tirto.id - Mahfud MD adalah jenis politikus relatif langka di Indonesia. Ia sudah mencecap semua bagian kekuasaan: legislatif sebagai anggota DPR pada 2004-2008, yudikatif sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2008-2013, dan eksekutif sebagai Menteri Pertahanan pada 2000-2001.
Maka, ekspektasi publik terhadapnya relatif tinggi saat ia jadi bagian dalam Kabinet Indonesia Maju sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), yang membawahi enam kementerian, tiga badan sekaligus Kejaksaan Agung, BIN, TNI, dan Polri.
Ia, misalnya, diharapkan mampu menuntaskan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia yang terkatung-katung puluhan tahun lalu. Harapan ini semakin tinggi karena dialah Menkopolhukam pertama yang berlatar belakang sipil. Sebelumnya, jabatan ini selalu diisi oleh tokoh militer. Ia pernah menegaskan agar "kritiklah saya sebagai menteri" sebagaimana yang kerap ia lakukan saat masih di luar lingkaran kekuasaan.
Tapi, alih-alih memenuhi harapan publik, pernyataannya di media massa sejak menjabat pada 23 Oktober 2019 mengundang lebih banyak kontroversi.
Mahfud, misalnya, pernah mengatakan tidak ada pelanggaran HAM di era Presiden Joko Widodo. Klaim ini menyesatkan sepanjang mengacu pengertian HAM pada Deklarasi Universal HAM serta Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR). Mahfud menyempitkan definisi pelanggaran HAM hanya pada tingkat kekerasan, padahal bentuk-bentuk pelanggaran HAM itu beragam, termasuk pelanggaran terhadap hak atas tempat tinggal dan hak untuk berekspresi. Pelanggaran ini terjadi di periode pertama pemerintahan Jokowi.
Mahfud juga sempat dikritik karena mengatakan Veronica Koman, advokat yang membela hak asasi manusia orang Papua, sebagai "orang yang selalu menjelek-jelekkan Indonesia dan anti-Indonesia." Baginya, Vero tak patut bertindak demikian karena dia penerima beasiswa pemerintah dan karena itu "punya utang terhadap Indonesia." Mahfud juga menyebut Vero "pengingkar janji."
Namun, Mahfud kembali menegaskan pada waktunya nanti "pelanggaran masa lalu akan diungkap faktanya." Karena niat itulah sampai saat ini pemerintah tengah merancang peraturan soal Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
"Yang tidak bisa ke pengadilan, ya... dengan rekonsiliasi," kata Mahfud saat wawancara dengan reporter utama Tirto Andrian Pratama Taher dan fotografer Andrey Gromico di kantornya, 20 Februari 2020.
"Siapa yang salah siapa yang benar, ndak penting," katanya dengan logat khas Madura.
Wawancara membahas topik-topik lain, dari mengapa pada akhirnya dia diangkat sebagai Menkopolhukam oleh Jokowi padahal sebelumnya diisukan menjabat Jaksa Agung, hingga pendapatnya mengenai para penolak RUU Cipta Kerja (sebelumnya RUU Cipta Lapangan Kerja alias Cilaka).
Menurut Mahfud, ada tiga tipe penolak RUU Cilaka, dan salah satunya bersifat politis. "Tidak setuju dan tidak mau tahu juga. Pokoknya mau demo saja," katanya.
Ia menantang para penentang RUU Cilaka, termasuk serikat-serikat buruh, untuk "konkret." "Pasal berapa, ayat berapa yang ditolak? Mari kita berdebat kenapa Anda tidak setuju. Kalau ndak benar, kita ubah."
Di akhir sesi wawancara selama 20 menit, Mahfud mengajak kami ke ruang kerjanya: ada lima bundel draf tercetak RUU Cilaka setebal 1.028 halaman. Politikus kelahiran 13 Mei 1957 ini memperlihatkan beberapa halaman yang sudah dicoret-coret, ingin menandakan ia membaca peraturan sapu jagat itu.
Kenapa Anda ditunjuk Presiden Joko Widodo sebagai Menkopolhukam? Apa benar Anda semestinya mengisi posisi Jaksa Agung, tapi karena Menteri Pertahanan adalah Prabowo Subianto, maka Moeldoko, yang semula digadang-gadang menjadi Menkopolhukam, memilih bertahan di Kantor Staf Presiden (KSP) dengan pertimbangan dia adalah junior Prabowo di Akademi Militer?
Saya ndak tahu cerita latar belakang itu. Yang jelas saya memang dihubungi sebelumnya, antara lain di pos Kejaksaan Agung. Diskusi-diskusi saya dengan Pak Pratikno (Menteri Sekretaris Negara) itu kemungkinan pos di Kejaksaan Agung atau kemungkinan di Kemenkumham, kemungkinan juga di Menhan. Banyaklah waktu itu. Tapi, semua dinamis. Presiden sendiri tidak mengatakan pos apa.
Yang pasti, ketika saya dipanggil oleh presiden, ya itu [menjadi Menkopolhukam]. Sebelumnya diberi tahu oleh Pak Pratikno, 'Pak Mahfud tidak di Kejaksaan Agung, tapi di Menkopolhukam.' Gitu aja.
Apa latar belakangnya? Saya tidak perlu bertanya. Ketika dipanggil Presiden juga tidak menjelaskan latar belakang. Presiden hanya mengatakan, 'Pak Mahfud, latar belakangnya ini sebagai politikus, ini sebagai akademisi di sini, sudah pernah di bidang hukum, pernah di Menhan.' Beliau tahu semua.
[...] Soal deradikalisasi, HAM, penegakan hukum, pemberantasan korupsi, itu semua arahan Presiden Jokowi ketika mengangkat saya.
Anda langsung menerima jabatan itu ketika ditawari?
Oh, ya, saya terima saja. Itu, kan, penunjukan dari presiden, bukan tawar-menawar seperti orang mencari kerja.
Banyak orang yang disebut-sebut mengisi pos ini biasa saja, sih. Banyak juga yang disebut [calon Menkopolhukam], misalnya Sjafrie Sjamsoeddin (pensiunan Letjen TNI, kini asisten khusus Menhan Prabowo). Ada siapa lagi juga pernah disebut-sebut. Nah, saya tidak tahu siapa saja yang disebut akan mengisi pos ini sebelum saya. Saya juga merasa tidak harus tahu.
Pilkada 2020 sudah di depan mata: 270 daerah (9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota) akan menggelar suksesi kepemimpinan. Di antara sekian banyak kontestan, ada keluarga-keluarga petahana, para pejabat, bahkan ada yang dari lingkar Istana (anak dan menantu Jokowi, Gibran Rakabuming dan Bobby Nasution, maju di Pilkada Solo dan Medan). Ada tanggapan?
Demokrasi itu memang selalu dinamis. Apa yang kita anggap masalah di sini, di negara besar pun jadi masalah atau terjadi. Bicara petahana, ya biar saja petahana maju. Petahana juga tidak dilarang. Yang penting jangan menggunakan fasilitas negara, jangan kolutif, jangan kronitik, despotik, dan lain sebagainya. Yang penting kami mengamankan saja.
Langkah pengamanan secara spesifik bagaimana?
Polri sudah punya standar pengamanan. KPU juga sudah. Kami lebih menjaga kalau terjadi hal-hal yang sifatnya insiden, terjadi tiba-tiba, tidak kita duga. Nah, itu juga kami sudah punya langkah mitigasi yang sudah disiapkan. Kami sudah punya banyak pengalaman. Kami sudah siap.
Dalam wawancara dengan BBC, Presiden Jokowi mengatakan prioritas utama mengelola Indonesia adalah ekonomi, bukan HAM atau lingkungan meski dia bilang bukan berarti tidak senang dengan perspektif itu. Bagaimana Anda menempatkan visi itu sebagai Menkopolhukam? Apakah jadi sebatas menopang apa yang dikerjakan Menko Maritim dan Investasi Luhut Pandjaitan?
Ndak, bukan menopang, tetapi bersinergi karena pembangunan ekonomi itu bagian dari hak asasi manusia. Begini, lho, ada orang mengatakan Pak Jokowi ini kok visinya ekonomi, kok tidak hak asasi manusia? Lho, ekonomi itu hak asasi. Kalau orang tahu, orang belajar hak asasi, yang dikerjakan Pak Jokowi itu adalah pembangunan hak asasi generasi dua: Ekosob—ekonomi, sosial, budaya.
Ada tiga generasi HAM. Generasi pertama itu hak sipil dan politik. Lalu ada generasi kedua: hak ekonomi, sosial, dan budaya. Itu hak asasi juga karena ndak ada gunanya politik maju kalau ekosob-nya ndak dimajukan. Kebijakan hak Ekosob lebih banyak dengan politik afirmasi seperti BPJS. Ada hak asasi manusia generasi ketiga, yaitu manusia berhak mendapatkan hak asasinya dari kerusakan lingkungan.
Jadi semua itu bagian dari politik yang holistik. Dilihat dari konstitusi, untuk melindungi hak asasi manusia, ekonomi itu bagian penting.
Tapi Omnibus Law terlihat hanya pro investasi dan mengabaikan lingkungan, artinya melanggar HAM?
Omnibus Law itu namanya mekanisme pembuatan pengaturan untuk menyederhanakan prosedur. Omnibus Law itu sebenarnya nama generik, nama spesifiknya macam-macam, beda-beda. Kamu minum obat batuk, 'obat batuk' itu generik, nama mereknya yang spesifik. Apa sih obat batukmu?
Nama spesifik Omnibus Law itu bermacam-macam. Di bidang pajak, ada Rancangan Undang-Undang Perpajakan, lalu Cipta Lapangan Kerja. Ada lagi di sini mungkin yang agak cepat [selesai dan jadi UU] itu soal keamanan laut.
Omnibus Law itu tidak investasi semata, tetapi pada cipta lapangan kerja. Selama ini pengangguran, kelangkaan lapangan kerja, itu karena prosedur-prosedur berinvestasi yang rumit, sehingga perlu di-omnibus law-kan agar lapangan kerja terbuka. Harus dipahami dari sudut bahwa Omnibus Law dalam rangka membuat lapangan kerja semakin terbuka, bukan sekadar mempermudah investasi.
[Redaksi: Badan Pusat Statistik menyebut pada Agustus 2019, jumlah angkatan kerja Indonesia ada 133,56 juta orang. 7,05 juta di antaranya menganggur; dan 8,14 juta setengah menganggur--bekerja di bawah 35 jam per pekan.]
Banyak orang yang membahas Omnibus Law itu dari gosip, bukan dari fakta. Misalnya soal pesangon, soal gaji, banyak sekali yang digosipkan. Soal tenaga kerja asing itu gosip. Tapi, ada yang tidak gosip, yang memang keliru. Misalnya, PP bisa mengubah isi undang-undang. Itu bukan gosip. Benar itu salah. Ya perbaiki saja. Ini masih RUU, tidak apa-apa.
[Redaksi: Pasal 170 ayat (1): "Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam Undang-Undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini."
Pasal 170 ayat (2): "Perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah."
Pasal 170 ayat (3): "Dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat dapat berkonsultasi dengan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia."]
Anda pernah bilang buruh menolak RUU Cipta Kerja karena salah paham. Itu sebelum draf rilis. Setelah draf rilis, buruh tetap menolak karena menilai RUU Omnibus Lawa merugikan buruh.
Kalau saya tanya kamu, pasti kamu ndak tau juga buruh menolak apa? [Kami menjelaskan apa saja yang ditolak buruh, tapi lantas dipotong oleh Mahfud.]
Pasti bingung kamu karena semua itu gosip. Kalau kamu buka undang-undangnya ndak ada yang begitu itu. Artinya apa? Ada gerakan politik, bukan sekadar isi undang-undang. Saya juga ndak ngerti apa yang ditolak orang-orang ini.
Kalau menyangkut pers, katanya pers sekarang mau dibelenggu. Kami perbaiki kalau itu memang ada. Ayo perbaiki di DPR. Salah membuat peraturan pemerintah? Ayo perbaiki.
Yang lain apa? Perbaiki saja. Wong ini masih berproses.
Tapi, lebih banyak gosip seperti masalah pesangon, masalah PHK. Dijawab satu-satu, ndak benar gosipnya.
[Redaksi: Dalam Pasal 156 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan: jika terjadi PHK, pengusaha wajib membayar "uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak."
Dalam RUU Cilaka, "uang penggantian hak" dihapus. Bunyi pasal itu berubah jadi, "dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja."
Uang penggantian hak yang dihapus meliputi: cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur, biaya atau ongkos pulang pekerja dan keluarganya ke tempat mereka diterima bekerja, penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan, dan hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja atau perjanjian bersama.
Uang penghargaan masa kerja terbanyak mencapai 10 bulan upah bagi mereka yang masa kerjanya 24 tahun atau lebih, dalam UU 13/2003.
Sementara dalam RUU Cilaka, maksimal uang penghargaan yang dapat diterima seorang buruh hanya delapan bulan upah untuk masa kerja 21 tahun atau lebih.)
Kalau Anda mau demo, yang mana, yang konkret pasal berapa ayat berapa? Orang menemukan kesalahan, masak kami tolak? Ayo diubah. Terus apalagi? Ayo bicarakan.
Soal Omnibus Law .. Pertama, orang tidak tahu sehingga muncul gosip. Kedua karena tidak setuju; tahu tapi tidak setuju. Kalau tidak setuju, mari berdebat kenapa Anda tidak setuju. Kalau ndak benar ya kami ubah.
Ketiga karena politik, tidak mau tahu; tidak setuju dan tidak mau tahu juga. Pokoknya mau demo aja. Tapi, tidak apa-apa. Itu politik. Tapi harus konkret. Jangan kayak dulu.
Dulu yang mana?
Yang baru-baru ini, yang menjelang pelantikan presiden. Demo RKUHP. Presiden bilang, 'Ya sudah, itu ndak usah disahkan.' Mereka masih demo setiap hari. RUU Pertanahan jangan sampai diundangkan, 'Sudah ndak jadi,' kata Presiden. Besoknya masih demo lagi.
Memang maunya demo. Sudah dicabut, sudah dipenuhi keinginannya, masih demo juga. Setiap hari demo, padahal yang dituntut sudah selesai, sudah di-iya-kan.
Serikat buruh melihat ada upaya menghilangkan peran negara dalam hubungan industrial. Tanggapan Anda?
Saya ndak lihat itu. Mungkin saya belum membaca, tapi rasanya ndak ada yang begitu. Harusnya dikonkretkan saja, pasal sekian ndak stuju, mari bahas. Kan ini masih lama. Hal-hal seperti ini tulis saja, bawa ke DPR, perdebatkan di situ. Kalau ndak, pasti disahkan oleh DPR.
[Redaksi: Dalam Pasal 151 ayat (1) UU Ketenagakerjaan terdapat ketentuan: "Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja." Pasal selanjutnya menyebutkan PHK hanya dapat dilakukan setelah dirundingkan dengan serikat buruh; jika tak mencapai kata sepakat, maka diselesaikan lewat pengadilan hubungan industrial (PHI).
Itu diubah dalam draf RUU Cilaka. Pasal 151 ayat (1) diubah menjadi: "Pemutusan hubungan kerja dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh."
Peran serikat dinihilkan lewat pasal selanjutnya yang menyebut "... jika tak menemui kata sepakat, kedua belah pihak dapat langsung menyelesaikan masalah ini di PHI."]
Presiden mengatakan, 'Silakan ini rancangan. Anda enggak setuju, bawa ke DPR.' DPR setuju dengan pendapat Anda, diubah kalimatnya, dicabut, diganti dengan yang bagus.
Dulu kalau tidak berbuat, Presiden [dianggap] memble. Nah sekarang Presiden menjelaskan masalahnya terletak di sini, dikritik lagi. Terus kapan bekerjanya kalau begitu terus?
Karena bikin rentan nasib pekerja, RUU Cipta Kerja dianggap membuka lapangan kerja dengan cara mengorbankan mereka yang sudah bekerja. Tanggapan Anda?
Di mana letak menghilangkan pekerjaan orang yang sudah bekerja? Kan tidak diganggu, malah dinaikkan gajinya, jaminannya. Justru presiden itu membuat peraturan ini berangkat dari fakta kenapa yang bekerja baru sekian sih?
Anda tahu ndak yang ditanyakan itu di pasal mana? Ndak tau juga, kan? Karena itu gosip. Wong ini nambah lapangan kerja, kok, justru meniadakan PHK. Justru di dalam diskusi-diskusinya kalau mau di-PHK, kalau masa kerjanya 10 tahun, harus sekian kali pesangonnya, 10 kali dari gaji, dapat pensiun sekian, dapat jaminan sosial sekian. Itu sudah ada semuanya.
[Redaksi: Dalam RUU Cilaka, maksimal uang penghargaan yang dapat diterima seorang buruh hanya delapan bulan upah, untuk masa kerja 21 tahun atau lebih.
Sementara soal pensiun dan jaminan sosial, itu berasal dari BPJS Ketenagakerjaan yang sebetulnya disisihkan oleh pekerja sendiri dari upah bulanan mereka.]
Ini saya punya [draf RUU Cilaka]. Kalau kamu mau buka pasalnya, saya bawa ke sini. Cari sendiri. Jangan berangkat dari gosip ... Saya ndak bisa jawab kalau gitu. Nanti saya jawab dengan gosip, jadi berita lagi.
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan menyatakan RUU Cipta Kerja kontradiktif karena di satu sisi ingin menyederhanakan peraturan, di sisi lain mengamanatkan ratusan peraturan turunan (493 peraturan pemerintah, 19 peraturan presiden, dan 4 peraturan daerah baru), sehingga bisa over-peraturan. Salah satunya Pasal 170. Apakah memang bertujuan memperkuat kewenangan pemerintah pusat?
Ndak. Di dalam rapat kabinet kemarin, 2 hari lalu (18 Februari 2020), pasal 170 itu diakui salah. Masak PP bisa menghapus ketentuan undang-undang? Jadi tidak ada maksud menguatkan pemerintah pusat. Tapi, dalam ilmu perundang-undangan ada istilah delegasi kewenangan. Biasa di dalam setiap undang-undang, ketentuan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah atau peraturan presiden. Jadi bisa saja itu.
Disertasi saya tahun 1993 menolak terlalu banyak delegasi kewenangan. Kenapa dulu Pak Harto begitu berkuasa? Karena setiap ada undang-undang hanya dimuat sedikit, lalu berikutnya ketentuan diatur dengan PP. Di PP disebut lagi ketentuan lebih lanjut diatur dengan Keppres. Nah, sekarang dibuat segini biar ndak terlalu banyak diatur presiden. Itu dikerjakan dengan DPR. Nanti presiden tinggal berpedoman pada undang-undangnya.
Soal pelanggaran HAM. UU 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dbatalkan MK pada 2006. Lalu, Anda bilang mau melahirkan kembali peraturan ini. Bagaimana konsepnya menyelesaikan kasus masa lalu?
Pelanggaran masa lalu itu nanti diungkap faktanya. Akan diatur dalam UU KKR yang bisa dibawa ke pengadilan. Yang sudah diadili dianggap selesai, tapi dampaknya itu diselesaikan secara politis, misalnya santunan kepada keluarga dan macam-macamlah. Yang tidak bisa ke pengadilan, ya dengan rekonsiliasi. Rekonsiliasi itu apa? Siapa yang salah siapa yang benar, ndak penting. Ini sudah terjadi. Mari kita bersatu dengan cara rekonsiliasi.
Yang kasus Semanggi itu sudah diadili, yang penculikan sudah diadili. Yang Timor Timur sudah diadili. Sudah banyak produk peradilan HAM, bukan tidak ada. Dari berapa banyak yang ditemukan itu, masih ada 12.
Yang Anda tanya apa? Paniai? Baru seminggu sudah ditanya sekarang, kan ndak bisa juga.
[Redaksi: Menurut pemerintah, ada 12 pelanggaran HAM berat masa lalu: Peristiwa 1965-1966; Penembakan Misterius (1982-1986); Pembantaian Talangsari, Lampung (1989); Tragedi Rumoh Geudong di Aceh (1989-1998); Penembakan Mahasiswa Trisakti (Mei 1998); Penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa (1997-1998); Tragedi Semanggi I dan II (1998-1999), Tragedi Simpang Kertas Kraft Aceh (1999); Peristiwa Wasior, Manokwari, Papua (2001); Kasus Wamena, Papua (2003); Tragedi Jambu Keupok di Aceh Selatan (2003); dan Peristiwa Paniai (8 Desember 2014).]
Penulis: Rio Apinino
Editor: Fahri Salam