Menuju konten utama

Saat LSM Satu Suara Tolak Undangan KSP Bahas Omnibus Law RUU Cilaka

Mayoritas LSM memilih tidak menghadiri undangan KSP. Mereka menganggap undangan tersebut hanya formalitas meski lantas dibantah.

Saat LSM Satu Suara Tolak Undangan KSP Bahas Omnibus Law RUU Cilaka
Sejumlah pengunjuk rasa dari sejumlah organisasi buruh melakukan aksi damai menolak Omnibus Law' RUU Cipta Lapangan Kerja di Jalan Merdeka Barat, Jakarta, Rabu (15/1/2020). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/hp.

tirto.id - Baru-baru ini Kantor Staf Presiden (KSP) mengundang 16 organisasi masyarakat sipil untuk membicarakan perkara Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (sebelumnya bernama Cipta Lapangan Kerja alias Cilaka). Peraturan bertipe omnibus law--merevisi banyak peraturan sekaligus--ini dibuat pemerintah dan sudah diserahkan ke DPR untuk dibahas di tingkat selanjutnya.

Tapi sebagian dari mereka menolak hadir dalam acara tersebut. LSM ini sedari awal menolak keberadaan RUU Cipta Kerja dengan berbagai alasan.

Direktur Eksekutif Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati membenarkan kalau YLBHI diundang dalam acara KSP. Institusinya menolak hadir karena menganggap itu hanya formalitas belaka.

“Kami melihat itu semacam cuma bentuk legitimasi dan dipakai untuk menjustifikasi bahwa 'sudah mengundang masyarakat sipil,' padahal sebelum-sebelumnya kami minta draf enggak dapat, sulit,” Kata Asfin saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (4/3/2020). “Kenapa dia tidak mengundang sebelum menyerahkan draf itu? ini cuma akal-akalan saja,” Asfin menegaskan.

Pembahasan RUU Cilaka memang tertutup dari masyarakat sipil, tapi sangat terbuka untuk para pengusaha. Pengusaha bahkan jadi mayoritas di Satgas Omnibus Law yang dibuat pemerintah dalam rangka memberikan masukan. Sementara serikat buruh, salah satu kelompok yang paling berkepentingan dengan peraturan ini, hanya menerima dan mendengar apa yang sudah diputuskan.

Menko Perekonomian Airlangga Hartanto mengatakan partisipasi publik dimungkinkan setelah draf diserahkan ke DPR. “Public hearing dilakukan saat pembahasan di DPR. Namanya RDPU,” katanya setelah menyerahkan draf ke DPR, 12 Februari lalu. Sementara Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono pernah mengatakan kalau pembahasan RUU Cilaka dilakukan tertutup karena pemerintah tidak ingin memicu kegaduhan.

Karena sedari awal sifatnya tertutup itu, Asfin berpendapat DPR semestinya tidak meloloskan peraturan ini.

Selain YLBHI, Institute Criminal and Justice Reform (ICJR) juga menolak datang. Peneliti senior ICJR Anggara Suwahju mengatakan tidak datang karena pemerintah sudah tidak memenuhi asas hukum dalam menyusun regulasi ini. Pria yang baru saja turun dari kursi direktur eksekutif per 1 Maret 2020 ini mengaku bersedia membahas RUU Cilaka jika “prosesnya diulang. Engggak boleh tertutup.”

Lokataru juga menolak menghadiri undangan KSP. Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar menolak hadir karena pembahasan RUU Cilaka tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, sehingga “apa pun yang dibahas saat ini adalah cacat hukum.”

Haris lantas mendorong DPR dan pemerintah tidak membahas RUU Cilaka karena “semua biaya yang digunakan untuk meneruskan RUU ini adalah berpotensi menjadi penyalahgunaan uang negara.”

Selain YLBHI, Lokataru, dan ICJR, LSM lingkungan juga bersuara bulat menolak undangan. Mereka di antaranya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Mereka menolak hadir karena menganggap RUU Cilaka hanya bukti buruknya komitmen pemerintah terhadap perindungan lingkungan hidup.

Dalam RUU Cilaka, misalnya, Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dihapus, persyaratan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) pun hilang.

Menurut Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik FISIP UI Hurriyah, penolakan LSM ini “sangat bisa dipahami.” “[Pertemuan tersebut] hanya sekadar formalitas atau bahkan bisa saja dianggap upaya mengkooptasi masyarakat sipil,” katanya kepada reporter Tirto.

Menko Airlangga pernah mengatakan pemerintah telah melibatkan pekerja, sementara serikat buruh merasa sebaliknya, kecuali jika maksud pemerintah dengan 'pelibatan' itu hanya sekadar sosialisasi. Hurriyah mengatakan para LSM yang diundang tak mau bernasib sama.

Selain itu, menurutnya posisi pemerintah, termasuk KSP, saat ini juga sudah tak relevan. Jadi datang atau tidak sudah tidak penting lagi. Lagipula, katanya, “KSP ini kan bukan pembuat peraturan. Kita sudah punya prosedur yang jelas.”

Jawaban KSP

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko tidak mau memberi tanggapan atas penolakan banyak LSM ini. “Tanya Deputi V,” Kata Moeldoko, Kamis (4/3/2020) lalu.

Plt Deputi V KSP Jaleswari Pramodhawardhani mengatakan tidak masalah jika ada yang menolak hadir. “Ini negara demokratis, kami memahami posisi dan pilihan bebas mereka untuk menolak hadir,” kata Dhani kepada reporter Tirto.

Meski begitu Dhani keberatan jika ada yang menganggap pertemuan itu hanya sekadar formalitas, meski dia pun sadar kalau pelibatan publik selama ini “belum optimal karena memang dituntut segera.” “Kami menyayangkan dengan anggapan yang tidak benar bahwa kami melegitimasi kehadiran mereka untuk menerima RUU ini. Tidak benar kalau pertemuan ini sekadar formalitas,” katanya menegaskan.

“Sungguh kami ingin mengetahui aspirasi kawan-kawan NGO dan akademisi untuk masukan RUU yang masih dalam proses pembahasan ini,” tambahnya. Ia lantas menegaskan upaya serupa akan tetap dilakukan di kemudian hari. “Kami tetap akan membuka ruang dialog, karena ini masih panjang prosesnya.”

Pertemuan tersebut tetap diselenggarakan pada Selasa 3 Maret 2020. Dari 16 LSM yang diundang, hanya 4 yang hadir, klaim Dhani. Mereka adalah Infid (International NGO Forum on Indonesian Development ), Imparsial, LeIP (Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan), dan LPBH YKI (Lembaga Pelayanan dan Bantuan Hukum Yayasan Komunikasi Indonesia).

Baca juga artikel terkait RUU CILAKA atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Rio Apinino