tirto.id - Meski sudah 20 tahun kediktatoran Soeharto runtuh, mitos yang menjustifikasi pendirian rezim Orde Baru (dan juga masa pemerintahan setelahnya) masih berdiri tegak.
Menurut narasi resmi negara, militer terpaksa turun tangan untuk menyelamatkan bangsa dari kudeta komunis yang gagal pada dini hari 1 Oktober 1965. Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan narasumber Kementerian Luar Negeri mengatakan bahwa militer bertindak demi memadamkan pergolakan “spontan”—dan mengakibatkan pertumpahan darah di seantero Indonesia—yang digerakkan oleh rakyat biasa yang membenci orang-orang komunis di sekeliling mereka.
Rentetan peristiwa yang digambarkan oleh internal CIA sebagai salah satu pembunuhan massal terburuk pada abad ke-20, dikenal di Indonesia sebagai G30S/PKI—sebuah istilah yang yang menyiratkan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) bertanggung jawab atas kudeta gagal yang dipimpin Gerakan 30 September (G30S).
Faktanya, militerlah yang mengerahkan kudeta pada 1 Oktober 1965 tersebut. Perencanaan kudeta ini dimulai di bawah pemerintahan Demokrasi Terpimpin Sukarno. Waktu itu, tentara dan PKI tengah bersaing memperebutkan kekuasaan.
Upaya Soeharto menggunakan rantai komando yang ada untuk membawa militer ke tampuk kekuasaan kini lebih bisa dijelaskan. Buku saya yang berjudul The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder menunjukkan bagaimana militer Indonesia memulai dan melakukan pembunuhan massal 1965-66. Artikel ini berfokus pada proses kudeta militer.
Persiapan Kudeta
Pada 1965, di tengah ambisi kudeta, militer Indonesia menemukan sekutu utamanya: pemerintah Amerika Serikat. Setelah kegagalan Paman Sam memisahkan Sumatera dari Indonesia pada akhir 1950-an, TNI dan Washington menemukan titik temu dalam politik anti-komunisme.
Pimpinan TNI yang baru diangkat menerima pelatihan dan pendanaan dari Amerika. Washington sendiri berharap TNI bisa menjadi “negara dalam negara” dan mampu menggulingkan Presiden Sukarno yang tak pernah merahasiakan simpatinya atas ideologi Marxisme.
Awalnya, para pimpinan militer bermaksud menunggu Sukarno untuk "meninggalkan gelanggang". Tapi rencana berubah dan dimajukan pada Agustus 1965 karena mereka takut Sukarno dan PKI akan menggunakan kampanye Ganyang Malaysia untuk melemahkan monopoli TNI atas angkatan bersenjata.
Sebelum membahas bagaimana TNI naik ke tampuk kekuasaan, penting untuk mengetahui struktur TNI menjelang peristiwa 1 Oktober 1965.
Sukarno sebagai panglima tertinggi TNI secara resmi memiliki kontrol atas angkatan bersenjata. Langsung di bawah Sukarno, Panglima Angkatan Darat (Pangad) Jenderal Ahmad Yani memegang kontrol teknis.
Sejak masa revolusi nasional (1945-1949), angkatan bersenjata terorganisir menurut struktur komando teritorial. Komando internal ABRI, yang dikenal sebagai Kodam, memiliki posisi sejajar dengan pemerintah sipil sampai ke tingkat desa. Pada 1965, Ahmad Yani menguasai struktur Kodam ini.
Yani juga mengendalikan sejumlah struktur komando khusus, termasuk Kostrad yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Soeharto, dan Pasukan Khusus RPKAD yang dikendalikan oleh Kolonel Sarwo Edhie Wibowo.
Selain itu, Ahmad Yani menjabat kepala staf Komando Operasi Tertinggi (KOTI). KOTI mengoordinasikan keterlibatan militer dalam kampanye Ganyang Malaysia.
Pada Oktober 1964, Komando Mandala Siaga (Kolaga) didirikan di bawah rantai komando KOTI di Sumatera dan Kalimantan untuk memfasilitasi kampanye Ganyang Malaysia di tingkat lokal. Komandan Kolaga adalah marsekal Angkatan Udara Omar Dhani, dengan Soeharto sebagai wakil pertamanya. Omar Dhani nantinya terlibat dalam Gerakan 30 September. Komando KOTI dan Kolaga kelak menjadi medan konflik internal dalam perebutan negara.
Permainan Berbahaya
Pada September 1964, sebuah undang-undang baru memberikan kuasa kepada KOTI untuk menyatakan darurat militer tanpa terlebih dahulu meminta izin dari Sukarno. Ada kemungkinan Sukarno bermaksud menggunakan KOTI dan Kolaga untuk mengantarkan kaum komunis ke puncak kekuasaan. Selain menempatkan sekutunya (Dhani) sebagai komandan Kolaga, Sukarno juga menyetujui mobilisasi 21 juta sukarelawan pada Mei 1964. Mobilisasi ini seolah-olah dilakukan untuk mengantisipasi potensi konflik dengan Malaysia, tetapi militer khawatir jika sukarelawan digunakan untuk melawan TNI.
Oleh karena itu, tidak mengherankan bila militer pun mengambil keuntungan dari undang-undang baru ini. Komandan Mandala I Sumatera Letnan Jenderal Ahmad Mokoginta yang anti-komunis, menggunakan Kolaga untuk mulai menjalankan latihan uji coba militer (dikenal sebagai Operasi Singgalang) sejak Maret 1965. Uji coba tersebut dilakukan untuk menguji kesiapan komando militer dalam memobilisasi warga sipil. Warga sipil yang dilatih selama periode ini di kemudian hari berfungsi sebagai pasukan kejut (shock troops) dalam serangan TNI terhadap PKI.
Permainan berbahaya ini mencapai puncaknya pada Agustus 1965, ketika Sukarno mengumumkan pembentukan "Angkatan Kelima" atau tentara rakyat. Meskipun Sukarno mengklaim angkatan ini hanya akan digunakan untuk memajukan rencananya untuk memobilisasi warga sipil dalam mendukung kampanye Ganyang Malaysia, pihak militer sangat khawatir. Jika TNI tidak lagi memonopoli kekuatan bersenjata di Indonesia, maka kemungkinan PKI merebut tampuk kekuasaan di Indonesia akan tak terhindarkan.
Militer pun tak lagi ingin menunggu Sukarno turun panggung. Sebaliknya, di saat masih menjadi kekuatan bersenjata yang paling berkuasa di Indonesia, mereka berusaha memancing konfrontasi.
Para pimpinan TNI tak ingin terlihat sebagai aktor yang memulai kudeta. Sukarno dan PKI terlalu populer pada masa itu. Sebaliknya, seperti dijelaskan John Roosa, TNI berharap mampu menciptakan sebuah keadaan yang dapat dimanfaatkan sebagai "dalih" agar militer bisa membungkus tindakakan-tindakannya sebagai pertahanan diri. Tindakan Gerakan 30 September—yang menculik dan membunuh enam perwira kunci TNI, termasuk Ahmad Yani, pada dini hari 1 Oktober—adalah dalihnya.
Saya berargumen bahwa tindakan-tindakan militer yang dilakukan selanjutnya mengandung unsur-unsur pra-perencanaan dan improvisasi: ketika Soeharto mengambil alih kekuasaan negara pada pagi hari 1 Oktober, dia mendasarkan tindakannya pada perencanaan jangka panjang yang telah dilakukan sebelumnya oleh kepemimpinan militer di bawah Yani, dan Soeharto juga menambahkan sentuhannya sendiri.
Kudeta Militer Indonesia 1 Oktober 1965
Ketika Gerakan 30 September membunuh pimpinan militer pada 1 Oktober, mereka gagal melumpuhkan komando militer di tingkat nasional. Soeharto justru mengisi kepemimpinan yang ditinggalkan Ahmad Yani, secara aktif mengabaikan wewenang Sukarno. Soeharto juga mempertahankan posisi strategisnya sebagai Komandan Kostrad, sementara Komandan RPKAD Sarwo Edhie membuktikan dirinya sebagai salah satu deputi paling setia Soeharto.
Sedikit yang tahu bahwa Soeharto juga merebut posisi Komandan KOTI. Menariknya, tidak ada indikasi bahwa Omar Dhani, sekutu Sukarno, berusaha memobilisasi KOTI, meskipun KOTI secara resmi berada di bawah komandonya pada pagi 1 Oktober 1965.
Selama ini Soeharto dikisahkan sekadar membuat pengumuman publik pada tanggal 1 Oktober, ketika ia menyatakan bahwa TNI sudah berhasil mengendalikan situasi, termasuk di “pusat” dan “daerah”. Tidak diketahui apa yang dimaksud dengan pernyataan ini. Soeharto juga tidak bisa dibuktikan telah melakukan kudeta pada 1 Oktober. Alih-alih, bukti-bukti yang ada selama ini hanya menunjukkan bahwa ia bersikap tidak patuh pada Sukarno ketika diperintahkan turun dari posisi komandan ABRI.
Kini dapat diungkapkan Soeharto bertindak lebih aktif dalam mengonsolidasikan posisinya dan bergerak secara mandiri dari Sukarno. Bukti-bukti baru berupa dokumen menunjukkan bahwa Soeharto mengirim telegram ke panglima-panglima regional pada pagi 1 Oktober, dalam posisinya sebagai komandan ABRI. Ia menyatakan bahwa kudeta yang dipimpin Gerakan 30 September telah terjadi di ibu kota. Perintah ini kemudian diikuti dengan instruksi kiriman Komandan Mandala I Sumatera Letjen Ahmad Mokoginta, yang menyatakan bahwa para komandan militer harus “[m]enunggu perintah/instruksi selandjutnja dari Panglatu”.
Komando-komando lanjutan ini datang pada tengah malam ketika Mokoginta mengumumkan melalui radio bahwa seluruh perintah Soeharto harus “dipatuhi”, bertentangan dengan perintah Sukarno kepada Soeharto untuk mengundurkan diri. Mokoginta pun memerintahkan “segenap anggota Angkatan Bersendjata untuk setjara tegas/tandas, menumpas contra-revolusi ini dan segala bentuk penchianatan2 dan sematjamnja sampai keakar2nja.” Dari instruksi-instruksi sejenis yang bisa diketahui, pesan inilah yang muncul paling awal.
Tindakan Mokoginta mengeluarkan instruksi tersebut dalam posisinya sebagai komandan Mandala I punya nilai yang sangat penting. Kini bisa diketahui bahwa komando daerah Sumatera diaktifkan pada pagi hari 1 Oktober untuk tujuan eksplisit memfasilitasi kampanye pemusnahan oleh militer. Darurat militer juga diberlakukan di seluruh Sumatera.
Sementara itu di Jakarta, Kostrad dan RPKAD digunakan untuk meluluhlantakkan Gerakan 30 September dari 1 hingga 2 Oktober. Pada 3 Oktober, Jakarta dinyatakan dalam keadaan perang. Selama beberapa hari berikutnya, Soeharto menuntut sumpah setia dari para komandan militer di seluruh negeri. Pada saat bersamaan, pers dibungkam dan para pemimpin sipil dilumpuhkan.
Pengambilalihan angkatan bersenjata dan penundukkan atas ruang-ruang sipil oleh militer memuncak pada pidato Soeharto pada hari ulang tahun TNI pada 5 Oktober di Jakarta. Tepat di saat Sukarno sulit mengambil keputusan, Soeharto secara terbuka memunculkan dirinya sebagai kingmaker tanpa pesaing. Soeharto tidak menyatakan kudeta pada 1 Oktober karena memang tak perlu melakukannya.
Rantai Komando
Aksi-aksi pembunuhan mulai bergulir beberapa hari setelah militer berhasil merebut negara. Pada saat itu, fase-fase kekerasan terlihat jelas. Setelah menyatakan niatnya untuk “membasmi” Gerakan 30 September pada tengah malam 1 Oktober, TNI memerintahkan warga sipil untuk berpartisipasi dalam kampanye militer sejak 4 Oktober. TNI pun mendirikan "Ruang Yudha" (sentral koordinasi perang non-konvensional terhadap PKI) di Aceh pada 14 Oktober untuk memfasilitasi kampanye pemusnahan oleh militer. Pada setiap saat, seluruh tindakan militer dikoordinasikan melalui sistem komunikasi dua arah yang kompleks dan membentang sampai ke tingkat desa. Militer menggunakan banyak rantai komando untuk menggelar kampanye ini secara nasional.
Gerakan 30 September membagi Indonesia menjadi empat wilayah: Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Indonesia Timur. Militer memfokuskan fase pertama serangannya di Sumatera dan Jawa, keduanya sebagai pusat ekonomi dan penduduk, sebelum memperluas jangkauannya. Seiring militer bersiap menggelar "operasi penumpasan" terhadap kelompok komunis, pembagian kerja pun mulai dilakukan di seantero negeri.
Di Sumatera, sangat masuk akal bagi pucuk pimpinan militer untuk menggunakan KOTI, Kolaga, dan komando regional di bawah kepemimpinan Mokoginta. Dokumen internal kedutaan besar AS menunjukkan bahwa Sumatera digunakan sebagai "test case" (daerah percobaan) oleh militer karena mereka bisa menerapkan darurat militer di daerah ini. Artinya, para komandan tak hanya mampu mengendalikan angkatan bersenjata tetapi juga penduduk sipil. Di Sumatera, pembunuhan di muka umum dimulai pada 7 Oktober dan berlanjut ke tahap pembunuhan massal secara sistematis yang dimulai pada 14 Oktober.
Di Jawa dan Bali, angkatan bersenjata mengoordinasikan serangan melalui komando Kostrad dan RPKAD. Pada dasarnya, komando-komando ini sangat lincah (mobile). Mereka dapat beroperasi tanpa koordinasi dengan Kodam setempat yang, di Jawa, misalnya, dianggap telah cacat karena bersimpati pada Gerakan 30 September. Sebenarnya, Jawa Tengah adalah satu-satunya tempat di mana komando militer lokalnya mendukung Gerakan 30 September (sekalipun Bali dan Sumatera Utara memiliki gubernur yang berafiliasi dengan PKI).
Kostrad pertama kali digunakan untuk melumpuhkan Gerakan 30 September di ibukota sebelum akhirnya memelopori serangan-serangan di Jawa Tengah sejak tanggal 18 Oktober. Pada Desember, RPKAD pindah ke Bali. Komandan RPKAD juga ditugaskan untuk mengoordinasi sebuah jaringan nasional regu-regu pembunuh yang terdiri dari orang-orang sipil.
Seperti halnya di Sumatera, militer di Kalimantan memiliki komando Mandala-nya sendiri di bawah komando KOTI dan Kolaga. Namun, meskipun komando Mandala II (di bawah Mayor Jenderal Maraden Panggabean) memiliki potensi operasional yang sama dengan Mandala I, tidak tampak ada kampanye pemusnahan militer di wilayah tersebut hingga Oktober 1967. Demikian pula kampanye pemusnahan militer di Indonesia Timur yang tidak dimulai hingga Desember 1965.
Alasan penundaan disebabkan oleh minimnya kepentingan strategis pemerintah di daerah-daerah ini. Sumatera dan Jawa adalah pusat ekonomi dan memiliki demografi terpadat. Sementara Bali, yang dikenal sebagai pusat aktivitas PKI, menjadi prioritas serangan militer gelombang kedua. Ketika kendali militer meluas, skala pembunuhan massal pun membesar.
Pada akhir 1965, sebuah upaya untuk memusatkan kampanye penumpasan oleh militer pun dimulai. Soeharto mendirikan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) pada 6 Desember. Kendati komando ini banyak disorot karena berperan mengoordinasi serangan militer, tapi kenyataannya keberadaan Kopkamtib tidak diperlukan dalam kampanye awal pemusnahan yang digalakkan militer. Pembantaian terburuk di Aceh (yang mengawali episode pembunuhan massal dalam kurun waktu 1965-1966), misalnya, sudah berakhir pada saat Kopkamtib didirikan di Sumatera.
Walaupun kepemimpinan militer nasional memilih untuk mengoordinasikan kudeta dan kampanye pemusnahan melalui jaringan komando yang semi-otonom dan berbasis wilayah, hal tersebut tidak mengurangi taraf sentralisasi koordinasi militer di balik genosida. Demikian pula, cara kerja semacam ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Genosida terhadap orang Yahudi atau Holocaust yang dilakukan Nazi di Jerman juga dikoordinasi melalui banyak rantai komando yang berbasis wilayah.
Tingkat koordinasi di tingkat lokal inilah yang memungkinkan berkembangnya pola-pola berskala nasional yang terlihat jelas dalam pembunuhan-pembunuhan selanjutnya. Tujuan utama dari kekerasan ini adalah untuk mengonsolidasikan perebutan kekuasaan negara oleh militer.
Sekarang jelas bahwa Soeharto memainkan peran penting dalam koordinasi di balik kudeta militer dan kampanye penumpasan setelahnya. Militer tidak segan-segan mengambil langkah untuk "menyelamatkan" negara dari kudeta 1 Oktober 1965. Malah, mereka secara aktif berusaha merebut kekuasaan, dengan cara memanfaatkan aksi-aksi Gerakan 30 September sebagai katalis guna menjalankan rencana jangka panjang kudeta militer.
Dalam pengambilalihan kepemimpinan pada hari itu, Soeharto tak hanya merespons aksi Gerakan 30 September, tetapi juga menjalankan skenario jangka panjang dalam kepemimpinan militer (rencana kudeta). Pembunuhan massal setelahnya digunakan untuk meneror penduduk dan menghilangkan seluruh potensi perlawanan terhadap rezim militer baru.
Trauma periode ini masih menghantui Indonesia hingga sekarang. Dua puluh tahun sejak reformasi dan 53 tahun sejak Orde Baru berkuasa, ini saat yang tepat untuk membicarakan kudeta militer Indonesia 1965 secara terbuka.
Untuk meruntuhkan propaganda Orde Baru, saya mengusulkan agar peristiwa ini dinamakan kembali sebagai "G30S/Militer".
======
Tulisan ini diterjemahkan oleh Irma Garnesia dari "There’s now proof that Soeharto orchestrated the 1965 killings" yang dimuat di Indonesia at Melbournepada 24 Juni 2018. Penerjemahan dan penerbitan di Tirto atas seizin penulis dan penerbit. Edisi Indonesia sudah diperiksa oleh Jess Melvin sebagai penulis.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.