Menuju konten utama

Buruh Kritik Nasdem yang Ngotot Bahas RUU Cilaka Saat Corona

Nasdem dikritik karena mengusulkan RUU Cilaka dibahas saat ini juga, ketika COVID-19 semakin mengganas.

Buruh Kritik Nasdem yang Ngotot Bahas RUU Cilaka Saat Corona
Sejumlah buruh dan mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Menolak (GERAM) melakukan aksi unjuk rasa di Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (11/3/2020). ANTARA FOTO/Arnas Padda/yu/ama.

tirto.id - Fraksi Partai Nasdem dikritik oleh serikat buruh dan akademisi karena mengusulkan RUU Cipta Kerja (sebelumnya bernama RUU Cipta Lapangan Kerja alias Cilaka) dan RUU Perpajakan tetap dibahas saat ini juga, ketika masyarakat, pemerintah, dan sebagian besar tenaga medis di seluruh Indonesia tengah 'berperang' melawan pandemi Corona COVID-19. Usul ini mereka sampaikan dalam rapat paripurna Senin (30/3/2020) kemarin.

"Akan jauh lebih baik kalau misalnya [dua peraturan ini] mulai dibahas. Apakah dikasih ke fraksi, komisi, dan sebagainya," kata Sekretaris Fraksi Nasdem DPR RI Saan Mustopa. Menurutnya dua peraturan ini dapat menjadi senjata pamungkas untuk memulihkan keadaan saat pandemi mereda. "Usai COVID-19, kita perlu recovery secara cepat," tambah Saan, yang juga menjabat Wakil Ketua Komisi II.

Februari lalu, saat COVID-19 baru sayup-sayup terdengar di luar negeri, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh meminta semua kader "memberikan dukungan secara totalitas agar omnibus law segera disahkan oleh DPR." Saan nampaknya memegang teguh instruksi dari sang ketua umum ini.

Salah satu pihak yang menolak keras usul ini adalah Wakil Ketua Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Jumisih. "Nasdem sedang mencari-cari kesempatan untuk menggolkan RUU Cipta Kerja," kata Jumisih saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (31/3/2020).

KPBI adalah salah satu serikat yang vokal menolak RUU Cilaka karena substansinya merugikan pekerja. Peraturan tersebut mengebiri banyak hak-hak buruh. Ia juga dinilai memuluskan PHK massal. Selain itu, proses penyusunannya pun tidak partisipatif dan akuntabel. Hanya pengusaha yang didengar aspirasinya.

Penolakan serupa disampaikan Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) dan juru bicara Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) Nining Elitos. Kepada reporter Tirto, ia bahkan memperingatkan jika Nasdem tetap ngotot, "jangan salahkan kalau rakyat membangkang."

Baik Jumisih atau Nining berharap parlemen fokus pada penanganan pandemi COVID-19.

Di sektor ketenagakerjaan, keduanya meminta selama situasi saat ini, pemerintah dan parlemen memastikan buruh tetap mendapat haknya dan tidak di-PHK. Masalahnya, saat ini harapan tersebut jauh panggang dari api. Keduanya menilai perlindungan terhadap pekerja pada masa krisis belum memadai.

Berdasarkan pantauan Gebrak, industri padat karya seperti garmen dan tekstil mulai melakukan PHK akibat tidak bisa ekspor. Selain itu, perusahaan pun memangkas upah dan cuti dengan dalih pandemi COVID-19 mengurangi keuntungan.

Parahnya, pemangkasan ini direstui pemerintah melalui Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/3/HK.04/III/2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19. Surat itu membuka peluang untuk mengubah besaran upah dan waktu pembayaran upah akibat COVID-19.Pekerja lepas pun tak luput dari dampak COVID-19.

Kondisi-kondisi seperti ini justru bisa berlanjut jika RUU Cilaka disahkan.

"Situasi seperti itu terjadi sebelum COVID, pas ada COVID juga terjadi. Kalau omnibus law disahkan, apalagi," kata Jumisih.

Tidak Memungkinkan

Jumlah halaman draf RUU Cilaka mencapai 1.028 dan terbagi atas 11 klaster pembahasan. RUU itu dibagi dalam 15 bab dan terdiri atas 174 pasal. Selain itu, RUU akan berdampak pada 79 undang-undang yang sudah ada. Sementara RUU Perpajakan terdiri dari 23 pasal dan berdampak pada 9 undang-undang lain.

Mengingat besarnya 'kapasitas bus' yang dibawa dalam dua RUU itu dan dampaknya bagi masyarakat, pakar hukum tata negara dari Sekolah Hukum Jentera Bivitri Susanti menilai pembahasan dua peraturan itu harus dilakukan dengan rinci dan melibatkan banyak pihak. Partisipasi ini tak akan dapat terpenuhi sekarang, karena masyarakat diatur untuk menjaga jarak dan tidak ke luar rumah.

"Jadi saya kira jauh dari ideal juga kondisinya untuk membahas undang-undang, apalagi sepenting dan sebesar omnibus law," kata Bivitri kepada reporter Tirto.

Selain itu, Bivitri juga meragukan klaim Nasdem bahwa 2 RUU itu penting untuk memulihkan kondisi ekonomi pasca COVID-19. Pasalnya, undang-undang yang berkait dengan ekonomi umumnya didasari pada asumsi-asumsi keekonomian pula. Pada kondisi ini, banyak indikator ekonomi yang telah melenceng jauh dari asumsi awal. Terlebih, setelah sebuah RUU diundangkan, maka ia membutuhkan aturan pelaksana agar bisa diterapkan. Tentu itu akan memakan waktu juga.

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia mencatat setidaknya akan ada 493 peraturan pemerintah, 19 peraturan presiden, dan 4 peraturan daerah baru agar regulasi ini bisa operatif. Totalnya berarti ada 516 peraturan pelaksana.

"Jadi kondisi sekarang sangat berbeda sehingga kalau dipaksakan tidak akan bisa diimplementasikan sesegera mungkin," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait RUU CILAKA atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Politik
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino