tirto.id - Veronica Koman ditetapkan menjadi tersangka oleh Polda Jawa Timur (Jatim). Veronica diduga menyebarkan hoaks dan provokasi terkait insiden di Asrama Mahasiswa Papua, Surabaya.
"VK salah satu yang aktif, membuat provokasi, di dalam maupun luar negeri, untuk menyebarkan hoaks, dan provokasi [di media sosial],” kata Kapolda Jatim Irjen Pol Luki Hermawan di Surabaya, Rabu (4/9/2019).
"Dari hasil pemeriksaan 6 saksi, [yakni] 3 saksi dan 3 ahli, akhirnya ditetapkan sebagai tersangka, atas nama VK, Veronica Koman,” tambah Luki.
Dia menjelaskan, di antara bukti yang mendasari keputusan penyidik Polda Jatim adalah cuitan di akun twitter @VeronicaKoman. Luki menyebut, twit Veronica memuat provokasi dan informasi yang tidak benar.
Contoh twit Veronica itu, kata Luki, ialah: "Ada mobilisasi umum aksi monyet turun jalan besok di Jayapura," yang diunggah 18 Agustus lalu. Selain itu, twit: “Polisi mulai menembaki ke dalam Asrama Papua, total tembakan sebanyak 23 tembakan, termasuk tembakan gas air mata [….].”
Polda Jatim menjerat Veronica dengan 4 pasal berlapis, yakni: UU ITE, Pasal 160 KUHP, UU Nomor 1 Tahun 1946 dan UU Nomor 40 Tahun 2008. Bahkan, kata Luki, Polda Jatim akan menggandeng Badan Intelijen Negara (BIN) dan interpol karena Veronica diduga berada di luar negeri.
Kasus ini buntut insiden persekusi, pengepungan dan pelontaran ujaran rasisme ke para penghuni Asrama Mahasiswa Papua, di Surabaya, pada 16 Agustus 2019. Insiden ini memicu beberapa kali aksi protes massa di Papua dan Papua Barat, pada dua pekan terakhir di bulan Agustus 2019.
Belum ada tanggapan dari Veronica soal penetapan dirinya sebagai tersangka itu. Meski demikian, Akun twitternya, sempat membagikan ulang twit soal info penetapan dirinya menjadi tersangka.
Sedangkan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menilai penetapan Veronica menjadi tersangka menunjukkan pemerintah dan aparat tidak memahami akar masalah yang memicu situasi di Papua bergolak.
"Akar masalah sesungguhnya adalah tindakan rasisme beberapa anggota TNI dan penggunaan kekuatan berlebihan oleh kepolisian di asrama mahasiswa di Surabaya," kata dia, hari ini.
Veronica Koman dan Tuduhan Kominfo
Tuduhan bahwa Veronica menyebar hoaks soal insiden di Asrama Papua ini juga bukan kali pertama. Sebelumnya, Kementerian Kominfo juga menuding Veronica menyebar hoaks soal Polres Surabaya 'menculik' 2 orang pengantar makanan untuk mahasiswa Papua. Tudingan itu disertai tangkapan layar unggahan Veronica yang dicap bertuliskan “disinformasi.”
Di salah satu twitnya, Veronica menyanggah tuduhan Kominfo itu. “Twit saya tidak menyebutkan bahwa 2 pengantar makan tsb diculik, namun ditangkap. Saya bicara berdasarkan definisi KUHAP. Bahkan 2 orang tsb menandatangani BAP, apa itu namanya bukan ditangkap? The State is now saying that I broadcasted hoax,” tulis Veronica, pada 19 Agustus 2019.
Tirto sudah melakukan cek fakta terkait tudingan itu. Kesimpulannya, tudingan Kominfo keliru. LBH Pers juga memiliki kesimpulan yang sama. Sebab, di unggahannya, Veronica tidak pernah menyebut ada 'penculikan' terhadap 2 pengantar makanan di Asrama Papua. Di unggahannya, Veronica memakai diksi "penangkapan" terhadap 2 orang itu. Diksi itu pun sesuai dengan KUHAP.
Plt. Kepala Biro Humas Kemkominfo, Ferdinandus Setu belakangan mengakui laporan instansinya mengenai hoaks itu keliru. “Kami menyadari kekeliruan kami yang mencap disinformasi itu pada kata-kata yang dicuitkan oleh komentar, atas cuitannya Mbak Veronica. Karena tim kami bekerja dengan waktu yang sangat singkat, kemudian untuk langsung merilis ke publik itu,” ujar dia.
Veronica Koman Membela Papua, HAM Hingga Ahok
Veronica Koman pernah tercatat sebagai pengacara publik di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Ia bekerja sebagai pengacara yang mengadvokasi isu minoritas dan kelompok rentan, pencari suaka hingga aktivis Papua. Di media, ia kini biasa disebut sebagai pengacara HAM.
Pada 2016, Veronica pernah tergabung dalam tim kuasa hukum yang mengajukan sengketa informasi di Komisi Informasi Pusat (KIP) untuk mendesak pemerintah membuka dokumen laporan Tim Pencari Fakta kasus Munir, aktivis HAM yang dibunuh pada dekade 2000-an.
Veronica juga pernah getol menolak pemidanaan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), saat mantan Gubernur DKI Jakarta itu dibui karena kasus penodaan agama. Orasinya saat demo menuntut pembebasan Ahok malah sempat berujung pada pelaporan dirinya ke polisi pada Mei 2017.
Pelaporan itu buntut dari orasinya yang menyebut "rezim Jokowi adalah rezim yang lebih parah dari rezim SBY." Konteks pernyataan itu sebenarnya ialah kritik Veronica terhadap pasal 156a KUHP yang membuat Ahok divonis 2 tahun penjara. Pasal ini dia kecam karena bersifat karet.
Orasi Veronica pun memicu Mendagri Tjahjo Kumolo menyatakan akan memaksanya "meminta maaf secara terbuka kepada Jokowi.” Bahkan, Tjahjo sempat menyebarkan data pribadi Veronica ke sebuah grup WA wartawan. Tindakan Tjahjo itu menuai protes dari banyak aktivis.
Terkait isu Papua, namanya sudah muncul dalam beberapa tahun terakhir. Selain kerap bersuara keras di media soal pelanggaran HAM di Papua, Veronica sering jadi advokat yang mendampingi aktivis Papua yang berurusan dengan penegak hukum, sejak beberapa tahun lalu.
Misalnya, pada akhir 2015, atas nama LBH Jakarta, ia sudah pernah mendampingi dua mahasiswa Papua yang menjadi tersangka karena terlibat kericuhan dengan polisi saat demonstrasi menuntut kebebasan berekspresi di Jakarta. Aktivitasnya membela aktivis Papua itu berlanjut hingga kini.
Ia pun menjadi salah satu dari puluhan pengacara dalam pengajuan uji materi pasal-pasal makar di KUHP ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2017. Para pengacara itu mewakili sejumlah pemohon asal Papua.
Belakangan, Veronica tergabung dalam tim kuasa hukum Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang membela sejumlah aktivis organisasi itu saat menjalani proses hukum karena kasus makar. Tim kuasa hukum itu sempat menggugat Kapolres Mimika secara perdata dengan nilai Rp1 miliar terkait kasus 'pendudukan' sekretariat KNPB di Timika oleh polisi, akhir 2018 lalu.
Saat pemerintah RI memblokir internet di Papua pada 23 Agustus 2019, Veronica bersama Jeniffer Robinson (advokat Inggris) menyurati Pelapor Khusus PBB David Kaye dan Komisi Tinggi PBB untuk HAM (OHCHR). Keduanya mengingatkan pemblokiran itu mempersulit jurnalis dan aktivis HAM memantau situasi dan kekerasan di Papua.
Usai penetapannya jadi tersangka, Veronica pun masih sempat mengunggah beberapa info terkini soal situasi Papua lewat akun twitternya. Salah satunya soal penahanan 20 warga di Merauke.
Editor: Agung DH