokrasi,” kata Julius kepada wartawan Tirto, Senin (1/9/2025).

Aksi unjuk rasa di DPRD Kalimantan Tengah

Pengunjuk rasa meneriakkan yel-yel saat aksi di depan kantor DPRD Kalimantan Tengah, Palangka Raya, Senin (1/9/2025). ANTARA FOTO/Auliya Rahman/nym.

Belajar dari Peristiwa Kerusuhan Mei 1998


Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Dimas Bagus Arya menduga memang terdapat kelompok yang memancing di air keruh dalam aksi Agustus 2025 di pelbagai wilayah. Kelompok tersebut memanfaatkan situasi ketegangan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dengan menyulut provokasi dan mendorong perusakan fasilitas umum.

KontraS tidak ingin menduga-duga siapa aktor di balik perusakan, pembakaran, hingga aksi penjarahan yang terjadi baru-baru ini. Kendati begitu, Dimas menegaskan bahwa aspirasi keresahan dan kekecewaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah dan DPR merupakan hak yang semestinya dijamin dan dilindungi.

Proses hukum yang adil perlu didahulukan aparat penegak hukum dalam menghadapi aksi anarkistis di tengah demonstrasi ketimbang melakukan langkah koersi. Dimas menyatakan sekarang ini sudah banyak unggahan di media sosial yang dapat membedakan mana aksi demonstrasi yang organik dan aksi yang ditunggangi kelompok provokator. Ini menurutnya menjadi metode yang cerdas mencegah pihak yang ingin mendelegitimasi aspirasi rakyat.

“Ini cara yang baik sebagai sebuah jaring pengaman agar tidak terjadi tindakan terlampau eskalatif sesama masyarakat. Warga punya kecerdasan, kedewasaan saling mengingatkan satu sama lain, saling menjaga. Ini merupakan seruan melakukan prevensi supaya tidak ada lagi tindakan-tindakan yang sebenarnya dapat merugikan orang banyak,” ujar Dimas kepada wartawan Tirto, Senin (1/9/2025).

Aksi damai mahasiswa bersama masyarakat Lampung

Mahasiswa menunjukan poster tulisan saat aksi damai mahasiswa bersama masyarakat Lampung, di Halaman kantor DPRD Provinsi Lampung, Lampung, Senin (1/9/2025). ANTARA FOTO/Ardiansyah/nym.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menduga terjadi pola yang serupa dalam tindakan perusakan, pembakaran, hingga penjarahan kali ini, dengan peristiwa kerusuhan Mei 1998. Mantan aktivis 1998 itu memandang pola menyulut kerusuhan di tengah masyarakat memang berulang seperti saat akan memulai reformasi.

Menurutnya, pola ini dipakai untuk membenarkan tindakan represif dan kekerasan terhadap aksi massa secara lebih intensif. Tahun 1998 cara ini dipakai untuk melegitimasi represi agar protes rakyat berhenti dan dipakai mempertahankan kekuasaan status quo. Berbedanya, kata dia, dalam demonstrasi Agustus 2025 kental nuansa pertarungan elite politik.

“Protes rakyat belakangan ini semuanya organik dipicu oleh kebijakan yang pro-kepentingan elite dan ketidakadilan. Tapi kemudian disusupi oleh kelompok tertentu yang merusak protes organik rakyat, dan terlihat terjadi pertarungan antarinstitusi keamanan yang bisa merugikan mereka sendiri,” ucap Usman kepada wartawan Tirto, Senin (1/9/2025).

Sebelumnya, beredar di media sosial foto yang menunjukkan seorang pria diduga anggota TNI tengah diamankan anggota Brimob. Dalam gambar itu, pria berpakaian sipil tampak sedang mengangkat telepon. Pada foto yang sama, seorang anggota Brimob terlihat menunjukkan kartu izin senjata dan tercantum keterangan “Badan Intelijen Strategis” yang menandakan asal satuan pria yang diduga anggota TNI itu.

Dugaan adanya provokator di aksi demonstrasi

Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Brigjen Mar Freddy Ardianzah, mengklarifikasi dugaan adanya anggota TNI yang menjadi provokator dan ditangkap oleh pihak kepolisian pada aksi demonstrasi Sabtu (30/8/2025) kemarin.. FOTO/Istimewa

Namun Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Brigjen Mar Freddy Ardianzah, langsung membantah kabar yang beredar terkait anggota TNI yang diduga menjadi provokator aksi.

“Saya tegaskan bahwa tidak ada anggota TNI yang ditangkap Polri maupun menjadi provokator dalam peristiwa tersebut. Itu narasi bohong dan menyesatkan,” kata Freddy dalam keterangan pers resmi yang diterima Tirto, Minggu (31/8/2025).

Menurut dokumen laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) pada peristiwa Mei 1998, kerusuhan saat itu mempunyai pola umum yang dimulai dengan berkumpulnya massa pasif yang terdiri massa lokal dan massa pendatang (tak dikenal), kemudian muncul sekelompok provokator yang memancing massa dengan berbagai modus tindakan. Seperti membakar ban atau memancing perkelahian, meneriakkan yel-yel yang memanasi situasi, dan merusak rambu-rambu lalu lintas.

Setelah itu, provokator mendorong massa melakukan perusakan barang dan bangunan, disusul tindakan menjarah barang dan di beberapa tempat diakhiri dengan membakar gedung atau barang lain. Di beberapa lokasi ditemukan variasi, kelompok provokator secara langsung melakukan perusakan, baru kemudian mengajak massa ikut merusak.

Aksi unjuk rasa di Ciamis

Massa aksi dari Aliansi Mahasiswa Ciamis Menggugat membakar ban bekas saat unjuk rasa di DPRD Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Senin (1/9/2025). ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/nz

Melihat sejarahnya, para pelaku kerusuhan 13-15 Mei 1998 terdiri dari dua golongan yakni pertama, massa pasif (massa pendatang) yang diprovokasi menjadi massa aktif. Kedua, kelompok provokator. Provokator umumnya bukan dari wilayah setempat, secara fisik tampak terlatih, sebagian memakai seragam sekolah seadanya, tidak ikut menjarah, dan segera meninggalkan lokasi setelah gedung atau barang terbakar.

“Para provokator ini juga yang membawa dan menyiapkan sejumlah barang untuk keperluan merusak dan membakar seperti jenis logam pendongkel, bahan bakar cair, kendaraan bom molotov, dan sebagainya,” tulis laporan yang rilis pada Oktober 1998 tersebut.

Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra menilai, sebetulnya tanda-tanda adanya pihak yang sengaja ingin memicu kerusuhan dalam demonstrasi di akhir Agustus 2025, sudah banyak terdokumentasikan oleh warganet di media sosial (medsos). Tanda-tanda massa terkoordinir juga muncul dalam kasus penjarahan di rumah pejabat publik.

Kelompok massa ini diterjunkan untuk mendelegitimasi dua hal: Pertama, mendelegitimasi protes masyarakat dan mahasiswa sehingga dicap perusuh dan bisa dibatasi. Kedua, agar menjadi pembenaran pelibatan militer dalam menjaga keamanan dalam negeri.

“Kelompok masyarakat sipil, khususnya mahasiswa, tidak ingin mengarahkan kemarahan ini menjadi kerusuhan massal. Kami paham dan sadar saat ini ada gejala terjadinya ‘Orde Baru Playbook’ yang memanfaatkan kemarahan publik untuk menciptakan kerusuhan, sehingga terjadilah pendelegitimasian,” terang Ardi kepada wartawan Tirto, Senin (1/9/2025).

Baca juga artikel terkait KEKERASAN POLISI TANGANI DEMO atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News Plus
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Alfons Yoshio Hartanto